“Ayah.”
“Kenapa Mim?”
“Tegar bisa kita ajak untuk membalas apa yang pernah terjadi. Ini juga menyangkut keluarga Ayah Hambali sendiri.” Hambali hanya bisa terdiam mendengar apa yang baru saja Mim katakan. Apa yang baru Mim ucapkan memang ada benarnya. Tapi, dia harus berthati-hti. Tegar sempat dekat dengan lelaki yang bernama Alif. Yang dia tau, Alif tak bisa dianggap remeh.
“Tapi kita juga harus hati-hati. Dia sempat dekat dengan Alif. Dia tidak bisa dianggap remeh.” Mim hanya bisa menatap Tegar yang kali ini hanya terdiam. Tegar tak melakukan apapun di rumah itu. Dia hanya terdiam dan menatap ketiga orang yang sedang beraktivitas di dekatnya.
Mim sendiri mendekat dan membuat Tegar tersenyum. Lelaki yang dia hadapi kali ini sudah menjadi kawannya.
“Tegar.”
“Kak Mim. Ada apa Kak?”
“Kau bisa melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu?”
Mim mengeluarkan bungkusan. Bungkusan yang ternyata berisi bunga tujuh rupa.
“Nanti sore, kita pulang. Kita kembali ke desa. Aku minta, taburkan ini ke beberapa tenpat. Bantu aku, menaburkan ini ke beberapa tempat yang memang sudah ditentukan.” Tegar hanya bisa mengiyakan.
“Aku akan melakukannya.”
“Tegar, ini bukan bunga biasa. Bunga tujuh rupa ini jika sudah kau tabur, ada hal yang akan terjadi berikutnya.” Hambali langsung saja ikut dalam pembicaraan itu.
“Pak Hambali, kalo boleh saya tau, apa yang akan terjadi?”
“Beberapa hal mistis mungkin tidak bisa kau hindari. Tapi, kamu bisa mangantisipasnya.”
“Pak, bukankah itu memang menjadi resiko?”
“Tegar, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Ini tidak seperti yang kamu kira. Kalo kamu gak siap, kamu justru akan menjadi korban.”
“Apa yang harus saya lakukan Pak?”
“Setelah kamu menaburkan bunga itu, kamu harus puasa semalam penuh. Besok pagi, kamu pergi ke Telaga tempaty Lam dan Mim biasa berdiam. Minum air telaga di sana. Jangan makan dan minum apapun, sebelum kamu meminum air telaga itu.”
“Baik Pak. Akan saya laksanakan.”
“Hati-hati Le. Kelihatannya ini sederhana. Tapi ini sebenarnya bagian dari ritual yang sangat berbahaya. Kalo yang melakukan belum siap, akan membawa bahaya untuk dirinya sendiri.”
“Iya. Saya akan selalu ingat hal itu Pak.”
***
“Mas, sudah tau kabar anakku?”
“Belum Pak Lamdi. Terakhir kali, aku lihat dia berama Mim. Dia seperti diculik sama Mim. Setelah itu, aku gak tau bagaimaha dia kondisinya.” Lamdi terdiam dan hanya bisa terdiam. Dia menatap foto. Foto yang tampak dirinya bersama Tegar yang masih kecil. Dia sama sekali tak pernah menyangka, Tegar berani mengambil jalan yang berbeda dengannya.
“Tegar tetaplah anakku.”
“Walau dia berani melawan Bapak?”
“Santoso, dia puya alasan untuk bertentangan denganku. Dia sayang sama ibunya, dia berbeda pandangan saja. Tapi, tujuan dia satu, dia tetap ingin menjaga ibunya dari marabahaya.”