Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #65

ketakutan

Mereka menempuh perjalanan yang tak begitu lama. Waktu tak begitu terasa karena selama perjalanan mereka cerita terkait apa yang terjadi. Banyak hal yang Kyai Rosyid ketahui dari cerita kawannya.

“Sampai seperti itu dia marah? Aku gak menyangka dia sampai seperti itu.”

“Aku sendiri juga gak menyangka Hisyam bisa sampai seperti itu. Kau tau sendiri Hisyam waktu belajar di tempatmu itu seperti apa? Dia kan salah satu murid yang nurut kan?”

“Aku tau dan masih ingat hal itu Mas. Dia juga sempat aku minta jadi abdi di pesantren. Aku ga tau kenapa ini bisa terjadi. Kenapa anak itu tiba-tiba bisa berbuat hal yang seperti itu?”

“Mas, nanti biarkan dia cerita. Nanti kita minta apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Kita gak tau kenapa bisa Hisyam yang awalnya baik menjadi orang yang tega seperti itu.” Mereka akhirnya sampai dan disambut Amelia. Dia tersenyum dengan kedatangan sang suami dan kedua temannya.

“Mbak Amelia.”

“Mbak Rofi, Mas Rosyid. Silahkan masuk. Mau dibuatin apa?”

“Gak perku repot-repot. Kami mau menemui Hisyam. Orangnya ada?”

“Ada Mbak. Ayo, aku antar ke tempatnya. Dia sekarang sedang istirahat. Tadi pagi dia marah dan nangis. Baru aja tenang.” Mbah Yani langsung masuk dan diikuti oleh ketiga orang lainnya. Mereka melihat Hisyam yang hanya bisa terdiam dan menatap kosong.

“Assalamualaikum. Hisyam, kau masih mendengar suaraku?” Hisyam langsung menoleh dan melihat Kyai Rosyid berada di hadapannya.

“Waalaikumussalam.” Setelah mengucap salam, Hisyam langsung menangis. Kyai Rosyid mendekat dan menepuk bahunya. Tak disangka, Hisyam langsung memeluk dan tangisnya semakin pecah.

“Hisyam.”

“Mas, biarkan Hisyam menangis dulu! Sepertinya memang beban dalam hatinya begitu berat.” Nyai Rofi meminta ha itu karena iba melihat Hisyam yang menatap kosong saat ditemui.

Setelah sekian lama Hisyam menangis, kondisinya sudah sedikit bisa tenang. Semua tersenyum dan mengucap alhamdulillah.

“Hisyam, ada apa? Kenapa semuanya jadi seperti ini?”

“Maaf Kyai. Maafkan saya. Saya tidak bisa seperti yang Kyai inginkan ketika saya masih nyantri.”

“Hisyam, aku terus berdoa agar kau bisa seperti apa yang aku harapkan. Selama kau belum meninggal, tidak ada kata terlambat untuk bisa seperti itu. Yang paling penting, kau mau menjadi apa yang menjadi tujuanmu.” Hisyam hanya bisa meminta maaf atas apa yang sudah dia perbuat.

“Le, kami sudah memaafkan kamu. Kalau kami gak ridho, bagaimana kamu kedepannya?”

“Terima kasih Ummi.”

“Yang jelas, kau sementara di sini dulu. Sampai kau tenang. Kalau sudah enakan, bisa kembali.”

“Kyai, boleh saya kembali ke pesantren? Saya mau ngabdi lagi. Setelah semuanya terjadi, sepertinya gak ada lagi harapan hidup. Saya mohon, izinkan saya ke pesantren lagi.”

“Le, aku selalu menunggu dan menyambut kehadiranmu di pesantren. Silahkan kalau memang mau ngabdi di sana. Aku akan sangat menyambutmu.” Kyai Rosyid tersenyum. Hisyam sendiri tampak begitu senang dengan apa yang baru saja dia dengar.

“Baiklah. Mau di sini dulu? Atau bagaimana?” Amelia sendiri tersenyum melihat keakraban kedua temannya dengan Hisyam. Dia senang karena jarang sekali dia bisa melihat pemandangan seperti itu.

“Biar Hisyam berisitirahat. Biar dia menenangkan hatinya. Aku akan datang rutin untuk bicara dengannya.”

“Terima kasih Kyai.”

“Segera pulih. Nanti bisa bantu pesantren dengan apapun yang kau mampu.” Hisyam tersenyum. Kyai Rosyid keluar diikuti oleh sang istri. Hisyam sendiri masih terdiam.

“Hisyam, kau harus segera pulih ya. Setelah ini bisa ke pesantren.” Hisyam hanya mengiyakan.

***

“Pak Kades apakah tidak ada cara untuk menghilangkan apa yang terjadi? Semalam beberapa rumah warga kembali dapat teror.”

“Iya. Kami akan meminta bantuan.”

“Bantuan kemana Pak? Mas Umar dan Mbah Yani hari ini sedang gak ada ditempat. Mereka mengantar Hisyam keluar. Biar Hisyam gak lagi membuat hal yang di luar nalar.” Kades terdiam. Dia langsung saja pergi ke rumah Alif. Dia akan meminta bantuan lelaki itu untuk mau membantunya kali ini.

Lihat selengkapnya