Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #71

Chapter #71

Hisyam akhirnya pergi. Dia pergi dan terus saja merapalkan bacaan wirid yang diajarkan oleh Kyai Rosyid. Dia terus merapalkan wirid yang sudah dia campur doa. Doa terkhusus untuk Lam dan Mim. Bukan tanpa alasan dia berdoa untuk kedua bocah itu.

Tak lama, Hisyam bertemu dengan Kyai Rosyid yang saat itu sedang memandangi halaman rumahnya. Beberapa santri yang langsung berkumpul menemui Hisyam dan sepertinya sangat senang.

“Le, kau darimana?”

“Kyai, dari sekitar sini saja.”

“Ada apa ini, Le? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang sangat mengganggumu?” Hisyam sendiri terdiam beberapa saat. Ingin sekali dia tidak bercerita terkait apa yang baru dia lihat dan terjadi. Tapi, Hisyam akhirnya mau tak mau harus bercerita.

“Saya baru dari danau dekat sini. Saya bertemu mantan istri juga Lam dan Mim.”

“Lam dan Mim? Mereka sedang apa?”

“Kurang tau, Kyai.” Kyai Rosyid kali ini langsung saja mengajak Hisyam masuk. Banyak hal yang harus dia bicarakan pada lelaki yang sekarang ini ada di hadapanya.

“Hisyam, aku harus bicara sama kamu. Aku harus membicarakan sesuatu yang sangat penting pada kamu.”

“Ada apa, Kyai? Apa yang Kyai ingin bicarakan pada saya?”

“Ini masalah Lam dan Mim. Jadi, benar dulu kamu berniat merawat kedua anak itu?”

“Iya, Kyai. Saya memang berniat merawat mereka. Tapi, keadaan yang tidak mendukung.” Kyai Rosyid terdiam beberapa saat.

“Kamu masih anggap mereka anak kamu?”

“Iya, Kyai. Beberapa hari yang lalu, Saya ingin mengambil alih amarah dari mereka. Tapi, alhamdulillahb ada Mbah Yani sama Gus Umar yang membantu saya.”

“Insya Allah. Le, aku ada rencana. Kamu pasti sudah tau terkait rencanaku itu.” Hisyam terdiam dan tampak meneteskan air mata. Sebenarnya, dia tak tega dengan Lam dan Mim jika harus mendapatkan hal itu.

“Kyai, saya sebenarnya gak tega kalo mereka dapat hal semacam itu.”

“Le, aku tau. Tapi ini harus kita lakukan.”

“Kyai, mereka adalah satu. Mereka gak bisa dipisahkan. Terus, kalo mereka dipisahkan, saya takut jika kondisi mereka akan semakin parah.” Kyai Rosyid terdiam. Dia terdiam dan matanya tampak berkaca-kaca. Tapi, memang ini harus dilakukan.

“Tapi ini memang harus dilakukan, Le. Ini harus dilakukan. Memang ini berat. Tapi kita tidak ada pilihan lain.” Hisyam tak bisa berbuat banyak. Dia tak bisa membayangkan jika kedua bocah itu harus dipisahkan. Apa yang akan terjadi nantinya?

“Kyai, tidak ada opsi lain untuk hal ini?”

“Gak ada, Hisyam. Ini cara yangb terbaik. Mim sebenarnya masih bisa diselamatkan. Dia harus segera diselamatkan sebelum jauh tersesat.” Hisyam tak bisa berbuat banyak.

“Kalo memang itu jharus dilakukan, apa saya boleh terlibat? Mereka itu anak saya. Mereka anak saya yang harus saya sayangi.”

“Hisyam, untuk apa kau harus terlibat?” Hisyam terdiam beberapa saat. Dia sebenarnya akan menghadapi amarah dari salah satu diantara mereka. Tapi, dia kali ini tak bisa mengambil keputusan lain.

“Mereka pasti marah. Dan aku ingin mendapat amarah dari salah satu diantara mereka. Aku sudah bersalah, dan sekarang ini adalah saat yang tepat untuk mereka membalas apa yang terjadi di masa lalu.”

“Le, itu sangat berbahaya.”

“Bahkan Lesti hampir saja membunuhnya. Anak saya harus terbunuh saat kejadian itu. Bukankah dalam agama kita, nyawa harus dibalas nyawa? Aku adalah orang yang paling bertanggung jawab atas meninggalnya anakku.”

“Hisyam, istighfar.”

“Saya selalu dihantui rasa bersalah setelah mengetahui kebenarannya. Saya merasa sangat berdosa.”

“Le.”

Lihat selengkapnya