Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #77

Chapter #77

Warga langsung saja setuju dan memilih pergi. Para tokoh desa yang hadir di pemakaman itu tidak bisa berbuat banyak. Apa yang sudah warga putuskan, sepertinya sudah bulat.

“Pak, kenapa masih ada di sini? Ayo, kita ikuti mereka. Kita nggak bisa membiarkan desa ini terjadi pembunuhan lagi.” Kepala desa yang melihat beberapa orang tetap berada di samping makam Ismail, langsung saja menegur. Dia tampak begitu gusar dengan sikap mereka yang seolah tidak peduli.

“Maaf, Pak Kades, kami bukannya tidak peduli. Tapi semua ini sudah seharusnya mereka lakukan. Mereka yang memulai dan mereka juga yang harus mengakhiri.”

“Tapi kita tidak bisa membiarkan pembunuhan itu kembali terjadi. Sudah berapa banyak kasus pembunuhan yang terjadi di desa kita?”

“Sejak kematian Kasih, Desa ini sudah terjadi pembunuhan dan tidak bisa dibendung jumlahnya.”

“Kita tidak bisa membiarkan pembunuhan itu terus terjadi. Sampai kapan rantai pembunuhan ini terus kita biarkan? Kita sebagai pemangku kepentingan di desa ini harus berbuat sesuatu. Kita harus berbuat sesuatu agar kejadian yang buruk, tidak kembali terjadi.” Mereka tampak terdiam. Mau tak mau, mereka akhirnya mengikuti kemana para warga pergi.

Di tengah jalanan desa, para warga terus meneriakkan sesuatu. Teriakan agar Wicaksono dan para wanita yang berlindung di baliknya, harus segera diusir dari desa tersebut.

“Wicaksono, keluar kau pengecut. Dasar biang kerok masalah.”

“Keluar kau pecundang.”

Rumah yang menjadi tempat Wicaksono bersembunyi selama ini akhirnya didobrak. Wicaksono yang mengetahui para warga sedang mencari dirinya, tampak sangat ketakutan. Melihat warga yang menatapnya dengan wajah amarah, Wicaksono tampak mundur beberapa langkah.

“Maaf, jangan lakukan hal ini. Jangan seperti ini.” Wicaksoni gemetar saat warga menyeret tubuhnya keluar dari rumah tersebut.

“Dasar Pecundang. Kau menjadi biang kerok dari masalah di desa ini. Kau harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di desa ini.” Tubuh Wicaksono dilempar dan berada dalam genggaman orang lain. Orang yang sekarang memegang baju Wicaksono, tampak begitu tersenyum.

“Wicaksono, kalo kamu memang mau menjual istrimu yang namanya Kasih, jual saja. Tapi, jangan pernah melempar akibat dari kelakuan bejatmu pada warga desa ini.”

Tubuh Wicaksono terus dioper dari satu warga ke warga lain. Para warga mengatakan semua kekecewaannya pada lelaki yang sekarang tengah ketakutan.

“Tolong, hentikan! Jangan seperti ini!” Wicaksono menangis dengan apa yang dilakukan para warga.

“Kau takut, pecundang? Kemana kesombonganmu saat berhadapan dengan Kasih? Sudah hilang? Atau semua itu hilang akibat ulah anak kamu itu? Kamu takut sama anak ingusan seperti Lam dan Mim?”

“Jangan, jangan lakuan ini. Tolong.” Wicaksono berteriak dan tampak ingin segera kabur dari warga yang posisinya melingkar.

“Wicaksono, jangan pernah berharap bisa kabur setelah apa yang kau lakukan.” Wicaksono hanya bisa menangis dan berlari sekencang yang dia mampu. Kondisinya sudah tak lagi sama seperti dulu.

Wicaksono akhirnya sampai di tempat Lamdi. Lamdi yang tampak kaget dengan kehadiran Wicaksono di rumahnya, langsung saja mencoba menenangkannya.

“Wicaksono, kamu kenapa?”

“Tolong aku. Aku mohon, tolong aku dari kejaran warga.”

Lihat selengkapnya