Sebelum berangkat, Alim membuka laptopnya. Membaca inbox dari Lokananta. Lalu, membalasnya sambil sunggingkan senyum yang membahagiakan hatinya.
“Ternyata, wajah di facebook ini nyata. Aku tak rugi mengenalmu, Lokananta. Kamu telah menjerat kerinduanku. Sampai jumpa di pesantren al-Hidayah,” hati Alim berbicara dan terus dirasuki pesona Lokananta.
Alim menutup facebooknya, dan bergegas menemui ayahnya yang memanggil-manggil.
“Sudah siap?”
“Siap ....”
Alim mengambil tas dan men-shut down laptopnya. Terlihat dari jauh, Kartolo bersama orang tuanya sudah menunggu. Mereka menjinjing beberapa tas berisi baju, dan perlengkapan lainnya selama tinggal di pesantren al-Hidayah.
Wajah Alim dan Kartolo berbinar, seolah mereka akan pergi ke surga untuk menemui seribu bidadari. Orangtua mereka merasa bangga, karena anaknya punya keinginan untuk menuntut ilmu agama di pesantren.
Maka pada hari itu, kedua anak mereka yang beranjak dewasa diantar ke pesantren terkemuka yang sudah dikenal khalayak, bahkan sudah tersiar ke seluruh penduduk tanah air.
“Baik-baiklah kamu di sana,” beberapa tetangga memberi nasihat sambil menyelipkan lembaran uang ke saku baju Alim dan Kartolo, sebagai bentuk dukungan moril, dan kelak berharap keduanya kembali dengan membawa ilmu yang nafik, bermanfaat bagi lingkungan tempat tinggalnya.
Faza Binal Alim dan Kartolo menyalami para tetangga yang tidak ikut mengantar ke pesantren. Keduanya semakin mantap untuk menuntut ilmu di pesantren al-Hidayah.
Tepat hari Rabu—sebagaimana hari yang menjadi tradisi anak yang akan mondok—ketika matahari mulai terik, Alim dan Kartolo berangkat menuju pesantren al-Hidayah dengan mencarter mobil Carry milik tetangganya.
“Sekarang, hari baik berangkat mencari ilmu,” kata ayah Kartolo pada ayah Alim yang duduk di sebelahnya.
“Kita berharap anak-anak bisa lebih baik dari kita, Pak Kartomang,” sahut ayah Alim sambil menggeser pantatnya ke samping.
“Beruntung, Kartolo manut saja ketika saya memintanya nyantri. Tidak seperti lima kakaknya. Saya berharap, Kartolo menjadi anak yang saleh, sehingga ketika saya sudah mati, Kartolo selalu mendoakan saya.”
Ayah Alim mengangguk mantap, seperti menemukan teman juang yang sejati bagi anaknya.
“Saya bersyukur, Pak Tomang, Alim juga punya keinginan masuk pesantren. Padahal, beberapa bulan yang lalu, saya menawarkan masuk SMA di kota.”
“Saya hanya takut Kartolo menjadi liar seperti anak-anak tetangga yang suka kebut-kebutan jika tidak nyantri. Saya terlalu awam untuk membimbing anak sendiri belajar agama, Pak Jamal.”
Dialog kedua ayah itu terus berlanjut. Alim dan Kartolo di jok belakang nampak bahagia sambil berbisik-bisik, “Uang sakumu banyak toh, Kar?”
“Tidak tahu, ya. Nanti di pesantren, kita hitung,” jawab Kartolo setengah berbisik.
Mobil mereka terus melaju melewati beberapa kelokan jalan yang menanjak. Di kanan-kirinya terlihat jurang yang curam. Cukup mengerikan jika mobil yang mereka tumpangi melompat ke dasarnya.
***
Menjelang salat Zuhur, mereka baru tiba di lingkungan pesantren al-Hidayah. Rombongan melewati jalan menuju kediaman pengasuh. Terlihat beberapa santri bergerombol membaca nazam kitab Alfiah ibnu Malik.
Setiba di depan rumah pengasuh pesantren, beberapa khadim dan khadimah menyilakan orangtua Alim dan rombongannya masuk.
Orangtua Alim dan Kartolo memasrahkan anak-anaknya agar dididik menjadi manusia yang baik, pandai agama, dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.
“Terima kasih, Kiai ...,” seru Pak Kartomang.
Alim dan Kartolo mendengarkan dengan saksama apa yang dikehendaki oleh orang tua mereka. Lalu, pengasuh pesantren meminta kepada khadimnya untuk mengantar kedua santri baru itu ke kamar yang sudah disediakan.