Hisyam yang melihat Tegar berdiri, juga ikut berdiri. Dia tidak bisa membiarkan Tegar melakukan semua itu seorang diri.
“Tegar, jangan melakukan semua itu seorang diri. Keluarga Pak Yusron, bukanlah orang sembarangan. Kau bisa saja dalam bahaya.” Hisyam mengingatkan pemuda yang ada di sebelahnya. Tegar yang mendengar semua yang dikatakan Hisyam hanya bisa tertawa. Menurutnya, keluarga mendiang Yusron tidak punya kekuatan apapun untuk sekarang ini.
“Aku tidak akan sendiri. Pak Hisyam dan Gus Umar tidak perlu khawatir dengan kondisiku. Pak Wisnu pasti tidak akan pernah tinggal diam untuk urusan seperti ini.” Tegar dengan percaya diri, mengatakan semua itu.
“Pak Wisnu?” tanya Umar.
“Aku akan pergi ke Lapas lagi besok. Aku akan bertemu Pak Wisnu. Aku akan bicarakan semua ini.” Tegar menatap kondisi di luar rumah.
“Le, tapi buat apa?” tanya Hisyam. Tegar tampak tersenyum sambil berjalan dan menatap langit yang perlahan mulai cerah kembali.
“Pak Wisnu pasti tau semua ini. Aku masih mengantongi beberapa bukti. Aku akan tunjukkan itu Pada Pak Wisnu.” Tegar tampak sangat puas dengan semua ini. Keluarga mendiang Yusron akan mendapatkan karma atas penentangannya.
“Tegar, tapi besok Pak Wisnu jadwalnya melakukan pemeriksaan.”
“Kalo begitu, besok adalah jadwal yang pas. Pak Polisi akan langsung melihat bukti yang akan aku tunjukkan. Pekerjaanku hanya satu kali untuk besok.” Tegar hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi esok hari. “Pak Yusron harus mendapatkan keadilan. Penghianat seperti keluarganya, aku pastikan tidak akan pernah mendapatkan tempat di desa ini.”
“Tegar, jangan bertindak gegabah.”
“Pak Hisyam, aku tidak akan bertindak gegabah. Sekarang, mumpung cuaca sedang cerah, aku aka pergi aku akan keliling tempat ini dan memberikan sesuatu pada keluarga Pak Yusron. Mereka yang sama sekali tidak mendukung apa yang Pak Yusron impikan, akan aku pastikan, mereka mendapat hukuman.”
Tegar langsung saja keluar tanpa peduli dengan panggilan Umar dan memilih berkeliling kampung yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Dia tersenyum saat melewati beberapa rumah yang sekarang ini menjadi tempat tinggal beberapa anggota keluarga mendiang Yusron. Senyuman itu membawa teror yang sangat nyata bagi penghuninya.
Salah seorang diantara mereka, langsung mendekat dan menanyakan apa yang Tegar inginkan di depan tempat tinggalnya.
“Tegar, apa yang bisa aku bantu?” tanya orang yang bernama Ibrahim.
“Apa yang bisa kalian bantu? Aku rasa kalian sudah tau apa yang pernah Pak Hisyam dan Pak Kades katakan.” Tegar dengan prcaya diri mengatakan itu. Lelaki yang ada di hadapan Tegar hanya bisa diam dan terlihat mengeluarkan keringat dingin. “Kenapa Om sepertinya ketakutan? Apakah kata-kata Pak Kades adalah sebuah ancaman bagimu?”
“Eh, tidak. Tidak ada apapun kok. Aku hanya memikirkan apa yang bisa aku bantu untuk mewujudkan apa yang Pak Kades impikan.” Ibrahim tersenyum dan Tegar yang melihat ada yang aneh pada lelaki yang ada di hadapannya, tampak sangat menikmati.
“Mimpi Pak Kades? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah apa yang menjadi impian Pak Kades sekarang ini, sebenarnya impian mendiang Mbah Yusron sejak lama? Jadi, Om berpikir jika ini impian Pak Kades?” tanya Tegar yang membuat lelaki itu semakin gemetar.
“Eh, tentu saja. itu impian dari mendiang ayah kami,” jawab lelaki itu yang terlihat sekenanya. Tegar hanya bisa tersenyum dan mengingatkan apa yang terjadi dengan Wisnu dan Ismail.
“Aku masih ingat apa yang terjadi dengan Pak Wisnu dan Pak Ismail. Semoga tidak ada lagi penghianat di desa ini. Semoga tidak ada Pak Wisnu lain yang harus membunuh saudaranya sendiri.” Tegar langsung pergi. Lelaki itu hanya bisa diam dan khawatir dengan apa yang akan terjadi.
Lelaki itu langsung masuk dan ingin menenangkan diri. Apa yang Tegar katakan membuatnya merasa sangat terancam.
“Mas Ibrahim, apa yang terjadi? Kenapa sepertinya kau sangat ketakutan?” tanya istri Ibrahim yang melihat sang suami sepertinya sangat takut.
“Aku takut masuk penjara. Aku sangat takut masuk penjara. Aku tidak ingin masuk penjara seperti Wisnu.” Lelaki yang bernama Ibrahim itu akhirnya menangis. Dia tidak ingin nasibnya berujung bui seperti Wicaksono dan teman-temannya.