Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #85

Chapter #85

“Kita bertiga, sekarang ini nasibnya sama. Kita tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi, kalian lebih beruntung. Masih ada saudara yang menyayangi. Kalian lebih beruntung daripada aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Anak sudah meninggal, dan istri ternyata yang menjadi dalang di balik semua ini.” Hisyam hanya mengatakan hal itu. Dia tau, kehadirannya memang tidak diinginkan oleh kedua lelaki yang sekarang berada di hadapannya.

Mim yang menyadari Hisyam hadir di sampingnya dan melempar senyum, hanya terdiam. Hanya tetesan air mata yang menunjukkan ada butir kerinduan. Mim rindu kasih sayang dan cinta dari orang terdekatnya. Sejak kematian ibunya, tidak ada orang yang benar-benar menyayanginya seperti perempuan itu. Cinta yang ibunya berikan, begitu besar.

“Mim, kamu kenapa?”

“Akuh kangen sama Ibu. Aku kangen sama Ibu.” Mim langsung memeluk kakaknya. Mim menangis dalam pelukan kakaknya. Lam, satu-satunya orang yang masih setia di sampingnya sampai saat ini dan terus memberi perlindungan sejak ibunya tiada.

Hisyam yang mendengar tangisan dari Mim, hanya bisa diam dan tak bisa melakukan apapun. Dia bukan tidak merasakan sakit mendengar tangisan dari bocah itu. Dia sangat merasakan sakit. Mereka yang tidak berdosa, harus mengalami hal seperti sekarang ini. Ini memang tidak adil untuknya. Kehidupan terlalu kejam untuk mereka.

Hisyam kembali mendekat dan menawarkan sebuahb pelukan hangat untuk mereka. Hisyam tersenyum pada kedua lelaki yang sudahb dia anggap sebagai anaknya sendiri.

Lam dan Mim terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tenggelam dalam pelukan Hisyam. Hisyam terdiam dan hanya tersenyum.

“Aku tau, tidak ada seorang di dunia ini, yang bisa menandingi cinta dari ibu kalian. Ibu kalian adalah perempua yang luar biasa. Ibu kalian itu, sosok perempuan yang luar biasa.” Hisyam menghapus air mata yang meluncur begitu saja di ewajah Lam dan Mim. “Le, sementara kalian bisa menginap di rumahku.”

“Aku mau pulang.” Lam langsung saja menjawab setelah mendengar tawaran Hisyam. Dia tak ingin mengingat luka dalam hatinya yang tergores 14 tahun yang lalu. Saat dia melewati rumah Hisyam, dia selalu ingat apa yang sudah Lesti lakukan. Lesti yang dengan begitu angkuhnya, menolak kehadiran mereka bahkan mendorong kursi roda milik Mim hingga adiknya terjatuh.

Hisyam yang melihat ada tatapan luka dari Lam, hanya bisa mencoba memahami.

“Aku tidak memaksa. Tapi, kalo kalian ingin berkunjung dan menginap di rumahku, rumah itu selalu terbuka untuk kalian.”

Mereka diam. Tak lama, hidung Mim mengeluarkan darah. Hisyam yang melihat hal itu langsung saja memberi tindalkan. Dengan modal pengetahuannya terkait pengobatan tradisional, dia mencoba mermberikan pertolongan pertama untuk menghentikan darah yang keluar dari hidung Mim.

“Lam, aku harus mengobatinya. Di rumah ada obat untuk menghentikan mimisan yang adik kamu alami.” Hisyam yang setengah berlari, langsung saja mendorong kursi roda yang Mim pakai ke rumahnya. Lam yang khawatir dengan kondisi adiknya itu, juga mengikuti langkah Hisyam.

“Pak Hisyam, Mim kenapa?”

“Mim hanya mimisan biasa. Kemungkinan dia kecapekan. Kondisi tubuhnya sebenarnya sangat lemah. Tapi, aku yakin kalo ini gak bakal lama. Mimisannya gak akan lama.” Hisyam tersenyun pada Lam.

Sesampainya di rumah, Hisyam mulai mengambil obat-obatan yang dibutuhkan. Tak butuh waktu yang cukup lama, darah di hidung Mim sudah bisa berhenti. Hisyam sangat bersyukur dengan semua itu.

Setelah darah itu berhenti, Hisyam mulai mencoba untuk cek kondisi tubuhb Mim. Mim hanya bisa diam melihat apa yang Hisyam lakukan.

Lihat selengkapnya