Aku tidak bisa mencegah apa yang dilakukan oleh kedua anakku. Aku sudah dibuat tidak berdaya oleh mereka. Aku bahkan kali ini tidak dianggap keberadaannya oleh mereka. Mereka menganggapku tidak ada, sama seperti ketika mereka masih kecil, aku tidak pernah ada untuk mereka.
Aku harus melihat mereka menghabisi seluruh warga desa ini satu-persatu. Aku dipaksa melihat beberapa orang terdekat, termasuk keluarga dan teman-temanku dihabisi dan disiksa dengan cara yang amat sangat menyakitkan.
Inikah karma? Inikah hasil yang sudah aku petik? Inilkah janji yang telah disiapkan oleh Fajar? Dua orang yang harusnya menyayangiku kali ini justru membuat aku semakin terpuruk, mereka yang harusnya ada di masa-masa sulitku kali ini justru yang menyebabkan aku harus melewati masa-masa seperti ini.
Ingin rasanya aku memeluk mereka. Ingin rasanya aku bersimpuh di kaki mereka. Aku ingin meminta maaf atas apa yang pernah aku perbuat pada Kasih dan kedua bocah yang sama sekali tak bersalah. Apakah kesempatan itu masih ada untukku? Jika memang masih ada, aku ingin melakukanya.
***
Malam harinya.
Setelah panjang lebar mereka bercerita, Mbah Yani akhirnya bersedia untuk ikut melihat kondisi desa tersebut. Bukan karena ingin berkunjung atau maksud lain. Dia hanya ingin bertemu dengan Lam dan Mim. Dia percaya jika semua ini berakar dari kedua bocah yang bernasib malang itu.
Setelah memasuki desa, Alif sendiri sempat menunjukkan sebuah jalanan yang sepi. Di tempat itu dia pertama kali bertemu dengan Mim. Dia terlihat bisa berjalan layaknya bukan orang cacat. Mbah Yani hanya terdiam dan tersenyum. Ada sebuah isyarat yang ingin dia sampaikan.
“Jangan di sini. Aku akan sampaikan itu di tempat yang lebih aman. Akan sangat berbahaya jika aku menceritakan itu di tempat ini.” Alif sendiri tampak bingung dengan apa yang baru saja lelaki itu sampaikan. Sangat berbahaya? Sampai segitunya kan bahayanya mereka?
“Sampai segitunya?”
“Alif, yang ada di belakang dia bukanlah orang sembarangan. Ada seorang yang sangat kuat. Jika kita sembrono, yang ada nyawa yang jadi taruhannya.”
“Apa yang dikatakan Mbah Yani ada benarnya. Bukan hanya orang yang berada di belakangnya, tapi juga senjata yang dia miliki. Senjata itu bukan sembarang senjata. Apalagi yang memegangnya adalah seorang Mim. Itu akan sangat berbahaya.” Alif hanya bisa terdiam dengan penuturan dari kedua orang yang ada di hadapannya. Dia sendiri akhirnya memilih untuk pulang dan mengajak kedua orang itu untuk menginap di rumahnya.
Sesampainya mereka di rumah, terlihat Hisyam yang masih dalam kondisi tak begitu baik. Melihat kedatangan Mbah Yani, dia ingin langsung memberikan hormat ada orang tersebut. Mbah Yani melarangnya. Hisyam diminta untuk tidak berpindah dari tempatnya berdiam.
“Hisyam, aku tau apa yang terjadi denganmu.”
“Mbah, saya hanya berpikir, kenapa semua ini harus terjadi pada saya? Kenapa semua ini harus menimpa saya? Apakah, ini teguran dari sang kuasa atas perbuatan yang selama ini saya lakukan?”
“Saya tau. Mungkin teguran agar kau bisa menjadi yang lebih baik. Bisa juga ini sekedar ujian, agar kau bisa naik kelas. Yang jelas, Allah memberikan semua ini padamu karena masih ada cinta darinya pada dirimu. Yang sabar ya! Aku tau ini berat buat kamu. Tapi, aku yakin seorang Hisyam bisa melalui semua ini.” Mbah Yani akhirnya memegang tangan lelaki itu. Sebuah tanda yang bisa dilihat oleh banyak orang, garis hitam yang berada di pergelangan tangannya.
“Mbah, ada apa dengan tanda hitam itu?” Alif mencoba menanyakan apa yang dipikirkan oleh Mbah Yani.
“Hisyam, coba jawab secara jujur! Kau pernah punya masalah dengan Lam atau Mim?”
“Maaf, kalau saya secara langsung tidak pernah.”