Hisyam hanya diam dan menatap langit. Malam yang begitu cerah, membuatnya bisa melihat bintang dengan begitu bebas. Tidak terasa, air matanya keluar begitu saja. Dia teringat dengan mendiang anaknya. Hisyam teringat anak yang dia sayangi.
“Nak, andai kamu masihb hidup, mungkin hidupku tidak akan seperti sekarang ini. Ayah minta maaf, sudah memilih ibu yang salah untukmu. Ayah minta maaf, Le. Ayah salah memilih perempuan untuk menjadi Ibumu.” Hisyam sangat bersedih. “Ayah siap jika kau tuntut di akhirat nanti. Ayah siap jika kamu akan menuntutku di hadapan Allah. Ini salahku. Ini adalah salahku, Le. Aku layak mendapatkan hukuman darimu. Aku layak mendapat hukuman darimu, Le.”
Hisyam terdiam dan kebali memasuki rumah. Di menatap permata yang seharusnya milik Mim dan sekarang ini sedang dia simpan. Permata itu bercahaya dan membuat dia hanya bia tersenyum.
“Mim, aku janji akan menjaga permata ini untukmu. Aku janji, akan membantumu menemukan keluarga aslimu. Kau berhak bertemu mereka. Kau berhak mendapatkan segala macam benda yang sudah mereka simpan dengan baik untukmu.” Hisyam hanya bisa meneteskan air mata. Dia sudah menganggap Mim sebagai anak kandungnya.
Malam ini, dia putuskan untuk istirahat dan mempersiapkan semuanya.
Di tempat lain.
Lamdi terdiam dan melihat foto sang putra. Putra yang selama ini menjadi penyemangatnya, bahkan saat dia harus berada di tempat itu, anaknya selalu mendukung dan masih mau mengunjunginya.
“Andai semuanya tidak pernah terjadi, aku tidak akan seperti ini. Aku sadar, kalo Tegar selama ini sangat menyayangiku. Aku sangat sadar kalo dia hanya ingin aku kembali ke jalan yang seharusnya. Tapi, aku tidak pernah mendengarnya, bahkan beberapa kali menggertaknya. Aku menganggap dia tidak tau apa-apa. Itu adalah kebodohan terbesar dalam hidupku.” Lamdi tersenyu sambil meneteskan air mata. Dia menoleh ke arah Napi lain yang menemaninya kali ini.
“Mas, aku sempat melihat kalian bertemu, dan aku melihat dengan jelas kalo dia sangat menyayangimu. Dia sepertinya tidak peduli dengan statusmu sekarang.” Lelaki yang ada di sampingnya hanya bisa tersenyum dan mengingat lelaki muda yang ada dalam foto yang Lamdi tunjukkan.
“Itu sekarang. Kau harus tau, dia yang membawaku kemari. Aku bisa masuk penjara, akibat ulahnya. Dia sudah sering menentang apa yang selama ini aku lakukan. Dia yang menjadi penyebab aku masuk penjara.” Lamdi terdiam dan mengingat semua itu. Kejadian malam itu membawa perubahan besar dalam hidupnya.
“Serius, dia yang memenjarakanmu? Dia yang mengantarmu sampai seperti ini?” tanya lelaki itu. Lamdi tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Aku serius. Tapi, aku sadar atas kesalahanku. Ada satu titik, dimana anakku berhasil menyadarkanku. Aksinya yang begitu nekat, membuatku menyesal dan tersadar atas apa yang aku lakukan selama ini. Mau tidak mau, aku harus menjalani human ini denga ikhlas.” Lamdi terus menatap foto anaknya yang sangat dia rindukan. Selama ini, anak lelaki itu yang menjadi penyemangatnya.
“Mas Lamdi, tapi aku melihat dia masih menyayangimu.”
“Sampai kapanpun dua akan terus menyayangiku. Dia menyeretku ke penjara, bukan karena dia benci. Aku tau jika ini adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Dia ingin aku menjadi orang yang lebih baik, di sisa usiaku yang entah tinggal berapa.” Lamdi tampak menangis dan tidak tau harus berbuat apa. Dia mengingat Tegar, sama halnya mengingat bagaimana anaknya menyadarkanya dengan cara yang bisa dia kataka ekstrem.
“Mas Lamdi, kau sepertinya sedang khawatir. Apa kau mengkhawatirkan anakmu?”
“Aku selalu menghawatirkan mereka. Anakku tiga orang dan mereka harus berjuang sendiri untuk kehidupannya. Mereka masih muda, tapi kehidupan yang mereka jalani, begitu keras. Tegar sekarang harus berjuang bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk kedua adiknya yang masih sekolah. Aku hanya bisa berharap, dia mendapat ketabahan dan kesabaran atas apa yang sedang dia hadapi.” Lamdi akhirnya menangis.
“Aku yakin, anak kamu bukanlah anak sembarangan. Aku yakin kalo Tegar bisa menjadi kebanggaanmu dan adik-adiknya.”
“Aku sangat yakin itu, Mas. Aku tidak perlu meragukan semua itu pada anak sulungku. Tapi yang aku takutkan, apa aku bisa menjadi kebanggaanya? Apa dia punya alasan menjadikanku sebagai kebanggaannya?”
“Mas, tidak perlu risau. Aku yakin, sekarang ini anak kamu sedang mencari alasan itu. Aku yakin, anak kamu sedang mencari alasan untuk bisa bangga padamu.” Lelaki yang ada di samping Lamdi hanya bisa mengatakan itu. Lamdi hanya terdia dan terus menatap sekitar.
“Aku besok harus menjalani sidang perdana. Semua bukti sudah terkumpul dan aku tidak bisa menyangkal. Aku sendiri tidak berniat menyangkal semuanya.” Lamdi menatap lelaki itu dengan mata yang basah. Lelaki yang ada di samping Lamdi hanya bisa diam dan mengetahui jika hidup lelaki yang ada di sampingnya seolah berhenti.