“Itu sudah cukup untuk membalas sakit hati kalian. Aku tau, sakit hati itu bukanlah apa-apa. Tapi, aku tidak bisa membayangkan jika perempuan yang menemaniku selama puluhan tahun, adalah aktor utamanya. Itu sangat menyakitkan. Aku ternyata harus hidup selama beberapa tahun, dengan seorang pembunuh, bahkan dia tega membunuh anaknya sendiri.” Hisyam menatap semua orang yang ada di sekitarnya. Dia ingin Lam dan Mim mendapatkan keadilan.
“Pak Hisyan sampai sekarang masihb suami dari perempuan itu.” Lam bersuara. Hisyam tersenyum sebelum menjawab apa yang Lam katakan.
“Tidak, Lam. Aku sekarang tidak lagi punya istri. Aku sudah menceraikan istriku. Aku sudah menceraikannya beberapa jam yang lalu. Sekarang, aku tidak punya lagi istri yang bernama Lesti.” Semua orang yang berada di tempat tersebut langsung terdia dan tak menyangka, jika Hisyam dengan berani menjatuhkan talak pada Lesti.
“Mas Hisyam, kau serius sudah menceraikan Lesti?”
“Aku serius. saksinya Kyai Rosyid dan keluarganya, serta santri-santrinya. Aku tidak bisa memaafkan orang yang sudah membunuh anaknya sendiri. Aku tidak bisa memaafkan seorang wanita yang tega mencelakai anak kecil. Wanita yang dengan berani mencelakai bahkan membunuh anak, dia bukanlah wanita. Dia tida lebih dari iblis.” Apa yang Hisyam katakan membuat semua orang terdiam. Apa yang dikatakan Hisyam, membuat beberapa orang yang berada di sekitar situ, hanya bisa diam dan tak bisa membantah.
“Mas, Aku minta maaf. Aku sudah membuat istrimu jadi seperti itu.”
“Mas Lamdi, kenapa kamu bisa dengan tega mengancurkan seorang wanita? Kenapa kamu dengan entengnya, menghancurkan martabat wanita? Aku tau, kau akan menyerahkan martabat istrimu pada lelaki lain. Pertanyaan dari anakmu aku ulangi, apakah di hadapanmu, serorang wanita hanyalah sebuahb barang yang bisa dijual begitu saja? Tidak adakah martabat dari seorang wanita di hadapanmu?” Lamdi terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan dari Hisyam.
“Aku memang sudahb bersalah. Aku memang sudah bersalah atas apa yang terjadi selama ini.”
“Aku hanya ingin, apa yang dicita-citakan mendiang Pak Yusron tercapai. Aku hanya ingin, desa ini menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk mereka yang menguidap HIV. Tapi ternyata kamu selama ini menghina Pak Yusron dengan segala macam ulah yang sangat memalukan.” Hisyam berdiri dan membuat semua orang hanya bisa diam dan mengikuti apa yang mereka bicarakan.
“Mas Hisyam.”
“Aku gak mau tau. Kalia semua, warga desa. Kalian harus patuh pada pimpinan kalian. Kalo kalian tidak mematuhi mendiang Pak Yusron, mending desa ini hancur saja sekalian. Biarkan impian dari mendiang harus terkubur bersama jasadnya. Aku tidak peduli tempat tinggal dan harta benda yang kalian miliki. Kalian sendiri juga tidak peduli kan sama impian mendiang? Kalian tidak peduli sama impoian mendiang Pak Yusron. Kalian semua penghianat, sama seperti istriku.” Para warga hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan Hisyam.
“Mas, kami akan mewujudkan impian dari mendiang. Bagaimanapun, impian dari mendiang Pak Yusron harus bisa terewujud. Kami janji.”
“Aku butuh bukti. Aku tidak butuh hanya janji manis dari kalian. Mas Wisnu harus tersenyum karena impian itu bisa terwujud.” Mereka terdiam dan saling pandang. Apa yang Hisyam katakan, membuat mereka tak bisa berbuat banyak.
“Mas Hisyam, apa yang diimpikan mendiang Pak Yusron akan segera kami wujudkan. Apa yang menjadi impian dari pemimpin kami, akan kami pastikan terwujud dalam waktu yang tidak lama dari saat ini.” Hisyam kali ini hanya menatap kedua kedua lelaki muda yang ada di hadapannya.
“Aku pegang janji kalian. Kalo sampai dalam waktu dekat, semua itu tidakm terjadi, aku pastikan semua warga desa akan aku seret ke jalur hukum. Ini tidak hanya masalah pembunuhan ibu dari kedua lelaki yang sudah aku angap anak, tapi ini semua sudahb masuk dalam penghinaan dan melecehkan martabat. Kalian, akan aku tandai. Kalo semua itu tidak terjadi, kalian yang akan masuk penjara terlebih dahulu.”
Ancaman Hisyam tidak main-main. Malam ini juga, dia meminta mereka menandatangani perjanjian. Warga tidak berani membantah keinginan Hisyam. Hisyam bukan lagi seorang lelaki seperti sebelumnya. Kekecewaannya pada sang istri, telahb berhasil membuat lelaki yang dikenal pendiam, berubah.
“Mas Hisyam.”
“Aku harus melakukan ini. Aku harus melakuia ini. Tidak ada tanah di desa ini untuk mereka yang menentang keinginan mendiang Pak Yusron. Mereka yang menentang, akan aku pastikan bernasib sama seperti Ismail.” Hisyam menoleh ke beberapa warga. “Apa kabar Wicaksono?”