“Kenapa aku bisa bertemu denganmu? Kenapa aku bisa menikah dengan perempuan yang justru bersekongkol dengan kekasih gelapmu? Aku yang tak tau apa-apa, ikut merasakan getahnya. Ikut merasakan amarah dari mereka. Apa salahku? Andai saja aku tak dekat denganmu, dan tak menikah dengan Lesti mungkin saja aku tidak aka menjadi seperti ini.” Kata-kata itu langsung saja keluar dari mulut Hisyam. Dia tak bisa lagi memendam semua perasaan dan gundah yang selama ini berkecamuk dalam hatinya. Sakit yang ada dalam diri Hisyam sepertinya sudah tak lagi bisa terbendung.
Ingin sekali Hisyam menghabisi nyawa dari Wicaksono dan semua yang membuat hidupnya seperti ini. Tapi, rasa takuitnya akan apa yang menjadi konsekuensi ke depannya yang membuat dirinya terus menahan dan memperbanyak mengucap istighfar.
“Andai saja aku tidak takut pada Allah seperti yang kau lakukan, kau hanya tinggal nyawa. Kedua bocah itu tidak perlu berbuat teror di desa ini. Mereka tidak perlu membuat semua ini. Cukup aku yang mewakili.” Hisyam langsung saja pergi dan tak peduli dengan apa yang ingin disampaikan oleh Wicaksono.
Wicaksono sendiri mengejar Hisyuam dan ingin menjelaskan semuanya. Dia tau, lelaki ini tak pantas mendapatkan semua ini.
"Hisyam, tolong maafkan aku! Aku tau ini semua gara-gara aku.”
“Kenapa kau mempermainkan ajaran agama? Kenapa kau mempermainkan pernikahan? Kalo memang kau tidak mencintai Kasih, kenapa kau menikahinya? Untuk apa kau melakukan semua ini?”
“Aku Khilaf. Aku melihat Darti lebih cantik.”
“Darti lebih cantik kau bilang? Padahal banyak lelaki yang mengantri untuk bnisa menikah dengan Kasih. dan kau, justru membuat dia jadi seperti itu? Dasar lelaki gak tau malu. Tak seharusnya kau hidup. Lebih baik kau mati saja. Tak ada gunanya kau hidup. Memalukan desa ini saja.” Wicaksono hanya bisa menangis. Apa yang baru saja Hisyam katakan membuat dirinya semakin terpuruk. Kawannya di masa muda sudah tak lagi peduli dengan dirinya yang kondisinya seperti ini.
“Hisyam, jaga kata-katamu.”
“Aku, diminta menjaga ucapan pada orang yang sudah membunuh istrinya dan menyiksa anaknya sampai hampir tewas? Itu tidak akan pernah terjadi.” Hisyam pergi dan membuat Wicaksono hanya tertunduk lesu. Air matanya terus keluar dan ingin sekali memohon maaf kepada semua orang. Selama ini, ternyata sudah banyak orang yang sudah dia sakiti.
Hisyam menendang apapun yang ada di hadapannya. Dia juga menendang sebuah bak yang berisi penuh dengan air. Dia tak peduli dengan apa yang tengah orang-orang lakukan. Kali ini lelaki itu dikuasai amarah. Dia menuju rumah dan mengambil sebuah parang lalu kembali ke temnpat dimana Wicaksono berada. Amarahnya yang berkobar membuat warga yang berada di dekatnya merasa khawatir dan ketakutan.
Mengetahui apa yang dibawa Hisyam, Mbah Yani langsung mendekat dan mencegah hal yang buruk terjadi. Akan terjadi pembunuhan jika Hisyam diteruskan tanpa kontrol dari siapapun.
“Biarkan aku yang akan menjadi penyebab kematian dari lelaki gak tau malu seperti dia. Desa ini tidak butuh dia. Dia hanya aib bagi desa ini.” Usaha Mbah Yani mencegah Hisyam gagal. Tubuh itu terlepas dan langsung mengejar Wicaksono yang menghindari amukan dari Hisyam. Hisyam terus berteriak dan meminta agar Wicaksono berhenti dan bertanggung jawab atas semua ulahnya.
“Hisyam, jangan seperti itu. Kau mau menghabisiku?”
“Kau adalah dalang utama dari semua ini. Amarah ini harusnya menyasar padamu.” Tanpa pikir panjang, parang itu dilempar dan tepat mengenai kaki Wicaksono. Wicaksono langsung terjatuh dan terlihat kakinya mengeluarkan darah segar.
Melihat hal itu, Hisyam sendiri belum begitu puas. Dia mengambil parang itu dengan paksa dan ingin membuat lelaki itu mati dengan kondisi yang mengenaskan. Andai saja kepala desa tidak ada di tempat itu, mungkin saja nasib Wicaksono tinggal kenangan.