“Mas Hisyam, aku mohon, jangan seret aku ke penjara. Aku takut kalo masuk penjara. Aku mohon, aku takut dengan penjara.” Lelaki itu mendekat dan meminta pada Hisyam. Tapi, Hisyam tidak akan bisa melakukan itu. Dia harus menepati janjinya. Bukan hany janji kepada Lam dan Mim, tapi juga janjinya pada mendiang Yusron. Siapapun yang bersalah, dia harus mendapat hukuman.
Hisya hanya meneteskan air mata dan menatao semua orang yang ada di sekitarnya. Desa ini, adalah desa yang sangat dia cintai. Tapi, desa ini juga yang menjadi saksi segala macam penghianatan yang membuatnya sakit, termasuk penghianatn yang dilakukan oleh pendamping hidupnya.
“Aku sudah sakit dengan ulah Lesti. Aku tidak mau mendiang Pak Yusron harus merasakan sakit yang sama. Dia sudah cukup merasakan sakit selama hidupnya. Sakit yang aku rasakan, tidak ada apa-apaya dengan sakit yang mendiang rasakan selama ini. Aku boleh saja dikhinati pendamping hidupku. Aku bisa memaafkannya, walaupun itu adalah hal yng sangat berat. Tapi, msalh mendiang, aku tidak bisa memaafkan itu. Dia dikhianati anaknya dan warganya sendiri. Apa yang kalian harapkan? Kalian memintanya memimpin desa ini, tapi kalian tidak menghormatinya sebagai seorang pemimpin.” Hisyam memandangi Mim dan mendekat. “Mulai detik ini, aku ingin mengatakan kalo Lam dan Mim adalah bagian dari keluargaku. Apa yang menjadi tujuannya sekarang, adalah tujuanku juga. Siapapun yang ingin melenyapkannya, dia akan berhadapan denganku. Dia akan berhadapan dengan seorang lelaki yang anaknya sudah dibunuh oleh istrinya sendiri.”
“Mas.” Ibrahim mendekat dan menangis.
“Pak Ibrahim, andai kalian tidak melakukan ini, tidak akan ada pembunuhan yang dilakukan Mas Wisnu. Mas Wisnu tidak seharusnya masuk penjara. Andai saja dia bisa digantikan, aku minta tolong gantikan dia.” Hisyam tidak bisa berbuat banyak.
“Pak Hisyam, yang jelas sekarang kondisinya beliau sudah kita ketahui. Mungkin kita beri dia kesempatan menjalani perawatan secara medis. Kalo kondisinya sudah memungkinkan, beliau bisa menjalani hukuman sebagai mana mestinya. Yang penting, bagimana kita membuat beliau bisa menebus kesalahannya.” Salah seorang perangkat desa langsung mendekat dan mengatakan hal itu. Hisyam hanya bisa diam.
“Baiklah, bisa jadi dia harus menjadi tahanan luar. Aku tidak ingin sampai ada orang yang bersalah, tetap bebas bekeliran. Sudah cukup aku melindungi pembunuh anakku. Aku tidak akan pernah membiarkan pelaku yang mencoreng dea ini tetap melenggang bebas.” Semua orang hanya bisa diam mendengar apa yang Hisyam katakan.
Setelah semua dirasa selesai, semua orang membubarkan diri. Mim hanya diam dan menatap mustika yang sekarang dia pegang.
“Mim, kita harus segera pulang. Kondisimu sepertnya sedang tidak baik.” Lam langsung saja mendorong kursi roda Mim. Mim hanya diam dan melempar senyum pada kakaknya.
“Aku sebenarnya baik-bai saja. gak usah terlalu khawatir dngan kondisiku.”
“Mim, hari sudah beranjak siang.”
“Memangnya kenapa jika hari sudah branjak siang? Bukanah kita tidak akan pergi kemanapun sekarang?” tanya Mim sambil tersenyum.
“Nanti malam jumat legi. Saatnya mustika yang kamu milik memancarkan kekuatannnya dengan maksimal.”
“Kak Lam, sejak mustika ini keluar dari tubuhku, semuanya sudah berbeda. Dia tidak lagi seperti dulu. Aku tidak bisa memkai kekuatan ini secara sembarangan.” Mim hanya diam dan menatap benda yang ada di tangannya.
“Tapi, tetap saja kau harus pulang. Persiapkan semuanya. Sebentar lagi, kau harus bertemu Ratu Kaligeni.” Apa yang Lam kayakan membuat Mi terdiam. Dia teringat tentang Rat Kaligeni. “Mungkin besok kita bisa bertemu dengan makhluk itu.”
“Ratu Kaligeni.”
“Mim, pulang!” Lam akhirnya mendorong kursi roda milik adiknya. Mim sama sekali tidak membantah apa yang kakaknya inginkan.
***