Malam itu, Umar sedang ingin menghirup udara desa yang terkenal masih bersih. Dia berjalan di tengah lampu Desa yang menyinari kegelapan. Sebenarnya, hari sudah begitu larut dan banyak warga yang menyudahi akytivitas mereka dan beranjak istirahat. Tapi, tidak untuk Umar kali ini. Dia sama sekali tak bisa tidur. Dia entah kenapa ingin sekali berjalan dan menikmati suara khas desa ini.
Tak lama, Mim dan Lam lewat. Umar sendiri tersenyum dan menyapa mereka. Seperti sebelumnya, mereka tak merespon dengan baik. Mereka malah menatap Umar dengan tatapan penuh amarah.
“Lam, Mim. Aku menyapa kalian baik-baik. Apa aku salah?”
Mereka tak menjawab. Tanpa peduli dengan Umar, mereka langsung saja pergi. Umar sendiri bingung, kenapa semua ini masih sama saja? Apa yang salah dari dirinya? Dia hanya ingin sekedar menyapa.
Umar akhirnya melanjutkan jalannya. Dalam waktu yang tak begitu lama, dia sampai di rumah Dahayu. Terlihat rumah yang terbuka begitu saja dengan kondisi penghuni yang sedang tertidur.
“Mas Tegar. Mas, bangun dulu Mas!” Tegar dalam kondisi setengah sadar akhirnya terbangun.
“Ada apa? Aku ngantuk.”
“Pintunya ditutup dulu. Takut ada apa-apa. Hari sudah malam.” Tegar sendiri mau tidak mau akhirnya mengikuti apa yang diminta Umar. Dia sendiri masih dalam kondisi yang ngantuk.
Tak lama, Lamdi sendiri pulang. Dia mendapati anaknya bersama Umar berada di rumahnya. Mengerti raut wajah sang ayah yang marah, Tegar buru-buru menenangkan dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ayah, jangan marah dulu! Ini gak ada apa-apa. Lelaki ini hanya mengingatkan aku untuk menutup dan mengunci pintu rumah. Gak lebih dari itu.”
“Kenapa kau masih percaya dengan orang ini? Kenapa? Apa karena dia teman dari anak ingusan itu?”
“Ayah, kenapa kau jadi seperti ini? Aku memang meminta tolong padanya. Ini demi Ibu. Ini demi kebaikan Ibu. Aku tidak mau kalo Ibu harus menyerahkan kehormatannya pada orang lain.”
“Tau apa kamu? Kau, pergi dan jangan sekali-kali menginjakkan kaki di rumah ini.” Lamdi langsung menutup pintu dengan kasarmnya. Tegar hanya bisa terdiam. Malam itu dia ribut dengan sang ayah akibat perbedaan pandangan.
“Ayah, terserah mau ngapain. Tapi aku gak akan pernah rela jika Ibu harus menyerahkan kehormatannya sebagai perempuan ke lelaki bajingan seperti Broto.”
“Kau tidak tau. Itu ritual yang harus dilalui.”
“Apa yang membuat Ayah yakin? Apa Ayah tidak ada rasa cemburu dan sakit hati melihat istrinya diperlakukan seperti itu oleh orang lain? Yah, aku tidak rela jika Ibu harus dapat perlakuan seperti itu. Kalau bisa menyembuhkan tanpa merenggut kehormatan, kenapa Ayah lebih memilih orang yang terang-terangan merenggut kehormatan orang yang aku cintai?” Tegar sendiri langsung masuk kamar dan membiarkan Lamdi sendiri. Dalam hatinya, ingin sekali Lamdi memeluk putra sulungnya. Anak lelaki yang begitu peduli dengan mereka selama ini.
Dia tak punya pilihan lain. Dia tak punya cara lain. Satu-satunya jalan yang harus diambil olehnya hanyalah meminta bantuan pada lelaki yang namanya Broto. Dia sebenarnya tidak rela mendengar apa yang bari saja anaknya sampaikan. Dia begitu tak terima jika Ibunya harujs kehilangan kehormatan sebagai seorang wanita.