“Pak Wisnu, saya tau terkait apa yang menjadi dilema almarhum. Ada sebuah amanah yang harus segera beliau selesaikan waktu itu sebelum melepas jabatannnya.”
“Maaf Pak Kades, tapi almarhum sebenarnya berani melepas jabatan saat itu. Hanya saja, almarhum banyak pertimbangan yang harus dipikirkan.” Lelaki yang bernama Wisnu tanpak meneteskan air mata.
“Maaf. Saya sangat menghargai jasa beliau selama memimpin desa ini. Saya sangat menghormati beliau selama menjadi Kepala desa di tempat ini.”
“Pak Kades, Anda harus tau. Almarhum membela Lam dan Mim sampai beliau wafat. Beliau membela kedua anak itu dengan cara yang lain. Kalo sudah kejadian seperti ini, aku gak bisa berbuat apapun.”
Lelaki itu akhirnya menceritakan semuanya. Kepala desa hanya bisa terdiam. Ternyata, walaupun ayahanda dari lelaki yang bernama Wisnu tak bisa mengadopsi Lam dan Mim, tapi dia yang justru menyelamatkan kedua bocah itu saat harus pergi dari desa ini.
“Orang yang membawa kedua anak itu pergi dari desa ini, gak lain adalah orang suruhan dari mendiang ayah saya. Mereka berdua dibawa ke panti asuhan yang bernaa Bintang Gemilang. Panti asuhan itu milik mertua Pak Hambali. Tapi, panti asuhan itu harus terbakar dan beberapa anak harus menjadi korbannya. Salah satunya adalah anak dari Mas Hisyam.” Wisnu tak mampu melanjutkan ceritanya. Kisah itu, membuat dia tak bisa menahan kesedihan.
“Pak Wisnu.” Lelaki itu menggeleng.
“Sejak kebakaran itu menghanguskan Bintang Gemilang, almarhum sakit-sakitan sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.”
“Pak, saya tau apa yang kau rasakan sekarang ini.”
“Pak Kades, saya memang gak bisa membenarkan apa yang dilakukan mereka berdua. Tapi harus kita ingat, apakah selama ini kita peduli pada mereka? Ibunya justru harus menjadi pelacur. Keluarga Ibunya hgarus dihakimi sebagai keluarga pelacur. Mereka yang sama sekali gak tau apa-apa, harus merasakan akibatnya. Mereka masih kecil. Mereka gak tau apa-apa masalah yang terjadi pada Ibunya.”
“Pak Wisnu. Saya minta Bapak tenang terlebih dulu. Bapak tenang.” Wisnu mulai bisa menahan diri.
“Pak, apa yang Bapak inginkan? Ada apa Bapak memanggil saya ke tempat ini?”
“Pak Wisnu. Saya sebenarnya mau minta tolong. Bapak bisa mendekati Lam dan Mim?”
“Saya gak berjanji.”
“Tapi, mereka tidak pernah sekalipun mengganggu Bapak dan keluarga.”
“Saya tau. Tapi bukan berarti saya bisa mendekati kedua anak itu begitu saja.”
“Pak, saya minta tolong Pak.”
“Akan saya coba. Semoga berhasil. Saya sebenarnya juga gak tega melihat mereka hidup dipenuhi dengan dendam. Saya juga gak tega, desa tempat kita tinggal harus berada di bawah bayang-bayang ketakutan.”
“Saya minta ya Pak.” Wisnu akhirnya mengiyakan. Kali ini, Wisnu langsung saja pulang. Dia pulang dan terdiam. tak lama, Alif sendiri langsung datang saat melihat lelaki yang kali ini menjabat sebagai ketua RT itu tampak melamun.
“Pak RT.”
“Eh, Mas Alif. Ada apa?”
“Pak RT kenapa?”
“Gak ada Mas.”
“Kalo gak ada sesuatu, kenapa Bapak melamun seperti ini? Bapak ada sesuatu yang mengganggu?”
“Aku sebenarnya diminta sama Pak Kades untuk mendekati Lam dan Mim.”
“Diminta Pak Kades? Kenapa Pak Kades minta Bapak?”
“Mas, almarhum ayahku dulu sempat membela kedua anak itu. Bahkan, dia sempat mau mengadopsi Lam dan Mim. Tapi, semua itu akhirnya hanya menjadi angan.”
“Hanya angan?”
“Maaf, aku harus cerita. Beliau sebenarnya gak tega dengan kedua anak itu. Kedua anak yan sebenarnya sama sekali gak mengerti apa yang terjadi pada orang tuanya. Tapi, mereka harus menjadi korban.”
“Pak, kenapa mendiang gak jadi mengadopsi Lam dan Mim?”
“Beliau harus menunaikan janjinya. Beliau harus melindungi grup yang sudah lama ada di desa ini. Grup yang memang beliau lindungi sejak lama. Semenjak beliau menjadi kepala desa, kelompok itu mendapatkan tempat. Jadi, beliau gak bisa mengadopsi kedua bocah itu, karena takut kelompok itu kenapa-napa setelah beliau gak jadi kepala desa.”
“Kelompok apa kalo boleh tau?”
“Kelompok penderita HIV. Mereka aman di desa ini selama beberapa tahun.”
“Tapi, kenapa Bu Kasih anaknya malah gak aman?”