Alim akan mengakhiri aktivitasnya sebagai petualang dunia maya. Malam-malamnya tak akan bersanding lagi dengan laptop, handphone, dan sinyal-sinyal gaib yang menyatroni ruang kamarnya. Semuanya akan dikubur. Namun, sebelum semuanya lenyap, ia download satu foto, dan menyimpan dalam dompet kecilnya.
Jauh hari sebelum keputusan itu diambil, Alim sudah belajar untuk mencegah kecanduannya terhadap jejaring sosial yang nyaris merenggut seluruh aktivitasnya. Ia ganti kegiatannya dengan membiasakan membaca buku atau mengaji kitab suci.
Ketika Alim mengikrarkan selamat tinggal di hadapan laptopnya, seorang perempuan setengah tua mengetuk pintu, “Alim …,” panggilnya, beberapa kali.
Alim segera beranjak membukakan pintu, “Ada apa, Mak?” tanya Alim, seraya membiarkan pintu kamarnya terkuak.
“Ada Kartolo, di ruang tamu.”
Alim bergegas menemui Kartolo, dan mengajaknya masuk ke kamar pribadinya. Di kamarnya, Alim langsung merebahkan diri sambil memandangi langit-langit kamarnya yang kosong. Kartolo ikut serta merebahkan diri.
“Apa yang kamu pikirkan, Lim?”
Alim masih diam, membiarkan suara Kartolo lenyap sia-sia di langit-langit kamarnya. Kartolo hendak bertanya lagi, tapi urung diutarakan. Ia biarkan Alim larut ke negeri antah-berantah yang tak bertuan.
Beberapa lama setelah kesunyian mengendap di kamarnya, Alim menarik udara kuat-kuat ke setiap sudut dadanya yang dirasa pengap. Mulutnya mulai bicara seperti pesakitan yang hanya mampu mengeluh.
“Apa yang kamu pikirkan, Kar ...?”
Pertanyaan yang sama meluncur ke telinga Kartolo. Kartolo menoleh sambil bertopang kepala, menatapi Alim yang serupa orang mabuk.
“Harusnya, kamu jawab pertanyaanku, Lim!”
“Memangnya, apa pertanyaanmu?”
“Wah! Parah kau ini, Lim.”
“Parah?”
“Sudah dekat daun telingamu, masih tak mendengar pertanyaanku.”
“Memangnya, kamu bertanya apa, Kar?”
“Sama dengan pertanyaanmu,” jawab Kartolo setengah menggerutu.
“Hem, aku tak tahu apa yang kupikirkan.”
“Kamu benar-benar gila, Lim.”
“Mungkin, Kar!”
“Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan?” tanya Alim.
“Aku memikirkan uang saku. Ayah sudah lama tak melaut. Topan mengamuk.”
“Tak usah kamu pikirkan soal uang saku, Kar! Nanti, aku yang bilang pada Emak!”
“Ah! Jangan, Lim. Aku malu pada Lek Zainab.”
“Sudahlah, Kar! Tak usah kamu hirau soal uang saku. Tuhan akan menyertai perjalanan orang-orang mencari ilmu,” sahut Alim berpetuah pada sepupuya yang kalut.
“Serius nih. Kamu mikirin apaan?” Kartolo memaksa mengorek sesuatu yang melanda pikiran Alim.
Alim kembali diam. Pikirannya berusaha mencari celah, agar dirinya menuturkan sesuatu yang layak pada Kartolo, tapi bukan sesuatu yang tengah dirahasiakan hatinya.
“Aku khawatir tak betah ditempat itu,” kilahnya.