Alkemi Dari Gawai

Rhisty Ricku
Chapter #9

Love Is Verb

Aku diberikan anugerah bisa berumur panjang, untuk hidup bersama Abilka. Dan memahami apa yang juga orang lain alami dan itu sama dengan aku. Sebagaimana kita tercipta dan dihadirkan di suatu tempat, pasti secara langsung maupun tidak, kondisi lingkungan itu mempengaruhi karakter kita kedepannya. Ya, itu yang kualami dengan adanya kehadiran Abilka. Aku yang ada di masa-masa kecil, masih belum terlalu merasakan beban dengan kondisi Abilka. Bermain, belajar, bergaul dengan teman-teman sebaya maupun yang lebih tua, seperti layaknya anak-anak pada umumnya. Tidak terlalu terbebani dengan kondisi Abilka sebab bukan aku yang mengurusnya.

Makin bertambahnya usia, maka tanggung jawab perlu dibagi. Abilka makin menunjukkan kondisinya yang berbeda. Dia suka berteriak-teriak, membentur-benturkan kepala, merampas makanan dari tangan orang yang, berperilaku yang membuatku enggan mengajak teman datang ke rumahku. Sebab suara teriakkannya sangat mengganggu, apalagi Abilka kalau mengamuk, ia suka melemparkan barang agar tersalurkan rasa amarahnya atau ketantrumannya. Aku tidak ingin membuat teman-temanku tidak nyaman, jadinya saat mereka mau berkunjung ke rumah pun, aku menolaknya. Bukan karena aku malu, akan kondisi adikku, tapi aku tidak ingin membuat orang lain tidak nyaman. Dan aku pun bosan sebab masa mudaku tidak terlalu menyenangkan seperti anak-anak lain yang bisa bebas berkeksplorasi. Aku selalu dituntut untuk pulang cepat, untuk menjaga Abilka.

Suatu ketika, aku terkejut dengan tingkah Abilka yang tidak kusangka bisa berbuat seperti itu padaku. Kejadianku di saat Abilka berusia 11 tahun dan memang sudah memasuki masa-masa pubertas. Abilka sambil tertawa sebab dia tidak bisa berbicara. Dia memegang alat vitalku. Aku sangat terkejut atas apa yang Abilka lakukan. Aku berteriak dan memarahinya. Namun dia lari dan tertawa terbahak-bahak. Inilah masa nerakaku. Aku kembali mengingat kenangan, di mana aku dilecehkan oleh saudara sepupu dan teman perempuan yang lebih tua dariku. Namun kali ini, dilakukan oleh adik kandungku sendiri. Otakku saat itu membeku seketika dan tidak menyangka pola itu berulang dan itu terjadi padaku lagi.

Namun saat itu, aku harus tetap melakukan aktivitas. Saat itu aku SMA, dan bersiap-siap mau mandi dan pergi ke sekolah. Dan tidak bisa belama-lama mengurai apa yang Abilka lakukan padaku. Kejadian itupun sampai aku menulis kisah ini, aku tidak menyampaikannya sama sekali kepada kedua orang tuaku. Setelah itu, Abilka mengintip saat aku masuk ke kamar mandi. Dia menggeser meja yang ada di dekat kamar mandi, dan mengintipku dari lubang ventlilasi yang saat itu belum ditutup. Saat itu, aku belum melepaskan semua bajuku, dan kaget atas apa yang Abilka lakukan.

Aku saat itu cukup memahami bahwa perkembangan otak Abilka terkait etika memang tidak sama dengan anak normal. Dan saat itu aku harus benar-benar melanjukan hidup tanpa harus merasa hina atas apa yang Abilka lakukan padaku. Ada kekuatan tak kasat mata yang aku rasakan, saat masa-masa gelap itu aku alami. Kondisi ini membuat aku dan keluargaku makin spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada sumber pencipta kehidupan ini, dan bukan berarti menjadi sok rohani. Karena Tuhan yang aku sembah, adalah satu-satunya tempat beroleh kekuatan. Sungguh ini tidak mudah, sebab keadaan Abilka tidak berubah sesuai dengan apa yang aku dan keluarga mau.

Tanggung jawab menjaga dan merawat Abilka makin terasa saat Mikha sudah pergi melanjutkan pendidikan jenjang Perguruan Tinggi di luar daerah di mana kami tinggal. Mikha tidak terlalu merasakan gonjang-ganjing hidup bersama Abilka saat Abilka memasuki usia remaja. Adikku Abilka, tidak menempuh pendidikan formal. Pernah juga ayah dan ibu mengantarkan Abilka ke Sekolah Luar Biasa (SLB) yang juga mendidik anak-anak berkebutuhan khusus seperti Abilka. Namun ayah dan ibu pun terkendala waktu, aku pun masih bersekolah dan kami tidak bisa full-time ada menunggu Abilka hingga selesai belajar di sekolah. Ayah dan ibu pun bekerja.

Lihat selengkapnya