“Aku diam bukan berarti aku setuju. Aku diam karena aku tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ada dalam hati. Keputusan itu sepertinya sudah tidak bisa diganggu. Kau juga diam kan saat itu. Kau bukan hanya diam, kau juga ikut setuju. Terus, kenapa kau bisa sekarang malah bilang tidak setuju dengan rencana konyol itu?” tanya Tegar dan membuat Alif terdiam. “Kau tau, Mas Alif. Sebelum kejadian penangkapan itu terjadi, aku datang ke tempat Kak Lam dan Kak Mim. Aku mendengar semua curahan hati mereka. Aku dan Pak Hisyam mendengar semua yang mereka bicarakan. Mereka sepertinya sudah merasa jika ada orang jahat yang ingin membuat mereka terpisah. Aku sakit mendengar semua itu. Aku sakit dan tidak bisa membayangkan, dua orang saudara yang saling menyayangi, harus dipisahkan. Apa salah mereka?” Alif yang mendengar apa yang Tegar katakan hanya bisa terdiam.
“Aku ingin tau, apa yang mereka katakan. Aku ingin tau, apa yang kau dengar malam itu? Aku waktu itu, melihatmu bersama Pak Hisyam menuju tempat Lam dan Mim. Aku yakin, kau pasti tau sesuatu tentang mereka.” Alif sangat berharap mendapat jawaban dari Tegar.
“Kak Lam sempat cerita, jika dia punya firsat buruk dalam hidupnya. Firasat itu bilang, jika hidupnya akan selesai sebentar lagi. Tugasnya di dunia ini akan selesai setelah Bu Kasih mendapat keadilan.” Tegar tidak bisa menahan air matamya. Dia tidak bisa membayangkan jika Mim harus mengarungi kehidupan yang kejam untuknya. Dia sangat mengerti, jika kehadiran Lam akan sangat berarti bagi Mim. “Bagaimana nasib seorang Kak Mim jika itu beneran terjadi? Hidup ini kejam, terutama untuk orang seperti Kak Mim. Ibunya dibunuh oleh warga desa ini, padahal kepala desanya sudah berupaya melindungi orang sepertinya. Tapi, warga desa seperti tidak peduli.”
“Aku bisa memahami apa yang kau khawatirkan. Aku tau, semua itu salah. Aku bisa mengerti jika apa yang kami rencanakan bukanlah sesuatu yang terbaik. Pak Hisyam ada? Aku ingin bicara masalah ini padanya. Dia harus terlibat. Dia harus memberi saran atas semua yang menyangkut Lam dan Mim. Karena masalah Lam dan Mim, juga menyangkut desa ini.” Tegar terdiam beberapa saat dan menengok rumah Hisyam.
“Pak Hisyam bilang, kalo sekarang tidak bisa diganggu. Tadi, beliau sempai membuat Kak Lam kecewa. Beliau merasa membuat anaknya kecewa. Jadi, beliau ingin menyendiri dan menenangkan diri terlebih dahulu.” Alif terdiam dan langsung memasuki rumah. Terlihat Hisyam yang sepertinya baru selesai sholat dan memanjatkan doa. Langkah Alif akhirnya terhenti dan memilih mendengar doa yang dipanjatkan lelaki itu.
Alif terdiam ketika mendegar semua doa yang Hisyam panjatkan. Dia ingin tau apa yang Hisyam inginkan sampai menangis seperti ini.
“Ya Allah, apa niat baikku ini bukanlah jalan yang terbaik? Apakah niat baik yang akan aku lakukan pada kedua anakku itu bukan jalan yang kau ridhoi? Aku hanya ingin mereka kembali kepadamu. Aku hanya ingin, mereka bisa kembali ke jalan yang kau restui dengan cara yang baik, seperti yang pernah diajarkan Rasulmu.” Alif terdiam mendengar doa itu. Isakan tangis Hisyam menandakan ada ganjalan dalam hatinya.
Alif hanya diam dan meneteskan air mata. Ternyata ada sesuatu yang dia tidak ketahui tentang Hisyam selama ini.
“Pak Hisyam.” Hisyam menoleh mendengar suara Alif. Dia buru-buru menghapus air matanya. “Tidak perlu menghapus air mata, karena aku tau jika kau baru saja menangis. Maaf sudah lancang masuk tempatmu tanpa izin.”
“Tidak apa-apa, Lif. Ada apa?”
“Aku sudah lama sebenarnya berada di sini dan bicara sama Tegar. Tegar sudah banyak cerita tenang keresahannya. Aku, ingin minta maaf jika kesepakatan yang sudah kami ambil tidak sejalan dengan apa yang kau harapkan. Aku ke sini, untuk memperbaiki apa yang harusnya kita rencanakan untuk kedua orng itu. Karena, aku tau jika masalah Lam dan Mim, adalah masalah desa ini juga.” Hisyam hanya diam mendengar apa yang Alif katakan. Ingin rasanya dia menceritakan apa yang tengah dia rasakan.
“Gak apa-apa, Alif. Aku harap, jika Lam dan Mim bisa kita ajak kembali ke jalan yang allah ridhoi, dengan cara yang santun. Bukankah Baginda Nabi mengajarkan Islam dengan cara yang baik? Kalo Baginda Nabi saja berhasil menyebarkan islam dengan cara yang baik, kenapa kita tidak bisa menuntun dua orang lelaki, dengan cara yang sama?” tanya Hisyam sambil tersenyum. Alif hanya bisa diam selama beberapa saat.
“Pak Hisyam, aku tau apa yang kau maksud. Aku akan bicaraka semua ini pada Gus Umar. Karena yang akan membantu kita paling banyak adalah Gus Umar. Aku sebenarnya sudah bicara dengannya selama beberapa hari belakangan. Kami membahas semua itu yang memang aku rasa kurang manusiawi untuk kedua bersaudara itu.” Hisyam menatap langit pagi yang menjelang siang. Langit yang cerah membuatnya ingin keluar.
“Alif, aku percaya Gus Umar masih bisa melakukan apa yang aku maksud. Aku tau sepak terjangnya, termasuk ketika membantu salah seorang temannya Amin.” Hisyam tersenyum.
“Temannya Amin? Yang mana ya, Pak?” tanya Alif yang penasaran.
“Aduh, lupa namanya. Itu lho, yang nampung mantan pelacur sama pengemis. Siapa itu?” tanya Hisyam dan membuat Alif langsung teringat.
“Maksud Bapak, Faris?”