Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu berasal dari suku yang berbeda, begitupun ibu. Meski mereka berasal dari satu daerah. Masa kecil ibu sejak lahir, dan besar, sudah menetap di kampung yang dekat dengan kampung asal ayah. Namun di saat ayah dan ibu menjalin hubungan, tidak ada pertentangan dari kedua orang tua masing-masing terkait perbedaan suku dan daerah. Orang tua ayah, kakek dan nenek sudah memiliki keyakinan dan sudah menganut agama, dan tidak telalu terikat pada kepercayaan leluhur terkait pasangan anak-anaknya. Meski masih ada ritual-ritual tertentu yang dilakukan. Misalnya, cucu laki-laki pertama yang adalah anak laki-laki kedua paman, dimandikan di air laut, di bawah sinar bulan purnama yang muncul sebulan setelah kelahirannya dan dibacakan doa dalam bahasa tanah. Karena lahirnya di kampung, maka kakek jaman itu memandikan cucu laki-laki yang lahir di kampung asal. Begitupun dengan orang tua ibu, yang juga memiliki iman dan kepercayaan, dan menganut agama yang sama dengan orang tua dari ayah. Orang tua ibu pun, sudah berlayar jauh meninggalkan daerah asal, dan tidak terlalu terikat dengan ritual-ritual adat.
Kakek dan Nenek dari ayah masih melakukan upacara-upacara adat apabila ada pelantikan raja, pernikahan, dan lain sebagainya. Sebab menetap di kampung asal dan hidup tidak berpindah seperti Kakek dan Nenek dari ibu. Kepercayaan yang sudah diyakini dan dianut memberikan pemahaman bagi mereka bahwa Tuhan yang disembah, melampaui segala perbedaan, hal inilah yang membuat ayah dan ibu sudah tidak terlalu kental akan adat dan segala prakteknya serta aturan-aturannya.
Saat hidup di perantauan, fenomena yang terjadi pada anak-anak rantau adalah, mereka kebanyakan bergabung pada organisasi atau persekutuan yang menjalankan aktivitas keagamaan. Kristen Protestan. Ibu sudah bergabung sejak masih SLTP saat ibu pindah di rumah paman dan bibi, saudara dari nenek. Sebagai anak yang hidup di perantauan di jaman itu, jauh dari orang tua, dan teknologi belum secanggih saat ini, memang ibu memerlukan komunitas yang bisa sama-sama saling menguatkan, saling menopang, dan komunitas yang mengarahkan diri bertumbuh ke arah yang memberikan aktivitas dan kegiatan yang positif.
Komunitas ini memiliki kegiatan pemberitaan injil, kebaktian kebangunan rohani yang merangkul tiap orang yang datang. Dan ibu tergabung ke komunitas atau persekutuan itu karena dorongan dari kebaktian kebangunan rohani yang persekutuan itu adakan. Ibu merasa perlu semakin kuat dalam iman, di tengah kesulitan-kesulitan hidup yang ibu alami dan rasakan. Hal demikian pun sama halnya dengan ayah. Ayah terdorong karena aktivitas kebaktian kebangunan rohani, yang membuat ayah tergabung dalam persekutuan itu. Saat itu ayah adalah siswa STM yang hidup dalam perantauan dan tinggal bersama sanak famili.
Ini berbeda dengan orang yang sudah lama tinggal, berasal, atau terlahir di tempat di mana ayah dan ibu merantau. Mereka tidak terlalu tertarik mengikuti persekutuan agama, kecuali persekutuan yang sudah dari kecil mereka ikuti. Dan yang terjadi bahkan ada yang tidak pernah tergabung dalam perskutuan keagamaan, tapi diajak atau diinjili oleh orang-orang yang merantau. Ini yang dilakukan ayah dan ibu yang seringnya mengajak orang-orang yang seumuran, bahkan yang lebih muda dari mereka untuk sama-sama tergabung dalam persekutuan keagamaan itu.
Ayah dan ibu saling mengenal pada saat ibu masuk SMEA yang saat ini disebut SMK. Dan ayah STM. Ayah dan ibu berjarak usia 2 tahun, dan ayah lebih tua 2 tahun dari ibu. Saat masih sekolah menengah, mereka berdua belum berpacaran.
Ayah dan ibu tinggal di tempat yang berbeda. Ibu tinggal di lokasi yang dekat dengan sekolah ayah, ayah tinggal dekat dengan lokasi sekolah ibu. Dan mereka menempuh perjalanan setiap harinya dengan berjalan kaki. Dan setiap pagi mereka hanya minum air putih untuk pergi ke sekolah. Kadang juga menumpangi mobil pick up jika pergi di jalur yang sama. Ayah dan ibu tidak sendiri, mereka pergi bersama dengan penghuni rumah lainnya dan beramai-ramai mereka berjalan kaki. Untuk laporan pendidikan pun mereka sendiri yang mengambilnya, sebab kondisi hiduplah yang menjadikan pilihan mereka harus seperti ini. Demi mewujudkan kehidupan yang terlihat mapan karena rancangan matrix usang, ada hal yang tidak terpenuhi semasa mereka muda. Harus jauh dari orang tua, tinggal bersama keluarga yang ekonominya juga sulit, makan pun tidak bisa sepuasnya, dan dipaksa dewasa secara mental sebelum waktunya. Dan saat ibu kelelahan berjalan kaki, merasakan lapar dan kehausan, ibu berani meneteskan air mata saat hujan deras mengguyur.