“Kyai, seperti aku menikahinya di hadapan Njenengan, lelaki yang menjadi walinya dan beberapa orang saksi. Aku menjatuhkan talak tiga pada istriku, secara sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.” Hisyam menatap Kyai Rosyid dan seluruh santri dengan senyum.
“Baiklah, karena kamu mengucapkan talak secara sadar, maka sejak kamu mengatakan hal itu, kalian bukan lagi suami istri. Aku, istriku, dan semua santri yang ada di sini menjadi saksi kamu menjatuhkan talak padanya.” Hisyam tampak meneteskan air mata. Sinar wajahnya semakin terpancar sekarang.
“Kyai, Lam dan Mim akan aku angkat sebagai anak. Mereka akan menjadi anakku. Sekarang, tidak ada seorangpun yang bisa menghalangiku. Kalo aku dulu gagal mengambil mereka gara-gara penolakan istri, sekarang tak ada lagi yang bisa menghalangi untuk melaksanakan niat yang sudah aku janjikan sejak lama.”
Lesti diam dan hanya menatap Hisyam. Dalam hatinya, dia sangat menyayangi lelaki itu. Tapi, takdir berkata lain. Hisyam baru saja menceraikannya.
“Mas Hisyam.”
“Lesti, kamu bukan lagi istriku. Silahkan kau mengambil rumah yang selama ini kita huni. Aku akan bertahan di sini. Lam dan Mim, jika mereka sudah bisa dinetralisir kekuatan jahatnya, akan aku ajak tinggal di sini. Biar aku yang membimbing mereka secara langsung.”
Mendengar apa yang Hisyam katakan, Lesti bagaikan dilempar belati dan tepat menancap hatinya. Melihat sang suami begitu menyayangi Lam dan Mim, dia merasa sangat berdosa sudah menjauhkan mereka saat itu.
“Mas, apa istimewanya anak itu?”
“Aku mengenal Kasih sejak dia masih kecil. Dia sangat cerdas dan punya segudang prestasi. Lelaki mana yang tidak menyukai wanita seperti itu? Tidak hanya cantik yang dia punya, tetapi kecerdasan yang luar biasa. Andai saat itu dia masih lajang, aku akan memilih Kasih daripada wanita lain. Tidak ada wanita di desa kita, yang bisa menandingi kemampuan Kasih. Bukankah kita menikah harus mencari sosok yang terbaik? Karena aku sebagai lelaki harus bertanggung jawab atas keturunanku sendiri, salah satunya mencari ibu yang baik untuk keturunan, begitu kan, Kyai?” Hisyam menatap Kyai Rosyid yang terdiam dan tersenyum.
“Hisyam, tapi takdir berkata lain.” Kyai Rosyid mencoba membuat Hisyam lapang dada.
“Aku memang tidak bisa menikahi dan menyelamatkan Kasih. Tapi, aku sekarang bisa merawat anak-anaknya. Memang Lam dan Mim sudah dewasa, tapi aku yakin, mereka sangat butuh kasih sayang yang selama ini hilang. Terlahir dari rahim wanita hebat, tapi berada di tangan lelaki yang salah. Sejak kecil, mereka hanya mendapat hinaan dan cacian dari sekitar. Aku akan menebus semua ini, pada kedua anak itu. Aku akan membuat hidup mereka ke depannya, menjadi penuh tawa dan suka. Sudah cukup air mata duka yang mereka harus keluarkan.”
Kyai Rosyid tersenyum melihat keteguhan hati dari Hisyam. Dia sangat begitu yakin dengan niatnya sekarang ini.
“Le, semoga Allah meridhoi segala langkahmu. Semoga Allah meridhoi segala niatmu sekarang ini.” Hisyam menatap santri yang ada di sekitarnya.
“Kyai, andai anakku masih hidup, mungkin dia seusia dengan mereka. Jika anakku masih hidup, mungkin dia sekarang sudah mau lulus SMA.” Tak terasa, tetes demi tetes air mata jatuh.
“Le, aku tau. Aku tau hal itu. Aku melihat, kau sangat menyayangi angkatan mereka.” Nyai Rofi tampak sangat senang.
“Mereka adalah teman-teman dari anakku. Mereka seusia dengan anakku. Aku selalu merasa, anakku hadir saat bersama mereka. Aku merasa, anakku hadir dan tersenyum saat aku membersamai mereka.” Hisyam tampak tersenyum.
Lesti yang merasa sangat bersalah, langsung saja pergi dengan deraian air kata. Dia tak bisa berbuat banyak dengan apa yang sudah terjadi. Dia sudah bersalah.
Niatnya mebnghabisi kedua anak dari Kasih, malah menjadi boomerang pada dirinya sendiri. Sekarang, dia harus menerima takdirnya, menjadi seorang janda.
“Mas, aku akan buktikan kalo aku bisa jadi perempuan yang baik. Aku akan buktikan, luka yang kutorehkan padamu, akan sembuh gara-gara aku. Akun yang menorehkan luka, dan aku yang akan menyembuhkannya.”