Tegar tidak bisa berbuat apapun. Dia melihat Mim yang tengah diam dan menatap Darti dari kejauhan. Terlihat jelas ada amarah di wajahnya. Jelas sekali, jika Mim ingin sekali membuat perempuan itu hancur berkeping-keping.
“Kak Mim.” Tegar yang khawatir, langsung memegang bahu Mim. Mim hanya bisa menangis.
“Aku akan membuat mereka hancur, sama seperti mereka membuat Ibu hancur. Kehancuran mereka, adalah keadilan bagi Ibu. Aku bersumpah akan membuat mereka hancur, walaupun mereka akan mendekam di penjara. Ibu bisa mereka buat hancur, maka mereka juga akan aku buat hancur sehancur-hancurnya.” Apa yang Mim katakan membuat Hisyam dan Tegar diam. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk hal itu. Tapi, mereka tau, jika amarah yang ada dalam diri Mim akan ikut menghancurkan Mim sendiri.
“Kak Mim, aku tau kalo kamu marah. Aku tau kamu kecewa dengan apa yang sudah mereka lakukan. Tapi, aku mohon jangan bertindak di luar batas. Aku takut, jika kamu akan mendapat boomerang dari semua yang kau lakukan pada mereka.” Tegar memegang tangan Mim dan terus meminta agar Mim bisa mengendalikan amarahnya.
“Kau tidak pernah tau bagaimana melihat Ibumu diperlakukan sepeti seorang jalang. Padahal selama ini Darti yang sebenarnya seorang jalang. Jangan pernah menceramahiku masalah hal itu. Kau tidak pernah merasakan bagaimana melihat Ibumu dijadikan Jalang oleh seorang Jalang.”
“Mim, aku tau. Tidak pantas memang seorang jalang seperti Darti tinggal dan hidup di desa kita. Dia tidak layak mendapat tempat di desa kita. Dia layak untuk kita usir dan tidak mendapat lagi tempat di desa kita. Gara-gara dia, desa kita dapat gelar sebagai desa Jalang.” Hisyam mendekat dan memegang bahu Mim. Mim hanya bisa meneteskan air mata mendengar bsemua itu. “Mim, tapi apa yang Tegar katakan itu ada benarnya. Jangan memendam amarah dalam hatimu. Nanti kamu bakal kena akibatnya. Banyak orang yang memendam amarah, malah mreka hancur karena amarah dan dendam itu, seperti ayahmu. Kau lihat sendiri, mereka sekarang malah berseteru dengan hukum.”
“Tapi, selama ini mereka dikasih tempat. Dia diberi tempat khusus sama warga Desa. Mereka tidak melihat apa yang dialami Ibuku. Mereka tidak melihat kejahatan yang dilakukannya selama ini. Warga desa memberi tempat yang sebenarnya tidak layak diberikan pada perempuan jalang.” Mim meneteskan air mata dan hanya bis menunduk. Hisyam yang meliht Mim hanya bisa terdiam dan langsung memeluknya. Dia tidak bisa melihat Mim seperti sekarang ini.
“Mim, aku pastikan mereka yang memberikan tempat pada perempuan jalang seperti Darti dan melindungi penjudi seperti Wicaksono, akan mengalami nasib yang sama seperti Ibumu. Pembalasan itu, sekarang sudah berjalan. Kau tidak perlu takut tentang keadilan bagi mendiang Mbak Kasih. Mendiang akan mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan.” Hisyam tersenyum dan memandangi Mim.
Mim hanya bisa menangis mendengar apa yang dikatakan Hisyam. Dia ingin semua itu segera terjadi.
“Aku ingin semua itu segera terjadi. Aku ingin mereka yang memberi panggung pada si jalang Darti, mengalamin nasib yang sama, bahkan lebih mengenaskan dari apa yang dirasakan oleh mendiang.” Mim menatap tajam mobil tahanan yang dipakai Darti dan teman-temannya ke Lapas.
Hisyam akhirnya mendorong kursi roda Mim. Dia tersenyum dan mengajak mereka kembali ke desa.
“Pak Hisyam, kita mau ke mana?” tanya Mim.
“Pulang lah. Mau ke mana lagi? Semua urusan kita di sini sudahb selesai kan?”
“Kita tidak akan kemana-mna lagi?” tanya Tegar yang sepertinya ingi mengatakan sesuatu. Hisyam yang tau jika Tegar ingin mengatakan sesuatu, langsung menatapnya dengan senyuman.
“Tegar, memang kau mau kemana? Kau sepertinya mau pergi ke tempat lain. bilang, mau kemana? Mau kami mengantar?” tanya Hisyam.
“Sebenarnya enggak mau kemana-mana. Au akan kembali ke Desa. Hanya saja, aku ingin ke makam. Aku ingin ke makam bayi Lingga. Aku ingin, makam bayi Lingga bisa tetap ada dan terus dirawat. Aku ingin makam bayi yang tidak berdosa itu, jadi pengingat jika ada wanita yang pernah diperlakukan layaknya binatang.” Tegar tersenyum dan membuat semuanya terdiam. Bayi Lingga, bayi yang tidak berdosa itu mengingatkan semua dosa yang terjadi di desa itu.
“Lingga.” Lam langsung menetekan air mata. Semua ingatan tentang Ibunya, kembali terlintas. Ibu yang sangat menyayanginya, harus pergi dan setelah keperginnya, dia tidak pernah mendapat kasih sayang setulus yang dia dapatkan dari wanita itu.
“Kak Lam. Kakak kenapa?” tanya Mim yang melihat ada air mata di wajah kakaknya yang basah dengan air mata.
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingat Lingga dan Ibu. Dia tidak bersalah tapi harus mendapat hukuman. Dia di cap sebagai anak haram padahal dia tidak salah apapun.” Lam tampak menangis. Mendengar apa yang Lam katakan, membuat Mim juga ikut meneteskan air mata.