Wisnu tampak meneteskan air mata. Malam ini, dia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Wisnu benar-benar tak bisa membendung kesedihan hatinya mengingat bagaimana akhir hayat sang ayah.
“Paklek.” Dayat mendekati Wisnu. Wisnu menatap orang yang ada di sekitarnya.
“Dayat, aku punya hutang pada mendiang ayah. Aku masih punya hutang pada beliau. Ada mimpi beliau yang sampai sekarang ini belum terwujud.”
“Paklek, mimpi apa itu? Boleh kami tau?” tanya Dayat. Dayat yang melihat Wisnu menangis, tampak tidak tega.
“Beliau sempat punya mimpi, desa ini harus jadi tempat yang nyaman untuk penderita HIV. Desa ini harus menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi mereka yang menderita HIV. Tapi sepertinya itu mustahil. Warga desa sangat tidak mengharapkan kehadiran mereka. Mereka tidak diinginkan di desa ini. Warga asli yangb mengidap penyakit itu malah diusir bahkan dibunuh dengan rapi. Dia tidak dihormati.” Wisnu akhirnya pergi dan menangis.
“Paklek. Mau kemana Paklek?” Dayat berusaha mengejar. Tapi semua itu tampaknya sia-sia.
“Dayat, sudahlah Dayat.” Alif mencegah Dayat untuk mengejar lelaki itu.
“Aku tidak bisa begini saja, Lif. Aku tidak bisa diam begini saja melihat Paklek seperti itu.”
“Dayat, biarkan Pak Wisnu tenang terlebih dulu. Biarkan dia waktu untuk sendiri. Dia harus menenangkan diri.” Dayat menggeleng. Dia kali ini tidak bisa membiarkan Wisnu menyimpan semuanya sendiri.
“Setelah sekian tahun Paklek harus memendam semuanya sendiri? Dan aku sekarang harus membiarkan dia sendirian lagi? Ini bukan masalah dia butuh waktu sendiri atau enggak, tapi masalah tekanan mental yang selama ini dia rasakan. Selama ini, bukan hanya ayahnya Paklek Wisnu yang tertekan secara mental. Tapi Paklek sampai sekarang juga tertekan secara batin. Aku tau sendiri, setiap waktu dia sendirian, Paklek selalu menangis. Hampir setiap hari, dia menangis saat sendirian. Paklek harus menanggung beban untuk mewujudkan apa yang ayahnya impikan. Aku tau, ini seharusnya bukan tanggung jawab Paklek sepenuhnya. Tapi, semuanya sudah seperti ini. Paklek merasa menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas Impian mendiang yang belum sempat terwujud.” Alif yang sekarang berada di hadapan Ahmad hanya bisa terdiam. Dia tak bisa berkomentar apapun. Tapi, kali ini Alif langsung saja menemani Ahmad untuk menemui Wisnu.
Wisnu kali ini berada di samping makam sang ayah. Tampak dia terdiam dengan air mata yang terus saja menetes.
“Ayah, aku sudah gagal. Aku sudah gagal mewujudkan impianmu. Maafkan anakmu yang tidak becus mewujudkan harapanmu. Aku memang tidak becus mengurus semua ini. Sesuai apa yang kau mau, aku akan pergi dari wilayah ini. Aku akan pergi dan meninggalkan semua peningalanmu. Aku tidak berhak menikmati ladang dan rumah yang kau tinggalkan.” Wisnu langsung pergi. Hidayat yang melihat Wisnu pergi, langsung saja mencegahnya. Dia tak mau jika Wisnu menyerah begitu saja.
“Paklek.”
“Dayat. Biarkan aku pergi. Aku sudah gagal.” Wisnu bicara dengan nada dingin.
“Paklek, belum saatnya untuk bilang kalo ini gagal. Sangat cepat kalo kita bilang jika ini sudah gagal.” Hidayat menatap lelaki itu dengan wajah yang basah. Wisnu melihat Dayat dengan hati yang sangat berat.
“Sepuluh tahun sejak mendiang meninggalkan kita, selama sepuluh tahun itu pula, aku belum bisa mewujudkan mimpi dari mendiang. Beliau pasti kecewa di sana. Beliau pasti sangat kecewa melihat desa ini.”
“Paklek, Mbah Yusron akan sewlalu menagih janji kita. Mbah Yusron akan selalu menunggu janji itu terwujud. Aku tau, Paklek seperti ini, karena terikat janji sama mendiang Mbah Yusron.” Wisnu hanya bisa terdiam. dia terdiam dan menatap makam sang ayah.
“Aku sudah gagal. Aku sudah gagal mewujudkannya.” Hidayat dan Wisnu yang melihat Wisnu dengan kondisi seperti itu, tampak tak tega.
“Pak Wisnu, apa yang dikatakan Hidayat ada benarnya. Ini belum terlambat. Ini belum sepenuhnya bisa kita katakan terlambat. Kembalinya Lam dan Mim ke desa ini, bisa jadi sebuah jalan agar permintaan mendiang Mbah Yusron bisa diwujudkan. Pak Wisnu, Mim menderita HIV. Kalo dia bisa diterima di desa ini, itu berarti apa yang diimpikan mendiang bisa sangat diwujudkan.” Apa yang Alif katakan, membuat Wisnu tertegun.