“Lisna, bukankah sudah beberapa bulan ini kamu melampiaskan semua ini? Kenapa kamu seperti tidak pernah puas untuk melampiaskan amarah itu?” tanya Hambali dan mencoba membuat perempuan itu terus tersadar.
“Pak Hambali, semua itu harus segera aku tuntaskan. Sekarang aku ingin istirahat.” Mereka langsung saja pergi. Darti ingin mencegah adiknya dan menawarkan perempuan itu untuk tinggal di tempatnya.
“Lisna, tinggallah di sini. Aku mohon, kamu tinggallah di sini saja denganku.” Lisna tidak menjawab. Dia tetap pergi bersama Hambali. “Lisna, aku mohon tinggallah di sini.”
“Aku tidak akan pernah mau tinggal sama kamu. Aku tidak akan pernah mau tinggal dengan seorang wanita bejat sepertimu.” Lisna tidak ingin menoleh pada kakaknya. Baginya, wajah yang ada di hadapannya hanyalah pengingat akan masa yang begitu sulit.
“Lisna.”
“Diam, kamu. Seorang perempuan hina sepertimu tidak pantas menolong perempuan yang sudah dia hancurkan. Menolong seseorang yang sudah kau hancurkan, hanyalah menjadi olok-olok bagiku.” Lisna akhirnya menoleh dan membuat Darti mundur beberapa langkah. Lisna tampak menatap tajam pada kakaknya.
“Lisna.”
“Aku sudah kau dorong ke jurang yang paling dalam bersama Mbak Kasih, sekarang kamu ingin menawarkan bantuan saat aku berusaha naik ke atas dengan caraku sendiri?”
“Lisna, aku ingin menebus semua salahku.” Lisna langsung saja pergi dengan sisa tenaga yang ada dalam tubuhnya. Darti mengejar adiknya sampai di perbatasan desa. Tapi, sesampainya di gerbang desa, tampak sebuah kendaraan yang siap mengantarkannya menuju suatu tempat. Terlihat salah satu dari keluarga Hambali yang tersenyum. Darti hanya bisa terdiam dan menatap kendaraan yang membawa adiknya pergi.
Darti diam dan kembali ke tempatnya. Di tengah perjalanan, banyak warga yang menatap dirinya dengan tatapan yang sangat tajam. Darti terdiam dan tidak peduli dengan tatapan itu.
“Darti.”
“Mau apa kalian? Mau menghinaku? Silahkan! Aku sudah siap dengan segala macam hinaan yang kalian ingin sampaikan.” Darti membalas tatapan para warga juga dengan tatapan yang tajam.
“Kalem dong! Jangan ngegas seperti itu.”
“Yang gak kalem itu siapa? Aku atau kalian?” tanya Darti. Warga hanya saling pandang mendengar apa yang baru saja dikatakan wanita yang ada di hadapan mereka.
“Jangan sombong kamu ya. Kamu di sini hanyalan sampah bagi Masyarakat.”
“Aku memang sampah. Aku akui, aku ini memang sampah di desa ini. Tapi, kalian jangan lupa, aku tidak sendiri. Semua yang aku lakukan dengan teman-temanku yang lain, bisa mulus berkat bantuan dari warga desa ini. Kalian juga andil dalam penderitaan yang Kasih alami.”
Apa yang dikatakan Darti, berhasil membuat warga terdiam. Mereka seperti tidak ingin terlibat dan merasakan akibat dari apa yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. “Kenapa? Kenapa kalian diam? Takut? Takut jadi pesakitan?”
“Siapa juga yang takut?” Salah seorang dari mereka langsung menjawab. Darti sendiri tampak tersenyum dengan jawaban itu.
“Baiklah, aku akan tunggu kalian di pengadilan. Aku sebentar lagi pasti akan masuk ke pengadilan, aku tunggu kehadiran kalian di sana. Aku pastikan, semua orang yang terlibat atas kejadian ini, akan ikut denganku menuju penjara.” Darti tampak tertawa puas melihat ketakutan yang menghiasi orang yang ada di hadapanya. Dia tau, mereka akan sangat takut dengan penjara.
Di tempat lain, saat kendaraan melaju dan membawa ketiga orang yang baru saja keluar desa. Lam tampak melihat wajah Lisna yang sangat pucat.
“Ayah, Tante Lisna kenapa?”
“Tidak ada apa-apa padanya. Dia hanya sakit biasa. Hanya butuh istirahat saja beberapa saat. Nanti, kalo dia sudah istirahat, juga akan baikan dengan sendirinya. Yang paling penting, dia harus istirahat yang cukup.”