Ibu...
Ibu adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ibu terlahir bukan di tempat di mana kedua orang tuanya berasal. Ibu terlahir dari nenek yang selamat dari perang dengan disembunyikan di suatu goa dan ditaruh makanan agar bisa bertahan hidup. Tidak ada waktu untuk belajar, yang penting bisa bertahan hidup. Saudara-saudara perempuan nenek pun dinikahkan di usia yang masih belia yaitu 16 tahun dengan pemuda lokal agar penjajah Jepang tidak mengambil mereka untuk dijadikan istri. Nenek pun lahir bukan di daerah asal ayahnya, namun ia lahir dan besar di daerah asal ibunya. Ayahnya nenek atau yang kusebut buyut di jaman remajanya pergi meninggalkan daerah asal dengan menumpangi kapal. Hingga akhirnya sampai di daerah di mana Ibunya nenek berasal. Nenek pun tidak selesai dalam menempuh pendidikan di SR (Sekolah Rakyat), dan disibukkan dengan aktivitas bertani, menimba ikan di lautan.
Kakek yang adalah ayahnya, ibu pun bersekolah di pulau seberang. Kakek semasa usia remaja bersekolah di SLTA pulau seberang dan hanya lulusan SLTA Kakek pun bekerja di kantor camat yang dulunya disebut Kantor Pejabat KPS di masa itu di pulau seberang itu. Hampir setahun kakek bekerja, namun gajinya 3 bulan belum dibayar, maka kakek pun kembali ke daerah yang menjadi ibukota dari kampung asalnya kakek. Kakek pun menetap di kampung di mana nenek menetap.
Ibunya nenek berasal dari kampung di mana nenek dilahirkan dan memiliki nama keluarga yang keturunannya kebanyakan adalah perempuan. Keturunan laki-laki dari marga ibunya nenek pada meninggal di usia yang muda. Dan marga yang diteruskan pada anak perempuan pun terhenti sebab mereka menikah dan tidak ada lagi penerus marga.
Kakek selama menetap di tempat di mana Nenek tinggal, saat itu kakek bekerja di Kantor KPS juga. Saat bekerja di Kantor KPS, nenek sering datang membawa jualan ikan puri nasi yang pelanggannya bekerja di Kantor KPS. Ikan itu dinamakan Puri Nasi sebab bentuknya seperti nasi. Namun ikan tersebut ada hanya jika musimnya tiba. Selain puri nasi, nenek pun menjual ikan jenis lain. Maka dari sinilah awal perkenalan mereka. Saat sudah saling mengenal, maka mereka pun saling tahu kalau mereka berasal dari daerah yang sama. Namun karena kondisi hidup masing-masing maka mereka merantau meninggalkan daerah asal mereka. Sama dari daerah yang sama namun berbeda desa dan juga beda bahasa. Meski satu daratan tapi ada perbedaan bahasa yang dipakai. Ada bahasa yang sama-sama dipakai tapi lain pengertiannya. Inilah keindahan Bangsa kita. Beraneaka ragam, bukan hanya suku, budaya, tapi juga bahasa. Meski berasal dari daerah yang sama, satu daratan, namun sudah berbeda bahasa yang diartikan.
Nenek dan kakek pun menikah tanpa ada kendala atau terhalang restu. Sebab sama-sama dari daerah yang sama. Di daerah yang menjadi tempat di mana Ibu lahir dan dibesarkan, ada aturan di mana setiap wanita yang ada dalam fase luteal atau masa subur atau datang bulan, harus tinggal di sebuah gubuk yang berbentuk rumah dan jauh dari pemukiman. Tujuannya agar wanita-wanita yang sedang dalam fase menstruasi, tidak dibebankan dengan pekerjaan-pekerjaan, entah itu dianggap ringan atau berat. Intinya wanita-wanita itu benar-benar harus dihormati fase masa suburnya sampai benar-benar selesai. Setelah itu bisa kembali beraktivitas di lingkungan tempat tinggal.
Anak pertama yang terlahir dari pernikahan Kakek dan Nenek, berjenis kelamin laki-laki, anak kedua dan ketiga berjenis kelamin perempuan, anak keempat, laki-laki, anak kelima, perempuan, dan anak yang bungsu atau anak keenam, berjenis kelamin laki-laki. Ibu adalah anak ketiga. Ibu hanya beda setahun dari kakak perempuannya yang kedua. Sejak kecil, masa kecil Ibu dihabiskan di tempat di mana ia lahir; yang berarti bukan di tempat di mana ia berasal. Dan hal ini membuat ibu pun tahu nama-nama pohon, buah, dan tanaman-tanaman yang dijadikan obat.