Hisyam yang melihat wajah mantan istrinya tidak akan mau berbuat banyak. Dia tidak akan pernah lagi berurusan dengan perempuan itu. Baginya, sekarang dia tidak lagi mengenal seorang Lesti seperti dulu.
“Pak Hisyam.” Hidayat yang melihat hal itu hanya bisa mendekat dan menyapa. Hisyam masih saja memalingkan wajahnya dan tidak ingin sampai dia menatap wajah Lesti yang pernah menemani hidupnya selama beberapa tahun terakhir.
“Aku gak apa-apa. Aku tidak ingin menyimpan dendam apapun pada orang yang pernah menyakitiku. Biarlah Allah yang membalas semuanya. Sekarang, aku tidak ingin menyimpan dendam.” Hisyam hanya menatap semuanya dengan senyuman. Senyuman itu adalah senyuman yang sangat berbeda dari sebelumnya. “Tegar, bagaimana kabarmu? Kondisimu sudah baikan?”
“Sudah lebih baik daripada kemarin.”
“Le, aku tidak bisa menyalahkanmu begitu saja atas kejadian kemarin. Aku malah senang, ternyata masih ada anak lelaki yang mengambil jalan yang sangat berbahaya, demi menyelamatkan harga diri ibunya. Aku ingin bilang, kalo aku bangga denganmu.” Hisyam langsung memeluk Tegar.
“Pak Hisyam, Pak Hisyam gak kecewa dengan apa yang aku lakukan?” tanya Tegar. Melihat lelaki itu berada di hadapannya, membuat dirinya merasa sangat bersalah dengan apa yang pernah terjadi.
“Tegar, buat apa aku kecewa sama kamu? Andai saja anakku masih hidup, aku sangat berharap dia melakukan hal yang sama seperti kamu. Aku berharap anakku bisa melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Tapi, sekarang ini, hal yang aku impikan itu hanyalah sebatas angan. Hanya sebatas angan yang menjadi impianku selama ini.” Hisyam terus meneteskan air mata dan tangis itu akhirnya pecah. Dia tidak sempat bercerita banyak terkait mendiang anaknya yang wafat dengan cara yang sangat mengenaskan. “Aku tidak pernah menyangka, jika wanita yang terlihat anggun dan kalem, ternyata seorang pembunuh berdarah dingin. Senyuman yang terpancar di wajahnya, adalah caranya menutupi kejahatan besar yang pernah dia lakukan pada anaknya sendiri. Aku sangat kecewa, pernah memberikan perhatian pada wanita itu. Aku sangat kecewa, ternyata aku dengan bodohnya melindungi seorang wanita yang begitu kejam.”
“Pak Hisyam.” Tegar langsung saja menenangkan lelaki yang ada di hadapannya. Dia tidak pernah bisa melihat, lelaki yang selama ini mengisi harinya dengan berbagai macam ilmu yang dia kuasai, sekarang harus menangis. “Pak Hisyam bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik daripada dia. Selama ini, Pak Hisyam seperti tidak punya harga diri di hadapan perempuan itu. Perempuan itu, dengan berani mempermalukanmu di hadapan umum karena tidak sependapat dengannya. Harusnya tidak ada hal yang seperti itu. Tidak etis, seseorang mempermalukan anggota keluarganya di hadapan umum dengan alasan apapun, terutama seorang istri, dengan beraninya mempermalukan sang suami di hadapan umum. Di taruh dimna harga dirimu sebagai kepala keluarga?”
Hisyam yang mendengar apa yang dikatakan Tegar, tampak diam dan menatap lelaki muda itu. Lelaki muda yang sekarang sangat menyayanginya, menatapnya dengan tatapan yang sangat dia rindukan. Tatapan hangat yang selama ini dia rindukan.
“Tegar.” Tegar tampak meneteskan air mata. Dia sebenarnya menyimpan amarah yang sama. Ibunya memang berhasil dia selamatkan, tapi bagaimanapun juga, wanita itu tidak lama lagi harus segera mendapatkan hukuman atas apa yang pernahb dia lakukan. “Kamu kenapa, Le? Kamu menyesal melakukan hal itu? Kamu menyesal sudah melakukan tindakan malam itu?”
Pertanyaan yang Hisyam ajukan pada Tegar, membuat Tegar hanya bisa diam beberapa saat. Bukan seperti itu maksudnya.
“Aku tidak akan pernah menyesal atas kejadian itu. Aku tidak akan pernah menyesali perbuatanku malam itu. Itu adalah tugasku sebagai seorang anak. Jika ayah tidak bisa melakukan tugasnya sebagai pelindung, aku akan mengambil alih tugas itu. Hanya saja, mereka sebentar lagi akan aku seret ke ranah hukum. Mau tidak mau, mereka akan aku seret ke meja hijau untuk mempertanggung jawabkan perbuatan buruknya.”
“Le, kamu akan menyeret kedua orang tuamu ke ranah hukum, atas semua ini? Kamu serius dengan tindakanmu itu?”
“Bagaimanapun, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan yang pernah mereka perbuat. Bukankah pak Hisyam pernah bilang, kalo kita membantu seseorang dalam hal kebaikan, itu sama saja kita berbuat baik? Aku membantu mereka berdua, agar tidak menjadi seorang pecundang.” Hisyam meneteskan air mata mendengar apa yang Tegar katakan. Dia tidak pernah menyangka jika lelaki itu sekarang dengan penuh keyakinan, membela Lam dan Mim.
“Iya, Le. Iya, aku pernah mengatakan hal itu. Kamu masih ingat rupanya.”
“Aku tidak akan pernah lupa hal itu. Sekarang, aku ingin siapapun yang dulu membuat kehidupan kedua kakakku ini menderita, harus masuk penjara tanpa alasan apapun. Mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas teror yang ada di desa ini. Mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua teror yang dilakukan oleh Kak Lam dan Kak Mim pada desa kita.” Tegar mnatap ketiga perempuan yang sekarang tengah tidak berdaya. Tatapan iu membuat mereka tidak bisa melakukan apapun. Hisyam terdiam dan menahan senyum. Secara tidak langsung, Tegar membantu semua rencana yang telah disusun.
“Iya, Le.” Hisyam tampak tersenyum pada Lam dan Mim. Dia mendekati mereka dan memegang pundak Mim. “Aku minta maaf jika tindakanku sekarang ini akan membuat kalian marah. Tapi, aku harus melakukannya, demi keselamatan Mim.”
Hisyam mengucakan beberapa doa yang diajarkan Kyai Rosyid. Sekarang, dia rasa saatnya melepas mustika itu dan menetralisir benda tersebut dari segala kekuatan jahat.