Alive

Mizan Publishing
Chapter #3

Zarra

Panas dan gusar …. Dua kata itu yang tepat untuk mendeskripsikan posisi aku. Dadaku sesak melihat semua ini. Menghirup bau gosong sebuah rumah yang sebentar lagi habis dilahap api. Dadaku rasanya lebih sesak lagi ketika melihat anak sebaya denganku sedang berusaha mencari cara keluar dari bencana itu. Dengan sepasang mata aku dapat melihat dia benar-benar membutuhkan bantuan. Aku ingin membantunya, tetapi badan ini sulit digerakkan. Tubuhku serasa patung. Seolah-olah aku hanya diinginkan untuk menjadi saksi kematian korban kebakaran.

Aku mencoba memejamkan mata namun tidak berhasil. Aku penasaran bagaimana nasib Sang Gadis. Aku tidak tahu apakah ada kejutan di bagian akhirnya. Mungkin saja ada sosok pahlawan yang menyelamatkannya.

Sayangnya … kejutan-kejutan besar yang aku harapkan tidak kunjung datang. Aku melihat … gadis itu tenggelam dalam lautan api. Aku juga melihat bagaimana tangannya melambai meminta pertolongan. Beberapa waktu kemudian, tangan itu berhenti bergerak. Dia … masih hidupkah?

“Sassha, bangun! Sudah pagi, nanti kamu terlambat!”

Suara yang lumayan cempreng membangunkanku dari mimpi buruk. Aku terbangun. Mengucek-ngucek mata lalu menoleh ke arah Siria yang tersenyum cukup lebar di sampingku. Sejenak dia membuatku lupa dengan mimpi buruk barusan.

“Selamat pagi, Sassha ....”

“Pagi,” sahutku singkat. Aneh … setiap memimpikan hal itu kepalaku terasa berat. Napasku sedikit terengah-engah seperti baru saja menghirup asap, padahal di kamar saat ini gas yang berkeliaran bebas hanya oksigen dan karbondioksida.

“Sassha, asmamu kambuh?” Siria bertanya dengan nada cemas.

Beberapa waktu terakhir ini aku menderita penyakit asma berat karena suatu peristiwa. Aku tidak ingat peristiwa apa itu karena aku juga mengalami amnesia.

“Ah, tidak usah dipikirkan. Aku baik-baik saja, kok,” sahutku melempar senyum ke arahnya agar lebih meyakinkan. Siria mengambil napas lega.

“Syukurlah. Kalau begitu aku tunggu kamu di bawah, ya,” ujarnya seraya meninggalkanku sendirian di kamar tidur yang baru kutempati tiga bulan.

Terkadang aku masih tidak percaya dalam jangka waktu tiga bulan bisa bertetangga. Ternyata, aku bisa membangun hubungan dengan Siria sampai sebegitu dekat. Ya, dia tetangga sebelah rumah. Sebelum menjadi tetangga, kami tidak begitu akrab dan jarang mengobrol walaupun satu kelas.

Setiap hari, Siria yang hobi bangun pagi sering didaulat Mama untuk membangunkanku. Entah kenapa aku menjadi sangat mudah dibangunkan Siria dibandingkan oleh Mama, Papa, atau Bibi. Mengingatnya membuatku tersipu sendiri.

Aku beranjak ke kamar mandi. Oya, aku sering menyanyi di kamar mandi. Tidak tahu kenapa, tapi suaraku terdengar merdu jika berada di dalamnya. Hanya butuh sekitar dua puluh menit dan aku telah siap dengan seragam putih biru. Ada logo yang cukup membanggakan di seragam karena sekolahku merupakan salah satu sekolah terfavorit.

Rumahku tingkat dan satu-satunya kamar yang berada di lantai atas adalah kamarku. Ya, ini pilihanku sendiri. Entah kenapa aku merasa nyaman dan lebih leluasa jika menyendiri.

Satu demi satu anak tangga kulalui hingga sampai di lantai bawah. Aku disambut meja makan dengan beberapa menu yang sudah tersaji. Papa dan Mama sepertinya sudah menungguku sedari tadi. Piring mereka dibiarkan kosong dalam keadaan tengkurap. Memang sudah menjadi tradisi di keluarga kami untuk tidak makan sebelum semuanya berkumpul. Aku menarik kursi yang letaknya berhadapan dengan kursi Mama, sementara kursi Papa berada tepat di sebelah kiriku. Kursi yang Papa duduki menunjukkan posisinya sebagai kepala keluarga.

“Selamat pagi Papa, selamat pagi Mama.”

“Selamat pagi, Sassha ...,” sahut Mama dan Papa hampir bersamaan. Kedua tanganku dengan cekatan membalikkan piring kosong dan mengambil setangkap roti ke atas piring. Ada beberapa pilihan topping yang tersedia: selai cokelat, selai sroberi, selai kiwi, selai kacang, meises, dan keju. Semuanya tampak menggiurkan, namun aku harus memilih salah satu di antaranya.

Hm …, sepertinya lidahku saat ini membutuhkan sesuatu dengan rasa kecut-kecut manis. Sudah kuputuskan untuk memilih selai stroberi sebagai topping.

Setelah beberapa olesan selai, aku pikir roti tawar itu telah siap untuk dimakan. Sebelum akhirnya aku mengingat sesuatu. “Siria di mana, Ma?”

Mama yang hampir mengigit roti membatalkan niatnya dan menjawab, “Tadi Mama sudah suruh dia sarapan bersama kita. Tapi, katanya sudah kenyang dan memilih menunggumu di depan rumah. Mama paksa dia, tapi tetap tidak mau. Siria benar-benar anak yang sopan dan pemalu.”

Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. Cepatcepat kulahap roti agar Siria tidak terlalu lama menunggu. Saking cepatnya sampai-sampai aku tersedak.

“Hati-hati, dong, makannya,” Papa mengingatkan.

Aku menurunkan segelas susu yang sekarang hanya tersisa setetes kemudian meringis. “Hehehe …. Maaf, Pa. Ya, sudah Sassha sama Siria berangkat dulu, Pa, Ma. Dadaaah ....”

Dengan tas yang melekat di punggung, aku berlari menyusul Siria. Di luar sana, Siria tengah asyik bermain dengan anak anjingku yang baru saja diberikan Paman yang sekarang tinggal di Jogja. Aku memberi nama anak anjing itu Arang karena warna bulunya hitam pekat seperti warna arang.

“Yuk, kita berangkat ke sekolah, Siria.” Aku melepaskan penyangga sepeda lalu menaikinya.

Siria sempat terkejut melihat kedatanganku yang ternyata lebih cepat dari dugaannya.

“Anak anjingmu lucu, Sha,” puji Siria seraya naik ke sepedanya.

Aku kemudian melayangkan pandangan sembari tersenyum ke arah Arang yang mengibas-ngibaskan ekor.

“Namanya Arang. Kemarin, Pamanku sempat bermain ke rumah baruku dan memberikan anak anjing ini. Kalau mau, kamu bisa bermain dengan Arang setiap hari.”

Siria mengangguk gembira. “Benarkah? Terima kasih, Sha. Kamu benar-benar sahabatku yang berhati baik. Nah, sekarang kita berangkat ke sekolah, yuk!” Siria memalingkan kepala dan melambaikan tangan kepada Arang sebelum akhirnya kami benar-benar menganyuh sepeda dan pergi menuju ke sekolah.

***

Setelah lima belas menit dihabiskan di perjalanan, akhirnya kami sampai di sekolah. Parkiran sepeda terlihat begitu sepi karena rata-rata siswa diantar menggunakan mobil. Kami memakirkan sepeda dan mengikatnya dengan rantai yang terhubung ke pagar besi.

Kami langsung disambut Celia dan Shena yang sudah menunggu di tempat parkiran sedari tadi. Mereka sahabatku selain Siria. Kami sering melakukan kegiatan-kegiatan di sekolah bersama-sama.

“Kalian sudah menunggu kami dari tadi?” tanya Siria melirik Celia dan Shena bergantian.

“Tidak. Kami juga baru saja datang, kok. Yuk, kita ke kelas. Bel masuk sebentar lagi akan berbunyi,” ajak Celia.

Kami semua mengangguk kemudian beriringan meninggalkan parkiran sepeda di bawah naungan pohon beringin yang entah sejak kapan sudah ada di sana.

Di kelas kami menuju tempat duduk masing-masing. Tempat duduk kami berpencar menurut nomor absen. Di antara kami bertiga, nasibku yang paling mengenaskan karena harus duduk menyendiri di pojok kelas. Sebab nama depanku berawalan huruf “Z”, Zidane Sassha.

Karena nama depan itu, aku dikira ada hubungannya dengan pesepak bola. Padahal berdarah bule saja tidak. Suka sepak bola juga tidak. Apanya yang berhubungan darah?

Setelah duduk di tempat masing-masing bel masuk berbunyi. Kelas kami berada persis di samping ruang guru, makanya guru dengan cepat sampai di kelas. Hari ini ada yang berbeda karena wali kelas tiba-tiba menggunakan sedikit waktu jam pelajaran Matematika dengan membawa seorang anak perempuan.

Dari tampangnya, dia terlihat begitu dingin. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dan siswa baru itu mengenakan penutup mata di bagian kiri. Gadis itu seperti membawa aura misterius.

“Murid-Murid, tebak siapa yang saya bawa hari ini? Dia teman baru di kelas kalian. Zarra, silakan perkenalkan dirimu.” Miss Elshadow, wali kelas 9.1, mundur beberapa langkah dan membiarkan siswa baru itu memperkenalkan diri.

Kami menunggu-nunggu bagaimana tutur katanya.

Dengan mata sebelah kanan, dia memandangi kami satu-satu.

“Nama saya … Zarra.”

Setelah itu dia tidak berkata lagi. Kami berpandangan satu sama lain. Padahal, aku ingin tahu sosok Zarra lebih detail. Bukankah sebagai murid baru, dia harus mengatakan asal sekolahnya, rumah, dan lain sebagainya? Miss Elshadow kelihatan bingung karena Zarra hanya mengucapkan nama. Mungkin nama panjangnya hanya satu kata atau hanya nama panggilan. Dan sepertinya Miss Elshadow tidak ingin memperpanjang masalah perkenalan ini. Bukankah nantinya kami bisa bertanya sendiri kepada Zarra?

“Perkenalan yang sangat bagus, Zarra. Kamu boleh duduk di samping gadis yang duduk sendirian di pojok kelas itu.”

Perintah Miss Elshadow membuatku tersentak beberapa saat. Aku … duduk sebangku dengan anak aneh seperti … Zarra?

***

“Bagaimana rasanya duduk dua jam pelajaran dengan Zarra?” Shena bertanya sebelum memasukkan mi ayam yang dia apit dengan sumpit ke dalam mulut. Mi ayam itu menjadi alasan bagi Shena kenapa dia selalu menanti-nantikan waktu istirahat tiba.

Aku bertopang dagu di atas meja. Mataku memandang Zarra yang duduk sendirian menyantap bekal yang dia bawa dari rumah. “Tidak menyenangkan. Dia sangat pendiam dan membuatku canggung duduk bersamanya.”

“Sassha yang cerewet duduk sebangku dengan Zarra yang pendiam. Pasti kalian sulit beradaptasi,” timpal Celia setelah meneguk jus jeruk pesanannya.

Aku menghela napas pendek, “Sepertinya begitu ….”

“Tapi, harusnya kamu senang karena akhirnya mendapatkan teman sebangku.” Siria bersuara tidak begitu jelas karena di dalam mulutnya terdapat segelondong bakso Pak Kumis.

“Iya, sih. Tapi, teman sebangku yang kuharapkan bukan seperti ini. Aku maunya teman sebangku yang asyik diajak ngobrol dan bercanda,” sahutku sedih.

Celia menggeser tempat duduk dan mendekat ke arahku. Dia menepuk pundakku dengan lembut. “Sabar aja. Mungkin karena masih baru dia canggung berbicara banyak. Zarra butuh waktu untuk beradaptasi.”

Aku mengangguk pelan. Tapi, sepertinya siswi seperti Zarra akan lama bisa bersikap terbuka. Dalam masalah ini aku benar-benar tidak beruntung!

Pagi berlalu cepat dan malam hari tiba. Setiap malam minggu, sudah menjadi tradisi bagi keluargaku berkumpul di ruang keluarga. Papa yang sering disibukkan dengan pekerjaan rumah sakit dan Mama yang disibukkan kantornya meluangkan waktu untuk acara ini meskipun sulit. Biasanya dalam acara keluarga ini, kami bercerita mengenai banyak hal. Orangtuaku pandai menyusun pengalaman sehari-hari sehingga terdengar menarik. Sedangkan aku? Uh, sepertinya aku hanya cocok menjadi pendengar karena ceritaku selalu berakhir dengan suara jangkrik.

“Dan akhirnya … Papa berhasil membuat orang jahat itu kelabakan!” ujar Papa mengakhiri cerita.

Seperti biasa aku dan Mama selalu bisa dibuatnya tertawa terbahak-bahak. Menurutku Papa lebih cocok menjadi komedian dibandingkan dokter.

“Nah, sekarang giliranmu, Shassha ...,” ucapan Mama membuat jantungku berdegup cukup kencang.

Oh, tidak! Tidak lagi .... Aku tidak memiliki pengalaman menarik yang bisa kuceritakan kepada mereka. “Aku … tidak tahu harus bercerita apa. Kupikir keseharianku selama ini berlalu biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.” Kepalaku menunduk lemas.

Papa tersenyum simpul. “Setiap manusia pasti punya sesuatu yang istimewa untuk diceritakan, Sayang. Ayolah ..., menarik tidaknya itu urusan belakang.”

Mama mengangguk setuju.

Aku menatap mata mereka yang menantikan ceritaku. Baiklah … otakku mulai berputar. Mencari pengalaman hidupku yang mungkin membuat mereka tertarik mendengarnya. Tiba-tiba, aku teringat murid baru yang duduk di sebelahku. Mungkin dia bisa menjadi bahan cerita yang menarik untuk kusajikan.

Lihat selengkapnya