Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #110

Chapter #110

“Aku ingin menyerahkan bukti kejahatan yang pernah warga desa ini lakukan pada seorang perempuan. Aku ingin, siapapun yang berbuat jahat seperti orangtuaku, juga ikut ditangkap dan mendapat hukuman. Aku tidak ikhlas, mereka yang berbuat jahat bersama-sama, tapi hanya kedua orang tuaku yang medapatkan konsekuensinya.” Tegar menjawabnya dengan begitu tegas. Warga hanya diam dengan apa yang ingin Tegar lakukan.

“Tegar, malam-malam begini kau mau ke kantor polisi?” tanya salah seorang warga.

“Aku tidak menyerahkannya ke kantor polisi. Karena polisi yang menangani kasus di desa ini sedang berada di rumah Pak kepala desa. Aku akan ke rumah Pak Kades untuk menunjukkan semua bukti ini. Karena aku yakin, orang tuaku tidak sendirian dalam kejahatan ini. Siapapun yang berada di balik kejahatan ini, aku pastikan dia akan ikut terseret.” Tegar langsung saja pergi. Dia sama sekali tidak ingin peduli dengan tatapan aneh dari para warga.

Para warga yang baru saja mendengar apa yang Tegar katakan hanya bisa terdiam. Mereka tidak bisa membayangkan jika warga desa ini akan banyak yang ditangkap oleh kepolisian.

“Bu, ini kalo warga desa banyak yanb ditangkap, bagaimana? Kan jadi maliu sama orang di luar desa ini?” Salah seorang warga khawatir dengan kejadian tersebut.

“Biarin aja. Emang aku peduli? Terus, apa gak malu saat desa ini menghancurkan martabat perempuan? Toh selama ini desa kita jadi bahan gunjingan warga desa lain. Biarkan sekalian semua warga yang terlibat ikut ditangkap. Paling tidak, menghilangkan beban di desa ini.” Salah satu perempuan akhirnya bersuara. Apa yang dikatakan salah seorang dari mereka membuat semua orang hanya bisa diam. Orang itu benar. Semuanya berawal dari apa yang Kasih alami beberapa tahun yang lalu.

“Apa yan dikatakan Mbak ini ada benarnya. Desa ini terkenal sebagai tempatnya penjahat. Lebih baik warga di sini ditangkap, biar kita tau siapa yang penjahat diantara kita semua. Ini saatnya kita bersih-bersih desa dari orang kotor kayak Darti dan Wicaksono.” Mereka kembali terdiam.

Di tempat lain, Tegar berjalan menuju rumah Kepala Desa. Sesampainya di tempat Pak Kades, Tegar langsung menemui polisi yang sedang berada di tempat itu dan langsung menunjukkan bukti yang sudah dia peroleh. Beberapa orang berseragam yang mendapatkan bukti yang Tegar tunjukkan, hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

“Terima Kasih, Mas Tegar. Bukti ini akan sangat membantu tugas kami.” Polisi itu hanya melemparkan senyum.

“Saya yakin orang tua saya tidak sendiri. Mereka yang anda tangkap tadi pagi, hanyalah segelintir orang. Tidak adil rasanya, jika mereka dipenjara tapi pelaku yang lain ternyata masih saja berkeliaran dengan bebas di tempat ini.” Lelaki berseragam itu hanya bisa tersenyum. Tegar terdiam dan tak berselang lama, dia menangis.

“Tegar, kamu kenapa, Le? Kamu ada apa, sampai menangis seperti ini?” tanya Hisyam yang sudah sampai beberapa menit sebelum Tegar. Dia merasa jika Tegar memiliki tekanan batin untuk kasus ini.

“Aku tau, aku sudah salah. Aku tau semua ini gak benar. Tapi aku tidak bisa membiarkan orang bersalah tidak mendapatkan hukuman setimpal.” Tegar langsung memeluk lelaki yang ada di hadapannya.

“Tegar, kamu luar biasa. Kamu gak salah, Le. Kamu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Tenangkan dirimu dulu. Kamu tidak bisa disalahkan dalam hal ini.” Hisyam menghapus air mata Tegar.

“Aku hanya gak ingin ibu kenapa-napa. Aku gak ingin sampai ibu kehilangan kehormatannya.” Tegar terdiam menatap Hisyam beberapa saat. “Pak Hisyam, apa ini adalah balasan untuk Ibu? Apakah edatangan Broto adalah balasan untuk Ibu yang sudah membiarkan perempuan lain kehilangan kehormatannya?”

“Le, itu balasan atau enggak, kita gak tau. Toh, sekarang ibu kamu masih sebagai perempuan terhormat. Tapi, itulah yang aku sukai dari dirimu. Kamu mau menantang bahaya demi kehormatan ibu kamu. Sampai saat ini, ibu kamu adalah perempuan terhormat. Ayah dan ibu kamu pasti sangat bangga punya anak lelaki pemberani seperti Tegar.” Hisyam tersenyum dan mencoba membuat Tegar ikhlas dengan apa yang terjadi sekarang ini.

“Kalo aku mau, aku bisa saja membiarkan ibu diambil kehormatannya oleh lelaki yang namanya Broto. Aku anggap itu balasan yang setimpal untuknya. Tapi, aku tidak bisa melakukan itu. Kalo aku melakukan itu, apa bedanya aku dengan lelaki sialan yang membuat Bu Kasih kehilangan kehormatannya sebagai wanita? Aku tidak ada bedanya dengan mereka yang sudah membuat Kak Lam dan Kak Mim harus melakukan teror di desa ini.” Hisyam tersenyum dengan apa yang lelaki itu katakan.

“Insya Allah ibu kamu aman di kantor polisi. Dia aman dan akan mendapat keadilan. Dia akan mendapat hukuman yang layak sesuai perbuatan yang mereka lakukan.” Hisyam langsung memeluk Tegar yang sekarang tampak begitu terpuruk.

Lihat selengkapnya