Anak ke-2 dari 8 bersaudara. Terlahir dari seorang ayah yang hidup sebatang kara, saudara-saudaranya sudah pergi mendahului dan juga kedua orang tua yang sudah tiada. Didik dengan keras, dari semasa kecil sudah diajarkan berburu di hutan, yang pergi ke sekolah harus mendayung perahu, terapung di atas lautan, bisa memasak. Dan juga terlahir dari seorang ibu yang adalah anak ke-2 dari 6 bersaudara dan semuanya adalah perempuan, tidak ada anak laki-laki atau saudara laki-laki. Kakek adalah pejuang kemerdekaan yang tidak dikenal. Sebab di jaman itu kakek sebagai relawan pada masa-masa pasca kemerdekaan. Dan banyak saudaranya harus meregang nyawa dan hanya kakek yang satu-satunya keturunan marga yang diwarisi yang masih hidup.
Masa kecil ayah, terdidik untuk hidup bisa serba mandiri sejak dari masih usia 6 tahun. Kakak sulung ayah yang adalah perempuan, meninggal di usia 8 tahun, karena sakit keras meski sudah diobati. Namun saat itu belum santer tenaga medis di kampung tempat tinggal ayah. Sakit kelumpuhan yang disebut cikungunya. Maka ayahlah yang menjadi pemimpin, dan merawat adik-adiknya.
Ayah, dan Ibu dari ayah, atau yang Lilith sebut kakek dan nenek, berhari-hari hidup di area kebun yang ada di hutan. Maka ayah yang masih berusia 6 menuju 7 tahun, yang mesti merawat adik-adiknya. Ayah dan adik yang adalah anak ketiga memiliki perbedaan usia 3 tahun. Kemudian makin bertambah usia ayah, diikuti dengan kelahiran adik-adiknya yang kesemua lelaki dan memiliki perbedaan usia masing-masing 3 tahun. Tanpa diduga adik bungsu ayah yang adalah perempuan terlahir di kala ayah berusia 17 tahun.
Ayah merawat adik-adiknya, memasak, memandikan, memakaikan baju. Ayah dipercayakan oleh kakek dan nenek untuk merawat paman-paman yang saat itu masih kecil. Diajari berburu, mengolah makanan, sesekali pergi memancing ikan dengan kakek. Kakek pun mengantarkan ayah ke sekolah yang lokasinya ada di kampung sebelah, dengan mendayung perahu.
Suatu ketika ayah kesal, marah, dan menolak untuk merawat adik atau paman. Paman yang saat wisudanya dihadiri oleh ibu yang saat itu sedang mengandung Abilka. Saat paman masih kecil, paman sering dirawat, oleh ayah, sebelum ayah pergi ke sekolah. Sepulang sekolah pun, paman diurus ayah. Kalau yang usianya sudah cukup besar merawat diri, ayah sudah tidak lagi repot. Paman Yani, namanya. Eh iya, lupa untuk memperkenalkan. Ayah Lilith bernama Dani, almarhumah kakaknya bernama Bibi Rani, adik setelah ayah bernama Paman Beni, anak keempat bernama Paman Rudi, anak kelima bernama Paman Yeri, anak keenam bernama Paman Poli, anak ketujuh bernama Paman Yani, anak kedelapan atau anak bungsu bernama Bibi Leny.
Puncak kekesalan ayah saat ayah pulang sekolah. Ayah berlari ke hutan mencari kakek dan nenek di kebun dan mengeluhkan untuk tidak lagi ingin mengurus adik-adiknya. Hutan yang ditanami kelapa, cokelat, durian. "Aku tidak mau lagi mengurus adik-adik!" tukas ayah saat itu. "Ibu dan Bapak tidak pernah pulang ke rumah, aku saja yang diberi tanggung jawab!" "Eh kenapa kamu berbicara begitu Dani?" Tanya Ibu, yang sedang duduk melahap makan siangnya. "Yani memanggilku dengan sebutan "ibu", bu! Emang dia tidak tahu apa kalau panggilan ibu itu untuk perempuan? Dia bisa bedakan apa tidak sih! Pokoknya aku mau Ibu pulang dan jangan tinggal berlama-lama di tempat ini. Kembalilah ke rumah, bu!" mohon ayah saat itu.
Di hutan yang memilki pegunungan indah, banyak sekali rusa yang berkeliaran, berlarian, dan hidup di situ. Ayah sering diajak berburu oleh kakek dan hasil buruan itu untuk makan sehari-hari sekeluarga. Namun di saat ini, kawasan pegunungan yang banyak rusanya itu, sudah benar-benar punah dan tidak semudah dulu menemukannya. Ayah bercerita kalau kakek tidak pernah menembah atau memburu rusa yang sedang tidur atau sedang makan; tapi kakek akan menembak rusa yang berlari saat tahu akan ditembak.