Beberapa jam setelah kejadian itu. Seorang lelaki berdiri tepat di depan sebuah gapura. Gapura yang menunjukkan arsitektur kuno. Desa itu yang menjadi tujuan lelaki itu. Lamdi, dia merapalkan sesuatu. Dia merapalkan mantra yang entah tujuannya untuk apa.
Tak lama, ada suara yang cukup menggelegar. Terjadi percakapan diantara mereka. Lamdi secara terus-terang ingin bertemu Broto untuk menolong sang istri.
“Apa yang kau bawa untuk hal ini?” Lamdi terdiam. Dia ternyata tak membawa apapun ke tempat tersebut. Suara itu kembali menggelegar dan mengisyaratkan amarah.
“Saya belum membawa apapun.”
“Pulanglah! Juragan tidak mau membantu jika tak ada imbalan atau seserahan yang dibawa oleh orang yang meminta tolong.”
“Tapi, ini penting. Ini terkait istriku. Juragan pasti mau. Ini abdinya.”
“Tidak bisa. Juragan tidak mau.” Lamdi tertunduk lesu. Ketegasan suara itu membuat dia tak bisa berbuat apapun. Dia akhirnya pergi dan berteduh di sebuah tempat.
Di tempat yang tak jauh dari gapura itu, Mim dan Fajar menguping pembicaraan mereka. Mereka tak sekedar menguping. Ada maksud yang ingin mereka dapatkan terkait pembicaraan itu.
“Kau dengar pembicaraan mereka? Sepertinya lelaki itu tak ingin ditemui kali ini.”
“Dengar. Aku juga melihat makhluk yang berbicara dengan dia.”
“Kau bisa melihat? Seperti apa dia?” Fajar ingin sekali mengetahui bagaimana sosok yang sebenarnya menjaga desa itu.
“Makhluk aneh menurutku. Aku belum pernah menemuinya. Tubuhnya seperti seekor singa, tapi, berkepala serigala. Aku selama ini baru kali ini bertemu dengan makhluk seaneh itu.” Fajar terdiam. Dia terkejut bukan kepalang melihat apa yang dilihat oleh sang keponakan. Aneh sekali makhluk yang satu itu? Untuk apa seorang Broto memelihara makhluk itu?
Dia juga belum pernah mendengar makhluk yang baru dilihat Mim. Dia terus memandangi keponakannya yang sepertinya sedang mengawasi sesuatu. Mim mulai bergerak dan ada sesuatu yang dia ikuti.
“Mim, kasu mau kemana? Jangan masuk terlalu jauh! Tempat ini sangat berbahaya.” Mim hanya mengisyaratkan sang paman untuk diam. Fajar tak ada pilihan lain kecuali mengikuti apa yang diminta Mim. Mereka perlahan menuju suatu tempat. Mim sendiri terdiam di tempat tersebut dan hanya terheran.
“Kenapa makhluk itu tak bisa masuk ke area desa?”
“Tak bisa masuk? Maksudmu?”
“Dia hanya berdiam di situ.”
“Jangan tampakkan dirimu!” Fajar mencegah Mim untuk menunjuk ke makhluk yang sangat misterius.
Mereka terus mengawasi apa yang terjadi. Tak lama, sebuah suara ledakan terdengar. Fajar dan Mim hanya bisa terus bersembunyi di tempatnya. Mereka sama sekali tak bergerak karena ketakutan dengan apa yang akan terjadi.
“Apa yang terjadi Paman? Kenapa jadi seperti itu?” Mereka melihat satu tempat yang jelas gosong seperti terbakar.
“Ini aneh Mim. Desa ini memang ada pagar ghaib. Tapi, seharusnya makhluk seperti mereka bisa saja masuk dengan mudah. Kenapa dia tidak?”
“Maksudnya? Dia tak bisa masuk begitu?”
“Sepertinya begitu. Kau harus tau, pagar ghaib di tempat ini berbeda dengan pagar ghaibh di tempat lain. Di sini lebih sulit untuk masuk.”
“Tapi, mereka kan abdi. Harusnya bisa masuk dengan mudah.”
“Itu yang aku bingungkan.” Mim terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia melihat sebuah sosok lain. Dia meminta pamannya untuk terus bersembunyi di tempat tersebut.
“Paman, aku melihat makhluk lagi. Yang aku tau, nama makhluk itu adalah Landep Getih.”
Landep Getih? Bukankah makhlukn itu sedamng dalam penguasaan seorang ratu ghaib di desa yang sangat berbahaya? Kenapa dia berada di tempat ini?
“Kau tak salah lihat? Makhluk yang dalam penguasaan Ratu Kaligeni?”