“Pak Kades, sepertinya lebih baik kita memang mengadakan ritual tolak bala untuk desa ini. Saya usul, jika ritual itu kita akan adakan di makam mendiang Kasih.” Salah seorang warga langsung mengatakan hal itu.
“Iya, Pak, dia kan korban kekejaman dari warga desa ini dan tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Jadi aku rasa kita tidak ada salahnya untuk melakukan semua itu, sekalian ziarah. Kita harus meminta maaf pada mendiang atas apa yang terjadi.” Warga lain ikut menyahut.
“Jangan lupa juga, kita harus berziarah ke makam Pak Yusron. Kita juga menyakitinya selama beliau hidup. Kita gak pernah menganggap beliau ada, padahal dia adalah pemimpin yang kita tunjuk. Kita juga harus meminta maaf pada mendiang Pak Yusron.”
Apa yang dikatakan warga membuat semuanya diam dan tidak ada hal yang perlu dibantah. Warga setuju dengan semua itu.
“Saya akan rencanakan hal itu. Jangan lupa, kita mulai persiapkan kedatangan orang yang mendiang Yusron dulu lindungi. Saya harap, tidak ada satupun dari warga desa, yang membuat desa ini malu. Sudah cukup Pak Yusron sakit hati atas apa yang kita lakukan selama ini.” Kepala desa akhirnya pamit pergi.
Lelaki itu menuju rumah yang sekarang ditempati Umar. Kebetulan ada Yani yang sepertinya baru saja sampai. Melihat kedatangan kepala desa, mereka langsung menyambutnya dengan senyum.
“Pak Kades, ada perlu apa datang ke sini? Sepertinya Njenengan ada masalah, apa itu betul?” tanya Umar. Kepala desa hanya terdiam dan meminta izin untuk bisa menenangkan diri.
“Teror ini belum selesai. Saya rasa, masih ada sisa teror yang terus saja dilancarkan. Saya ingin meminta saran dari Njenengan, apa tang harus saya lakukan?” tanya Kepala Dea yang menahan tangis.
“Teror? Maksudnya?” tanya Yani.
“Pak Yani, beberapa hari ini, ada salah seorang warga kami yang mendapat kejadian aneh. Mungkin Gus Umar tau siapa dia. Sebelum ini juga sempat ada pertiaian antara kakak-beradik. Mereka masih keluarga mendiang Pak Yusron. Ketiga orang yang aku maksud, merek masihb bersaudara.” Lelaki itu menceritakan semuanya, hingga kejadian kebakaran yang membuat salahseorang anak kecil di desa ini harus meregang nyawa.
“Kira-kira, apa itu semua dari Lam dan Mim?” tanya Yani.
“Saya kurang tau itu darimana. Karena, desa ini sebenarnya masih terkurung dalam kutukan. Itu yang saya pusingkan. Bagaimana caranya biar desa ini terbebas dari kutukan dari kedua bocah itu?” tanya Kades yan jelas kebingungan.
Apa yang dikatakan lelaki itu, membuat Yani terdiam. Kutukan dan desa ini?
“Umar, apa kau pernah mendengar tentang kutukan desa ini?” tanya Yani. Umar hanya terdiam dan seketika mengingat apa yang pernah dicritakan ayahnya beberapa waktu lalu.
“Abi pernah cerita masalah itu, Mbah. Sekilas memang. Tapi, beliau pernah mengisyaratkan kalo desa ini tertanam sebuah kutukan. Kutukan itu yang harus kita hilangkan.”
“Apa Hisyam tau?” tanya Yani.
“Mungkin saja, Mbah. coba kita tanyakan sama Pak Hisyam. Mungkin saa kita bisa tau apa yang terjadi.” Mereka akhirnya keluar dan menuju rumah Hisyam.
Di tempat lain, Hisyam terdiam di rumahnya. Dia mengamati batu dan cincin yang dia simpan dengan rapi.
“Mim, Lam. Aku akan menjaga batu ini sampai saatnya kalian berhak untuk mengambilnya. Cincin ini adalah milik kalian. Kalian akan mendapatkan cincin ini suatu saat nanti.” Hisyam tersenyum dan terus saja mengamati batu yang begitu indah.
“Assalamualaikum. Pak Hisyam, Njenengan di dalam?” tanya Umar yang sudah berada di depan rumah lelaki itu. Hisyam yang menengar suara itu langsung menyambut kedatangan tamunya dengan senyum.
“Waalaikumussalam. Gus, Mbah Yani. Silahkan Masuk.”
“Tidak meganggu?” tanya Yani.
“Sama sekali tidak, Mbah. Sama sekali tidak mengganggu.” Mereka akhirnya masuk dan Yani melihat sebuah cincin yang begitu indah.