Alkemi Dari Gawai

Rhisty Ricku
Chapter #10

Kondisi Abilka Melindungiku

Aku makin ada di titik di mana, aku tidak ingin menikah, tidak ingin bekerja di tempat yang jauh. Melihat kondisi orang tuaku yang umurnya makin bertambah, kakakku tidak terlalu fasih dalam memahami Abilka, seringnya dia memarahi Abilka dan cenderung tidak sabar dalam mengurusi Abilka. Aku juga tidak ingin agar Abilka diurusi oleh orang lain selain keluarga dekatnya. Berat memang bagiku. Apalagi ditambah dengan omongan orang-orang yang mempertanyakan iman kita sebab Abilka tidak berubah kondisinya menjadi sesuai dengan standar yang ada.

Kondisi yang membuatku terpikir, kerja dunia yang membingungkan ini. Kita harus bekerja, agar bisa menyekolahkan anak, atau membayar orang untuk mengasuh anak, dan orang itu bekerja untuk mengasuh anak orang lain, kalau dia sudah menikah, dan punya anak, dia pun tidak bisa sepenuhnya mengasuh anaknya, sebab dia harus bekerja untuk kebutuhan anaknya, dengan mengasuh anak orang lain. Aku dilema dengan kehidupan seperti ini. Apalagi aku tidak mau mempercayakan adikku dijaga oleh orang lain. Ditambah dengan berita-berita dan kisah-kisah tidak mengenakkan dari anak-anak yang mendapat perlakuan tidak baik dari pengasuhnya semasa kecil, dan itu mempengaruhi psikisnya saat dewasa.

Di masa remaja Abilka, dari usia 15 tahun, Abilka menunjukkan sisi lainnya. Ia sering tidak suka memakai celana. Ia bahkan membuka celana dan bermain di teras tanpa memakai celana. Dan itu membuat alat vitalnya dilihat oleh orang-orang yang lewat di depan rumah. Abilka melakukan itu jika terlepas dari pengawasan. Ini sungguh berat untukku. Aksi Abilka yang seperti itu membuatku stres, bahkan mempertanyakan sikap Tuhan yang membuat semuanya terjadi saat itu. Aksinya pula membuat anak-anak kecil mengatainya dengan kata "gila, anjing, babi". Hingga emosiku meledak-ledak menghadapi kelakuan anak-anak itu.

Pernah pula Abilka berlari ke luar rumah tanpa memakai celana, dan itu sontak membuat kaget orang-orang di sekitar rumah. Saat itu ada saudara sepupuku yang laki-laki, yang tinggal bersama dengan kit. Abilka takut dengan saudaraku yang ini. Abilka kadang tidak patuh kepada orang terdekat seperti aku dan keluarga inti. Berhubung Mikha pun sedang melanjutkan pendidikan di luar daerah, Abilka masih punya rasa takut kepada Mikha. Saudara sepupuku naik pitam dan berlari mengejar Abilka, yang berjalan di jalan tanpa memakai celana. Dia pun menyeret Abilka dari kerak baju, Abilka. Karena dia pun malu dengan tingkah Abilka. Kisah paling kuanggap memilukan hatiku saat diceritakan Ibu.

Ibu yang melihat Abilka diperlakukan begitu merasa hatinya seperti diiris-iris dan disiram cuka. Tetesan air mata membasahi pipi ibu, yang melihat Abilka diperlakukan seperti itu. Semuanya malu dengan tingkah Abilka. Aku yang mendengar kisah ini pun sudah memantapkan hati untuk menata masa depan yang kurancang saat aku kuliah. Ya aku kuliah tidak di luar kota seperti Mikha, kakakku. Aku memilih untuk hidup bersama ayah, ibu dan Abilka. Membantu ayah, ibu, menjaga Abilka. Anak-anak yang memilih hidup di perantauan memang punya kesulitan pada bagian-bagian fasenya, dan merasa hidup bersama orang tua adalah fase nyaman.

Kadangkala memang aku merasa gusar karena teman-teman, dan saudara-saudaraku menganggap aku ini adalah anak-anak yang tidak berani untuk keluar dari zona nyaman, karena memilih kuliah dan tinggal bersama orang tua. Mereka menganggap aku cemen. Padahal mereka tidak pernah tahun "neraka" apa yang aku alami dan rasakan saat hidup bersama orang tua, terutama Abilka. Dengan mudahnya mereka merasa superior dan menghakimi pilihan hidupku yang bahkan mereka tidak mengerti. Minim waktu bermain bersama teman, minim bersosialisasi, karena tetap harus pulang cepat menjaga Abilka. Seperti orang yang sudah punya anak saja.

Dari hal inilah aku ditempa dari dalam keluargaku sendiri. Pandangan orang yang melihat kami adalah keluarga religius tapi kondisi Abilka tidak kunjung normal. Buat apa mencari penerimaan diri di luar sana, tapi kondisi yang sudah ditakdirkan untuk dijalani malah menolaknya. Aku tidak tahu dengan pergaulan teman-temanku dengan orang-orang yang berbeda suku, dan bahasa dengan mereka, mungkin mereka memang merasa superior karena bisa keluar dari zona nyaman, memilih ditempa di tempat di mana mereka tidak pernah tahu kondisinya, dan memilih suasana yang benar-benar baru. Tapi mereka hanya melihat sisi mereka saja, dan orang-orang yang sejenis dengan mereka.

Aku memilih tetap ada bersama Abilka karena aku, ayah, ibu, adalah orang-orang yang dia punya, yang memahaminya dalam hidup. Aku jelas, tidak bisa hidup dari kata orang. Tidak bisa. Mereka tidak tahu, kedalaman hidup yang kualami. Hanya menilai dari permukaan, yang tidak kuizinkan melihat sedalam-dalamnya. Lantas, orang yang nanti pun membuat kita sakit mental, adalah orang yang sudah kita ceritakan kisah hidup kita tapi malah menghakimi segala hal yang kita lakukan, yang mereka sendiri anggap buruk.

Karena kondisi finansial yang tidak sama seperti keluarga teman-temanku yang hidup di perantauan, dan mereka berkecukupan. Aku memilih untuk tidak jauh dari keluarga salah satunya pun karena faktor itu. Berat memang, karena aku punya impian untuk bisa punya banyak relasi dan bermacam-macam relasi. Dan itu sangat ingin kutempuh di luar tempat kelahiranku ini. Masa depanku sudah "diatur" bahkan sebelum aku punya impian. Ya, kelahiran Abilka-lah yang menjadi titik arah masa depanku. Hidupku dan impianku tercipta mungkin karena aku juga punya pilihan. Tapi, "amnesia jiwa" saat kelahiranku di dunia, dan hingga usiaku saat ini, yang membuatku menganggap bahwa aku masih punya pilihan, Abilka tidak.

Padahal sebelum kita ada di dalam tubuh dan bersemayam di rahim ibu, kita yang memilih bagaimana kita menjalani hidup ini. Dulu aku berpikir "Abilka tidak meminta dilahirkan dengan kondisi seperti ini" lantas, itu sangatlah salah.

Asmaraloka

"aku tidak lagi punya alasan untuk tidak mau bertemu dengan orang yang tidak terlalu aku suka untuk ngumpul. hiks..hiks.."

"aku tidak lagi punya alasan untuk tidak ingin ikut kegiatan atau aktivitas yang tidak aku sukai. aku tidak lagi tahu, siapa yang menyayangiku dengan tulus". "Abi.. jangan pergi, aku tidak lagi punya alasan karena aku menjagamu, aku terhindar dari tempat, orang, keadaan yang tidak ingin aku terlibat di dalamnya".

Aku pun terbangun dari tidurku. Abilka meninggal dalam mimpiku. Terasa sangat nyata, aku menangisinya dengan kalimat-kalimat yang kuucapkan di atas. Alam bawah sadarku benar-benar ingin menunjukkan "eksistensinya" melalui mimpi bahwa aku menjadikan Abilka sebagai alasan atas segala hal yang kuhindari. Memang aku sempat berpikir bahwa Abilka ini menyelamatkanku dari hal-hal yang tidak kusukai. Bahkan kadang pun aku tidak bisa menikmati hal-hal yang kusukai karena Abilka harus kujaga.

Sempat aku sangat amat murka pada ibuku, saat aku terlewatkan untuk memandikan dan menyiapkan makanan untuk Abilka. "Lilith, kamu ini sungguh tega, tidak menyayangi adikmu, tidak merawat adikmu, dan dibiarkan tidak mandi dan makan" ucap ibu dengan nada kasar.

Sangat kasar. Aku yang sedang dalam kelelahan, pulang kuliah, membereskan rumah, menjadi amat murka dengan kalimat ibu yang sungguh sangat menyakiti hati dan pikiranku.

Lihat selengkapnya