“Sekarang aku minta sama kamu, kalian berdua cek HIV. Aku ingin tau bagaimana hasil pemeriksaan itu.”
“Wisnu, apa yangb kau lakuikan? Apa yang akan kau lakuka nkalo kami positif?” tanya Ismail. Wisnu tampak mnenahan amarah. Dia sepertinya kehilangan kewarasan melihat kakaknya.
“Aku tidak akan memberi tahumu. Karena kamu pasti sudah tau apa yang bakal aku lakukan padamu, kalo hasilnya sampai positif.”
“Wisnu.” Istri Ismail tampak mendekat. Dia tampak ketakutan dengan ancaman Wisnu.
“Ada apa, Mbak? Kenapa kamu ketakutan seperti itu?” tanya Wisnu dan menatap Ismail bersama istrinya.
“Tolong jangan usir kami. Tolong jangan lakukan itu pada kami.”
“Kenapa enggak? Siapapun yang sudah merintangi jalan mendiang Ayah, aku akan membuat perhitungan kepadanya. Apalagi kalian adalah keluarga mendiang. Sudah seharusnya kalian mendukung. Tapi, apa yang kalian lakukan? Apa yang dilakukan suami kamu? Dia malah ikut melecehkan Kasih. Itu sama saja melecehkan pada kami.”
“Wisnu, aku mohon.” Ismail langsung saja bersimpuh. Tapi Wisnu sekarang tak butuh permintaan maaf darinya.
“Penderita HIV sudahb mencoreng nama desa ini. Aku akan menghabisimu sekarang juga. Kamu sudah membunuh Ayah secara perlahan dengan perbuatanmu yang sangat kurang ajar. Sekarang, aku juga akan membuatmu kehilangan nyawa. Aku akan membuatmu mati, persis seperti Kasih dan Ayah.”
“Jangan. Wisnu, jangan kau lakukan itu.” Wisnu mengeluarkan sebuah senjata yang sejak tadi dia simpan. Senjata tajam yang sebenarnya untuk membersihkan rumput di balai RW, kali ini urung digunakan. Dia akhirnya menggunakan itu untuk menghabisi kakaknya.
“Paklek, jangan lakukan itu, Paklek,” sebuah tangan mencegah Wisnu untuik melayangkan senjata itu ke arah Ismail. Dayat tidak bisa melihat kedua bersaudara itu sling bermusuhan. Wisnu tampak begitu marah dengan lelaki yang ada di hadapannya. Tapi, Dayat sudah mencegah hal itu terjadi.
“Biarkan aku menghabisinya. Kalo orang tua Mim harus mati gara-gara menderita HIV, dia juga harus mengalami hal yang sama. Seperti pendapat warga desa ini, penderita HIV wajib dimusnahkan.”
“Paklek, aku mohon jangan lakukan itu.” Hidayat memohon.
“Pak Wisnu, jangan lakukan itu. Aku sebagai kepala Desa meminta, jangab lakukan itu.” Lelaki yang tengah menjabat sebagai kepala desa langsung mencegah Wisnu melakukan hal yang sama sekali tidak layak untuk dilakukan.
Wisnu tak peduli. Dia mengacungkan senjata itu ke arah Ismail dan membuat Ismail berteriak ketakutan dan menjauh.
“Paklek.”
“Berhenti kau, Bajingan. Kalo warga gak ada satupun yang mau mengusirmu, aku sendiri yang akan melenyapkanmu dari desa ini.” Melihat Ismail berlari, Wisnu mengejarnya. Dia tak peduli dengan teriakan Ismail yang sangat ketakutan.
Para warga yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak bisa mencegah amarah dari Wisnu yang sudah meledak-ledak.
“Paklek.” Hidayat ikut mengejar Wisnu. Beberapa warga termasuk kades dan Alif juga mengikuti kemana mereka pergi.
Wisnu berhasil memegang tangan Ismail. Senjata itu dilayangkan dan membuat Ismail sangat ketakutan.
“Paklek, jangan!” Hidayat memegang tangan Wisnu, melihat dia ingin melakukan hal itu pada kakaknya sendiri. Wisnu terdiam menatap Hidayat yang tampak meneteskan air mata.