“Mas Tegar, bagaimana kondisi Ayah?” tanya salah satu adik Tegar. Tampak sekali mereka sangat mengkhawatirkan kodisi Lamdi.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Beliau sehat dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak perlu takut. Aku akan berjuang untuk keadilan Ayah. Memang, beliau tidak bisa bebas dan tetap harus menjalani hukuman, karena bukti keterlibatannya tidak bisa dibantah siapapun. Tapi, aku janji, siapapun yang ada di balik kasus ini, aku pastikan, dia harus ikut masuk penjara. Aku ingin siapapun yang membuat martabat seorang wanita hancur, harus ikut masuk penjara seperti Ayah dan Ibu.” Tegar terdiam dan ingin sekali melampiaskan semua kekecewaanya. Dia sangat kecewa kali ini.
“Tegar, kendalikan amarah yang ada dalam hatimu. Aku tau kamu marah atas apa yang terjadi. Tapi, tidak seharusnya kau melampiaskan itu dengan cara sembarangan.” Hisyam mendekat dan menepuk bahu lelaki muda itu. Tegar hanya diam dan meneteskan air mata. Entah harus seperti apa dia mengeluarka semua kekecewaan yang ada dalam hatinya.
“Maaf. Aku terbawa emosi. Tapi, apa yang Pak Hisyam katakan beberapa waktu yang lalu, harus segera terwujud. Siapapun yang menentang apa yang menjadi keputusan kepala desa, harus kita usir dari desa kita. Aku tidak ingin ada kejadian seperti yang Mbah Yusron alami.” Hisyam hanya bisa tersenyum dan mengantar mereka kembali pulang. “Aku yakin, mereka yang menentang keputusan kepala desa, pasti ada hubungannya dengan kejahatan ini. Aku bisa membawa mereka ke penjara secepat mungkin. Jadi, kita tidak perlu repot mengusir mereka.”
Mereka diam. Hisyam hany bisa mendukung apa yang menjadi rencana Tegar. Dalam hatinya, dia juga sependapat dengan Tegar. Dia sangat ykin, siapapun mereka yang menentang keinginan kepala desa, pasti ada hubungannya dengan kasus ini. Dalam hati, Hisyam berjanji siapapun yang menolak keinginan kepala desa, harus diperiksa.
Di tempat lain.
Lam terdiam dan menatap telaga yang selama ini mewarnai hidupnya. Dia merasa jika semua ini akan segera berakhir. Dia merasa, jika kisah hidupnya akan segera berakhir dan harus pergi untuk menemani ibunya yang telah lama mendahului mereka.
Dia menatap Mim yang tengah diam dan menemaninya. Dia sebenarnya khawatir dengan kondisi Mim jika dirinya telah tiada nantinya. Siapa yang akan menemaninya? Siapa yang bisa menghadapinya?
“Mim, jika suatu saat aku pergi, jangan pernah menangisiku. Aku yakin, kamu akan bisa menjaga dirimu sendiri.” Lam menangis. Dia berjalan dan mendekati makam ibunya dengan tetesan air mata yang terus mengalir. Mim mencoba mengikuti langkah kakaknya.
“Kak Lam.” Mim yang mendengar apa yang baru saja kakaknya katakan, hanya bisa menangis. Dia sama sekali tidak ikhlas jika harus kehilangan kakaknya. Lam menoleh ke arah adiknya berada. Tampak tetesan air mata keluar begitu saja dan membasahi wajah adiknya. Lam tersenyum dan terus berjalan ke makam ibunya berada.
“Jangan pernah menangisiku jika sudah saatnya aku pergi. Aku tidak layak untuk kau tangisi. Aku sama sekali tidak layak ditangisi oleh orang sepertimu, Mim. Jadi, aku mohon, jangan pernah menangisiku.” Lam hanya bisa menatap adiknya. Dia sangat menyayangi Mim. Tapi, ketika dia ingat Mim, dia selalu ingat apa yang terjadi pada Ibunya.
“Kak, tapi kenapa? Kenapa aku tidak boleh menangisimu? Kau orang yang selama ini melindungiku. Kau selama ini, adalah orang yang sudah mengorbankan semuanya untukku. Kenapa semua itu kau katakan?” Mim tampak sangat emosi dengan apa yang kakaknya katakan. Dia seolah tidak lagi dianggap oleh kakaknya.
“Mim, kita memang terlahir dari Rahim wanita yang sama. Tapi, aku harus bilang sama kamu, kita bukanlah saudara. Kita hanyalah kakak adik satu ibu.” Lam tersenyum. Tapi, Mim semakin emosi. Dia tidak mengakui dirinya sebagai saudara?
“Kak, kau tetaplah saudaraku. Kau adalah kakakku. Bagaimana bisa kau bilang kalo kita ini gak bersaudara?” tanya Mim. Mim sudah tidak bisa lagi menahan emosi.
Lam tampak meneteskan air mata. Dia tau jika seorang Kasih hamil Mim setelah mendapat pelecehan dari lelaki lain. Mim bukan anak Kasih dan Wicaksono.
“Kau anak Ibu yang terlahir dari peristiwa pelecehan.” Mim terdiam dan meneteskan air mata.
“Aku tetap menganggap dirimu sebagai saudara. Apapun yang terjadi di masa lalu pada Ibu, kau masih saudaraku. Semua orang tau, jika kita ini terlahir dari Rahim wanita yang sama. Jadi aku tetaplah saudaramu. Kau adalah kakakku.” Mim mendekati kakaknya dan memegang tangan Lam. Lam hanya bisa menangis mengetahui adiknya berada tepat di sampingnya.
“Mim, aku menyayangimu.”