Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #139

Chapter #139

“Ayah.”

“Ayo, Le. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku ingin menebus apa yang sudah aku lakukan pada dua orang wanita. Aku tidak akan bisa tenang sebelum bisa menebus semua itu, seperti janji yang pernah aku ucapkan padamu.” Lamdi tersenyum dan menatap anaknya. Tegar hanya bisa meneteskan air mata melihat keteguhan hati sang ayah.

“Ayah.”

“Le, ini resiko atas perbuatanku. Jangan pernah menyesali semua ini. Aku sanggup menjalani hukuman itu.” Lamdi berjalan dan membuat Tegar hanya bisa menatao lekaki itu.

Tegar tidak bisa berbuat banyak setelah mendengar semua yang dikatakan Lamdi. Dia hanya bisa berdoa agar Lamdi mendapat hukuman yang layak. Dia akhirnya menggandeng tangan ayahnya dan menuntunnya ke mobil yang siap menuju tempat persidangan.

Di tempat lain.

“Mim, kita harus ke pengadilan hari ini. Hari ini adalah sidang pertama atas kejahatan yang dialami ibu kita.” Lam mendekat dan Mim hanya diam. Mim yang mendengar apa yang Lam katakan, hanya bisa meneteskan air mata mengingat semua yang terjadi selama ini. Dia sangat berat ketika harus melohat wajah orang yang membuatnya menderita.

“Aku tidak akan pernah bisa memaafkan mereka. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan orang yang berbuat kejam pada kita selama ini. Aku ingin melihat mereka mati. Aku ingin menjadi penyebab kematian mereka, seperti mereka yang menjadi sebab kematian Ibu.” Mim menatap kakaknya dengan wajah merah.

“Mim, bagaimanapun kita harus ke sana. Kita harus pergi dan memastikan, jika mendiang mendapatkan keadilan.” Lam akhirnya memegang bahu adiknya. Mim diam dan hanya bisa pasrah saat kursi roda miliknya didorong oleh Lam.

“Kak Lam, aku sebenarnya tidak ingin melihat orang-orang itu lagi, terutama pasangan gak tau malu seperti mereka. Aku tidak ingin bertemu mereka. Kalo aku bertemu dengan pasangan itu, ingin rasanya aku menyiksa bahkan membunuh mereka.” Mim menatap langit yang hari ini cerah. Lam terdiam dan tidak bisa berbuat apapun.

Tidak jauh dari tempat mereka tinggal, Hisyam sudah siap dengan mobilnya. Dia ingin hadir dalam persidangan dan akan menuntut Lesti dengan hukuman yang setimpal. Kali ini, dirinya tidak hanya berjuang untuk Lam dan Mim, tapi dia juga akan berjuang untuk menuntut keadilan bagi mendiang anaknya.

“Lam, Mim, kalian sudah siap?” tanya Hisyam yang melihat kedua bocah itu sudah berada di hadapannya.

“Sudah.” Mim hanya bisa menunduk dan tidak ingin berkomentar apapun.

“Lam, Mim. Kita akan sama-sama kawal kasus ini. Ini bukan sekedar kekerasan dan pembunuhan, tapi juga pencemaran nama baik. Ibu kalian adalah perempuan baik, tapi karena kejahatan mereka, banyak orang yang percaya jika Ibu kamu adalah orang yang tidak baik.” Hisyam hanya bisa meneteskan air mata.

“Pak Hisyam, aku tidak ingin melihat wajah mereka. Aku ingin membunuh orang itu, jika aku berhadapan dengannya. Aku tidak ingin mereka hidup dengan tenang, sama seperti mereka membuat hidup kami tidak tenang.” Mim memegang tangan Hisyam dan berharap dia tidak akan ikut serta. Dia tidak ingin melihat wajah Wicaksono dan selingkuhannya.

“Mim, aku tau apa yang kau rasakan. Kau pasti sakit hati. Itu juga yan sekarang aku rasakan. Aku sebenarnya juga tidak mau melihat wajah Lesti untuk selamanya. Melihat wajahnya, ama saja mengingatkanku, dengan apa yang dia lakukan. Aku selama ini ternyata melindungi seorang pembunuh. Aku sudah melindungi seorang pembunuh yang tidak punya belas kasihan. Tapi, kita harus hadir. Kita harus datang untuk memastikan keadilan untu orang yang menjadi korban kekejaman mereka.” Hisyam tampak meneteskan air mata. Dia sangat sakit mengingat apa yang terjadi.

“Hisyam, ayo berangkat. Hari sudah siang, nanti kita terlambat.” Yani yang sudah menunggu, tampak tersenyum dan mereka akhirnya pergi dengan mobil yang sudah disiapkan.

Lihat selengkapnya