Hisyam terdiam dan menatap bangunan kuno yang sekarang menjadi Balai Desa. Bangunan itu, dia masih sangat ingat dengan apa yang pernah dia lakukan saat masih kecil. Baru 20 tahun terakhir, bangunan kuno tersebut difungsikan sebagai Balai Desa mengingat lokasinya yang sangat strategis.
“Mas Hisyam.” Kepala Desa yangb melihat Hisyam tengah terdiam langsung menegurnya. Hisyam hanya bisa melemparkan senyum menatap lelaki yang sekarang ada di sampingnya. Tidak terasa, tetesan air mata mengalir begitu saja. “Mas Hisyam, kau ada masalah?”
“Gak ada apa-apa. Aku ingat, bangunan ini saat masih kecil, bukanlah Balai Desa. Bangunan ini menjadi tempat yang nyaman dan aman buat anak kecil bermain dan berekspresi.” Hisyam tampak sangat bersedih mengingatv anak kecil. Anak kecil, selalu berhasil membuatnya teringat dengan anaknya yang sekarang sudah tiada.
“Mas, aku tau. Kita pernah menggunakan bangunan ini untuk sekedar bersantai dan brrmain. Sekarang, aku mengendalikan pemerintahan desa, dari tempat ini. Tempat yang dulu menjadi kita gunakan untuk menghabiskan masa kecil kita.” Kepala Desa tampak sangat merindukan masa itu. Dia ingat, tempat ini menjadi alarm baginya untuk terus berusaha. Desa ini sangat butuh ketenangan, setelah Lam Mim menuntut balas atas apa yang telah terjadi.
“Desa ini banyak berhutang budi pada mendiang Pak Yusdron. Sudah saatnya beliau tersenyum di alam sana. Sudah saatnya, mendiang harus bangga, desa yang teramat dia cintai bisa menjadi apa yang selama ini dicita-citakan.” Hisyam langsung menangis. Kepala Desa membiarkan lelaki yang ada di sampingnya mengeluarkan semua emosi yang terpendam dalam hatinya. tidak mudah seorang Hisyam menghadapi masalah. Tidak mudah, bagi seorang Hisyam mengarungi kehiduoannya, dengan segala macam masalah yang ada. “Aku tidak bisa mengerti, kenapa Pak Yusron yang begitu baik dan kata-katanya begitu menyejukkan, tidak dihormati oleh warganya sendiri. Selama ini, beliau mengemban amanah sebagai Kades, atas permintaan warga. Tapi warga juga yang membuatnya tidak punya wibawa.”
Kepala desa hanya bisa diam dan melempar senyuman. Lelaki itu akhirnya mengajak Hisyam untuk sekedar berjalan di sekitar Balai Desa setelah pertemuan itu selesai.
“Mas Hisyam, aku sudah mengenal Kasih sejak lama. Aku sangat mengenal mendiang ibu dari Lam dan Mim sejak lama. Bahkan, aku tau siapa ibu kandung Kasih dan asal-usul keluarganya. Kedua orang tuaku, sangat mengenal keluarga Kasih sebelum akhirnya mereka terpisah gara-gara ulah orang yang tidak bertanggung jawab. Kasih itu seorang perempuan yang sangat cerdas. Kecerdasan Kasih menurun dari ibunya. Aku sempat bertemu dengan ibunya Kasih saat masih kecil.” Kepala Desa tersenyum menginat Kasih yang berjarak 8 tahun lebih muda dari dirinya.
“Desa ini punya permata seperti Kasih, tapi warga di sini malah mengambil air comberan seperti Darti. Sekarang, saat kedua anak Kasihb menuntut balas atas apa yang terjadi pada ibunya, mereka malah kelabakan dan sempat memanggil dukun. Kekuatan dukun yang diandalkan Lamdi dan teman-temannya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kekuatan jahat yang sekarang bersarang di tubuh kedua bocah itu. Buktinya, belum apa-apa, dia sudah tumbang.” Kepala Desa terdiam mendengar apa yang dikatakan Hisyam. Dia sangat tau apa yang terjadi beberapa bulan yang lalu. “Padahal, kalo permata itu dipakai dengan benar, desa ini pasti sudah menjadi desa unggulan. Kita harus mengakui, desa kita ini kalah dari desa sekitar.” Hisyam menatap kepala desa yang sekarang juga tengah tersenyum.
“Mas Hisyam, aku sebagai pemimpin desa ini, memang harus mengakui ketertinggalan desa kita dengan desa yangb ada di sekitar kita. Makanya, aku harus kerja lebih keras untuk bisa sejajar dengan desa lain. Aku tau, desa kita sangat tertinggal dengan desa lain.”
“Pak Kades, aku tau ini semua bukan salah kamu. Kamu dulu adalah seseorang yang sangat loyal pada Pak Yusron. Tapi, kamu harus mendapat peningggalan buruk. Apa yang dilakukan warga desa, harus kamu tanggung sebagai pemimpin yang tidak tau apa-apa tentang apa yang terjadi pada desa kita.” Hisyam hanya menatap lelaki yang ada di sampingnya. Kepala desa hanya diam dan mencoba tersenyum.
“Mas Hisyam, ini sudah jadi tanggung jawabku sebagai kepala desa. Sejak aku disumpah untuk jabatan yang aku emban sekarang ini, segala yang ada di desa kita adalah tanggung jawabku. Entah aku tau atau enggak dengan kejadian itu, semuanya sudah menjadi tanggung jawabku, bukankah begitu yang harus aku lakukan?”
Hisyam terdiam dan langsung saja duduk di salah satu sudut bangunan itu. Air matanya terus mengalir bahkan semakin deras. Dia sama sekali tidak pernah menyangka, lelaki polosw yang sekarang ada di sampingnya, harus menanggung beban yang cukup berat atas apa yang dilakukan penduduk desa di masa lalu.
“Tidak seharusnya desa kita ini, mendapat musibah seperti ini. Tidak seharusnya, dua bocah itu menghancurkan desa ini.”
“Mas Hisyam.” Kepala desa langsung memeluk Hisyam dan membiarkan dia mengeluarkan semua emosinya. Hisyam hanya menangis dan teringat Mim yang sangat sakit hati dengan apa yang terjadi. Dia juga ingat Lam yang harus menahan sakit sebagai anak pertama.
“Mim dan Lam tidak seharusnya diasuh oleh orang yang salah. Mim dan Lam tidak seharusnya diasuh oleh orang yang punya kekuatan jahat. Kita sudah gagal menjaga salah satu anak yang berasal dari desa ini.”
“Mas Hisyam, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Ini bukan kesalahanmu semata. Aku tau, jika bukan karena istrimu, kau akan merawat Lam dan Mim dan menganggapnya sebagai anak.”