“Kak Mim, Ayah tadi titip pesan pada kalian. Kalo kamu sudah pulang, diminta segera datang kesana. Aku juga akan kesana untuk membantu ritual yang aka ndilaksanakan. Kak Lam, diminta ketemu sama Ki Ageng. Katanya sesajen yang sudahb kau kumpulkan sebelum kejadian malam itu, diminta dibawa.” Lam hanya tersenyum dengan apa yang Vira katakan. Dia masuk dan tak lama keluar dengan membawa sesuatu.
“Kak Lam, ini buat apa?” tanya Mim yang terheran dengan apa yang dibawa kakaknya. Sebotol air putih yangh sudah dicampur dengan bunga tujuh rupa.
“Ini semua, sesajen yang akan membantu kelancaran apa yang akan kita lakuan. Kita tidak mungkin membiarkan apa yang sudah Tegar lakukan menjadi sia-sia. Kita harus segera menyempurnakan apa yang sudah dia lakukan semalam. Tegar sudah merelakan tubuhnya terluka, dan luka itu punya resiko besar untuk dirinya sendiri.” Lam menatap langit hari ini yang sangat cerah. Mim diam dan menatap kakaknya yang sekarang langsung mengajaknya menuju Sendang.
Selama perjalanan, mereka hanya bisa diam dan Mim hanya merapalkan sesuatu. Lam yang tau mantra apa yang sedang Mim rapalkan hanya bisa memegang tangan kanan dari adiknya. Lam tidak ingin sampai mantra itu membahayakan siapapun.
“Mim, hati-hati dengan mantra itu. Aku tau mantra itu manjur untuk urusan seperti sekarang ini.” Mim langsung menoleh dan tersenyum. Dia sangat mengerti dengan apa yang kakaknya katakan.
“Aku tau, Kak. Aku tau apa yang harus aku lakukan saat kondisi seperti sekarang ini. Aku hanya ingin membuat Broto bisa mendapat balasan seperti apa yang sudah dia lakukan. Hidup kita jadi seperti ini, ada pengaruh dari apa yang pernah dia lakukan.”
“Sudahlah, Mim. Tidak perlu marah. Kalo kamu terus marah seperti ini, yang ada malah apa yang kita lakukan jadi gak maksimal. Aku tau, kita marah sama lelaki itu dan dia memang harus mendapat balasan, tapi jangan sampai amarah yang ada dalam hati kita membuat semua ini berjalan tidak sesuai rencana.” Mim hanya diam dan menatap kakaknya.
“Kak Lam, setelah semua ini beres, kita cari keluarga Ibu yang asli. Kita cari keluarga besar Ibu yang asli. Kita harus bisa menemukan mereka.”
“Iya, Mim. Kita akan cari keluarga besar dari Ibu bareng-bareng. Pak Karni akan ikut membantu kita. Dia sangat mengenal siapa mereka. Dia akan sangat membantu kita untuk menemukan mereka.” Lam mengeliuarka sesuatu. Mim yang melihat benda yang sekarang sedang kakaknya pegang, tampak terdiam. Dalam benda itu, ada sebuah tanda yang membuat Mim heran.
“Apa ini, Kak?”
“Ini benda yang Ibu kita simpan selama beberapa tahun. Orang yang merawat mendiang Ibu, menyelipkan tanda ini padanya. Ini sebenarnya titipan dari nenek, dari ibu kandungnya Ibu Kasih. Kita sudah tau, kalo saat Ibu lahir, kondisinya sangat tidak memungkinkan. Jadi, Ibu harus dititipkan sama orang yang bisa dipercaya, walaupun semua itu akhirnya membuat hidup kita malah jadi seperti ini.” Mim hanya bisa diam dan tiak sadar jika sekarang mereka sudah sampai di Sendang. Dari kejauhan, tampak Karni dan Ki Ageng sudah berada di situ dan meminta mereka untuk mendekat.
“Kalian baik?”
“Kami baik.” Lam mendekat dan menyerahkan sesajen yang akan dipake. Ki Ageng tersenyum dengan barang yang Lam bawa sekarang ini.
“Benda ini akan menyempurnakan apa yang Tegar lakukan. Tegar tidak boleh melakukan hal yang sia-sia. Aku tau dia memang nekat melakukan hal itu, tapi keberaniannya sudah membuat lelaki tua bangka itu sekarang tidak berdaya.” Ki Ageng menatap Broto yang sekarang sedang tertidur. Tidak ada perkembangan dari lelaki itu sejak semalam.
“Ki, hari sudah menjelang siang. Sudah seharusnya semua ini harus dimulai. Biarkan Lam dan Mim istirahat.” Karni langsung angkat suara dan membuat Ki Ageng mengangguk.
“Baik. Kalian berdua sekarang bisa istirahat. Aku tau apa yang sudah terjadi. Silahkan istirahat!”
Lam dan Mim hanya bisa diam mendengar apa yang dikatakan lelaki yang ada di hadapan mereka. Mereka langsung menjauh beberapa meter dari tempat Ki Ageng berdiri. Ritual yang sekarang akan mereka lakukan, adalah ritual yang sangat berbahaya.
“Mim, kita lihat ritual itu dari sisi lain.” Mim hanya terdiam dan mengiyakan. Tampak tak butuh waktu lama, kabut sudah menyelimuti wilayah itu. Kabut itu, berhasil membuat pandangan mereka terbatas. Mereka tak bisa melihat danau yang cukup luas.
“Kak Lam, aku gak bisa lihat apa-apa.” Mim terus saja memegang tangan Lam. Lam hanya bisa menenangkan Mim. Kabut ini bukanlah kabut biasa. Kabut ini, adalah kabut ghaib.
“Gak perlu khawatir. Yang penting, kita bisa melihat Ki Ageng dan Pak Karni.” Mim terdiam dan hanya bisa menatap mereka.
Setelah sekian lama ritual itu berlangsung, sebuah ledakan langsung saja mengagetkan mereka. Karni dan Ki Ageng tampak terluka cukup parah. Sepertinya ada sesuatu yang membuat ritual itu menjadi terganggu.
Mim dan Lam mendekati kedua lelaki itu. Tak lama, Vira yang memang berniat menyusul dan membawa sesuatu, datang dan melihat ayahnya sudah terluka cukup parah. Vira langsung saja menangis dan memeluk tubuh Karni yang tampak tidak lagi berdaya.