“Mas Yani, ini tentang mereka. Ini tentang apa yang terjadi pada Lam dan Mim, setelah beberapa orang suruhan mendiang Mas Yusron berhasil membawa mereka ke panti asuhan yang sedang kami kelola.” Hambali meneteskan air mata mengingat semuanya. Dia sangat sakit. “Aku melihat, mereka sangat istimewa. Sampai aku mengangga mereka sebagai anak sendiri. Ini sesuatu yang berbeda. Semua anak asuhku, sudah aku anggap sebagai anak sendiir, tapi mereka berbeda.”
Hambali terdiam dan meneteskan air mata. Dia mengingat hari itu. Saat membawanya ke pemuka agama untuk diberkahi, diirnya mendapati ada sesuatu yang aneh. Pemuka agama itu mengisyaratkan garis nasib yang sangat menyakitkan bagi salah seorang di antara mereka.
“Mas Hambali, kau baik-baik saja kan?” tanya Yani dan membuat Hambali tersenyum.
“Tidak ada yang baik, selama nasib kedua anakku dirundung keburukan.” Hambali yang awalnya tersenyum, akhirnya mulai meneteskan air mata. Dia diam dan berat sekali melanjutkan apa yang ingin dia ceritakan.
“Mas, lanjutkan ceritamu! Aku ingin tau bagaimana lika-liku kamu dalam merawat mereka selama ini.” Yani memohon. Hambali menatap lelaki yang ada di sampingnya dengan air mata yang basah.
“Beberapa hari sebelum kejadian kebakaran, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku tidak bisa tenang karena hal aneh itu. Semua hal aneh itu menimpa Lam dan Mim. Suatu hari, aku membawa mereka ke pemuka agama dengan maksud untuk diberkati. Aku meminta dia agar mendoakan Lam dan Mim agar masa depannya bisa aman. Tapi, aku harus mendapatkan kabar buruk tentang masa depannya. Mereka memang akan bisa memberikan keadilan bagi mendiang ibunya, dan setelah itu salah satu diantara mereka akan menyusul ibunya ke alam sana. Salah satu dari mereka akan memilih mengakhiri hidupnya. Petunjuk selama ini mengatakan, jika Lam yang akan pergi. Aku tidak bisa berbuat apapun sejak saat itu. Aku sudah banyak berusaha untuk hal itu, tapi sepertinya aku tidak bisa melawan garis nasib mereka.” Hambali menangis dan Yani hanya bisa terdiam. “Beberapa hari setelah aku menemui pemuka agama itu, kebakaran melanda panti yang kami kelola. Sekarang, semua hampir terjawab. Semua keadilan itu sudah di depan mata. Mereka akan mendapatkan dan menghadirkan keadilan, bukan hanya untuk mendiang ibunya, tapi untuk keluarga panti asuhan.”
“Mas Hambali, nasib seseorang sudah digariskan oleh sang kuasa. Kita sama sekali tidak bisa menentangnya. Aku sangat berharap jika kedua anak angkatmu akan mendapat nasib yang baik. Kau adalah orang yang merawatnya, doamu sangat manjur seperti mendiang Kasih.” Yani mencoba menguatkan lelaki yang ada di sampingnya.
“Aku juga menginginkan itu, Mas. Mereka sudah aku anggap anakku sendiri. Aku sangat mengiginkan nasib baik bagi kedua anakku. Aku selama ini berusaha memperbaiki takdir mereka, tapi entah kenapa semua iu terasa sia-sia. Aku malah seakan mendekatkan Lam pada kematiannya. Selama ini, apa yang aku lakukan justru mendekatkan pada takdir kematiannya.” Hambali terdiam dan Yani tidak bisa berbuat apapun.
“Mas, kematian itu pasti. Tidak ada yang bisa menentang kematian seseorang. Siapapun mati suatu saat nanti.” Yani masih mencoba untuk menguatkan Hambali.
“Aku tau, Mas. Aku berharap dia punya jalan yang panjang. Seperti kau yang melihat mereka, pasti ingin mereka mendapat jalan yang panjang.”
“Mas Hambali, aku tau. Berdoalah! Di saat kita tidak bisa melakukan apapun, senjata yang paling ampuh adalah doa. Aku yakin, doamu sangat tulus untuk mereka. Peluang untuk menjadi kenyataan, sangatlah besar, bahkan bisa dibilang pasti.” Yani tersenyum dan mencoba terus menenangkan lelaki yang ada di sampingnya.
Hambali hanya bisa diam dan memilih menemani kedua anak angkatnya. Terlihat mereka akrab saat ini. Kehangatan yang dirasakan mereka, sangat dia harapkan bertahan lama. Dia masih terbayang apa yang dikatakan pemuka agama.
Di tempat lain.
Tegar menemani Wisnu yang sedang mendapat pengawalan. Hari ini, dia diizinkan keluar untuk menjemput saudaranya. Wisnu ingin, Ibrahim bertangung jawab atas apa yang dia sudah lakukan.
“Mas Ibrahim, aku di sini. Aku berada di depan rumah yang kau sekarang tinggali. Aku, Wisnu sudah siap menjemputmu ke meja pesakitan. Aku siap menjebloskanmu ke penjara, sama seperti yang lain. jangan mencoba menghindar! Atau anakmu yang aka menjadi penggantimu.” Wisnu tertawa dan membuat Ibrahim yang mendengar semua itu, hanya bisa ketakutan. Dia melihat orang yang ada di hadapannya. Wisnu dan Tegar, dengan beberapa orang polisi saat ini siap menangkap Ibrahim atas apa yang pernah dia lakukan.
“Kau, kau ingin apa ke sini? Mau apa kalian datang ke rumahku?” tanya Ibrahim.