Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #137

Chapter #137

“Kenapa sepetinya besok akan ada sesuatu yang besar terjadi? Ada hal besar yang terjadi besok pagi. Apa ada hal yang membuat semua berubah?” tanya Mim sambil menatap kakaknya dan Lam hanya bisa tersenyum.

“Aku gak tau, Mim. Kamu tidak usah begitu takut. Aku akan baik-baik saja. tidak perlu merisaukan hari esok. Apapun yang terjadi esok hari, kita gak tau.” Lam hanya bisa tersenyum pada adiknya.

“Kak, kau akan tetap bersamaku kan?” tanya Mim. Lam terdiam beberapa saat. Bayangannya, terlintas wajah sang Ibu yang sudah mendahului mereka. Dia sempat mengatakan janji, jika akan segera menyusul Ibunya setelah semua urusannya selesai.

“Aku tidak bisa janji untuk hal itu, Mim. Aku tidak bisa menjanjikan hal yang tidak pasti.” Lam tersenyum dan menjawab pertanyaan adiknya.

“Kenapa Kak Lam bukan kalo itu hal yang tidak pasti?” tanya Mim.

“Karena memang tidak pasti. Ibu saja bisa pergi karena orang jahat yang sebenarnya adalh seseorang yang harusnya melindunginya. Anak Pak Hisyam juga pergi karena ulah Ibunya sendiri. Jadi semua itu gak pasti. Aku tidak bisa menjanjikan hal yang sama sekali tidak bisa aku pastikan. Tapi, selagi aku mampu, aku akan tetap bersamamu dan menemani setiap langkahmu.” Lam mengatakan hal tersebut dengan senyum. Mim yang mendengarnya hanya bisa meneteskan air mata.

“Aku selama ini hanya punya Kak Lam. Kak Lam selama ini yang selalu menjagaku. Kak, kalo Kakak pergi, siapa yang akan menemaniku mencari keluarga asli Ibu? Kak Lam kan sudah janji mau menemaniku mencari keluarga asli mendiang Ibu.” Mim memegang tangan kakaknya. Lam meneteskan air mata mengingat hal itu. Dia merasa, jika janji itu tidak akan bisa dia laksanakan.

“Mim, kau bisa menjaga dirimu sendiri. Aku yakin, kau bisa menjaga dirimu dan orang yang kau sayangi. Jangan tergantung padaku! Aku hanyalah saudara seibu.”

“Kak Lam, aku tidak peduli itu semua. Kita terlahir dari Rahim wanita yang sama. Apa bedanya kita? Kau tetaplah kakakku.” Mim terus memegang tangan kakaknya.

“Mim, jika aku suatu saat nanti harus pergi, kamu harus ikhlas.” Lam tersenyum dan meneteskan air mata.

“Semoga kalian panjang umur. Semoga kalian diberi panjang umur oleh sang kuasa. Kematian itu pasti akan menghampiri setiap makhluk yang bernyawa, tapi kita berhak meminta umur yang panjang. Aku minta itu untuk kalian berdua.” Seorang lelaki langsung mengatakan hal itu. Lam, Mim, dan Hisyam langsung menoleh. Lelaki yang tidak lain adalah Hambali, hanya bisa tersenyum dan mendekati kedua anak angkatnya. Hambali sepertinya tau jika kedua anak angkatnya berada di sini.

“Ayah?” tanya Mim.

“Maaf sudah membuat kalian terkejut. Aku sejak kalian keluar tadi, terus memperhatikan dan mengawasi kemana kalian pergi. Kalian pergi dan tidak memberi tahuku. Aku mengikuti kalian secara diam-diam. Aku tidak ingin sampai ada orang jahat yang mencelakai kalian.” Hambali tersenyum.

“Ayah, kami minta maaf. Aku harus pergi karena ingin adikku tidak kenapa-napa di luar.” Lam hanya bisa menunduk.

“Tidak perlu meminta maaf, Le. Aku tau posisimu. Justru aku yang harus berterima kasih sama kamu, karena sudah sabar menghadapi adik kamu ini. Adik kamu ini istimewa.” Hambali mengusap rambut Lam. Dia sangat bangga punya Lam dalam hidupnya.

“Ayah, aku selama ini hanya punya Mim. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Mim. Dia yang akan selalu menyayangiku sampai kapanpun.” Lam meneteskan air mata dan memandang Mim.

“Lam, itu yang seharusnya terjadi. Aku ini, hanyalah orang lain bagi kalian. Aku memang selama ini menyayangi kalian, tapi aku harus akui sayangku pada kalian tidak sebesar rasa sayang kalian kepada saudara kalian sendiri. Aku tidak marah, karena itu yang seharusnya terjadi.” Hambali menatap Lam dan Mim.

“Ayah, besok kami ke Mba Yani. Katanya Mbah Yani akan banyak membantu kami untuk mencari keuarga asli mendiang Ibu.” Mim langsung mengatakan hal itu. Hambali hanya diam dan meneteskan air mata. Berat sebenarnya melihat mereka harus pergi dari hidupnya. Tapi, inilah jalan yang harus mereka tempuh. Mereka berhak bertemu dengan keluarga asli mereka.

“Pergilah! Kalian berhak bertemu dengan keluarga asli kalian. Tapi mungkin kita selesaikan apa yang menjadi masalah kita sekarang. Kia harus memberikan keadilan bagi mendiang Ibu kalian terlebih dahulu.” Hambali tersenyum pada Mim.

Lihat selengkapnya