Aku makin ada di titik di mana, aku tidak ingin menikah, tidak ingin bekerja di tempat yang jauh. Melihat kondisi orang tuaku yang umurnya makin bertambah, kakakku tidak terlalu fasih dalam memahami Abilka, seringnya dia memarahi Abilka dan cenderung tidak sabar dalam mengurusi Abilka. Aku juga tidak ingin agar Abilka diurusi oleh orang lain selain keluarga dekatnya. Berat memang bagiku. Apalagi ditambah dengan omongan orang-orang yang mempertanyakan iman kita sebab Abilka tidak berubah kondisinya menjadi sesuai dengan standar yang ada.
Kondisi yang membuatku terpikir, kerja dunia yang membingungkan ini. Kita harus bekerja, agar bisa menyekolahkan anak, atau membayar orang untuk mengasuh anak, dan orang itu bekerja untuk mengasuh anak orang lain, kalau dia sudah menikah, dan punya anak, dia pun tidak bisa sepenuhnya mengasuh anaknya, sebab dia harus bekerja untuk kebutuhan anaknya, dengan mengasuh anak orang lain. Aku dilema dengan kehidupan seperti ini. Apalagi aku tidak mau mempercayakan adikku dijaga oleh orang lain. Ditambah dengan berita-berita dan kisah-kisah tidak mengenakkan dari anak-anak yang mendapat perlakuan tidak baik dari pengasuhnya semasa kecil, dan itu mempengaruhi psikisnya saat dewasa.
Di masa remaja Abilka, dari usia 15 tahun, Abilka menunjukkan sisi lainnya. Ia sering tidak suka memakai celana. Ia bahkan membuka celana dan bermain di teras tanpa memakai celana. Dan itu membuat alat vitalnya dilihat oleh orang-orang yang lewat di depan rumah. Abilka melakukan itu jika terlepas dari pengawasan. Ini sungguh berat untukku. Aksi Abilka yang seperti itu membuatku stres, bahkan mempertanyakan sikap Tuhan yang membuat semuanya terjadi saat itu. Aksinya pula membuat anak-anak kecil mengatainya dengan kata "gila, anjing, babi". Hingga emosiku meledak-ledak menghadapi kelakuan anak-anak itu.
Pernah pula Abilka berlari ke luar rumah tanpa memakai celana, dan itu sontak membuat kaget orang-orang di sekitar rumah. Saat itu ada saudara sepupuku yang laki-laki, yang tinggal bersama dengan kit. Abilka takut dengan saudaraku yang ini. Abilka kadang tidak patuh kepada orang terdekat seperti aku dan keluarga inti. Berhubung Mikha pun sedang melanjutkan pendidikan di luar daerah, Abilka masih punya rasa takut kepada Mikha. Saudara sepupuku naik pitam dan berlari mengejar Abilka, yang berjalan di jalan tanpa memakai celana. Dia pun menyeret Abilka dari kerak baju, Abilka. Karena dia pun malu dengan tingkah Abilka. Kisah paling kuanggap memilukan hatiku saat diceritakan Ibu.
Ibu yang melihat Abilka diperlakukan begitu merasa hatinya seperti diiris-iris dan disiram cuka. Tetesan air mata membasahi pipi ibu, yang melihat Abilka diperlakukan seperti itu. Semuanya malu dengan tingkah Abilka. Aku yang mendengar kisah ini pun sudah memantapkan hati untuk menata masa depan yang kurancang saat aku kuliah. Ya aku kuliah tidak di luar kota seperti Mikha, kakakku. Aku memilih untuk hidup bersama ayah, ibu dan Abilka. Membantu ayah, ibu, menjaga Abilka. Anak-anak yang memilih hidup di perantauan memang punya kesulitan pada bagian-bagian fasenya, dan merasa hidup bersama orang tua adalah fase nyaman.
Kadangkala memang aku merasa gusar karena teman-teman, dan saudara-saudaraku menganggap aku ini adalah anak-anak yang tidak berani untuk keluar dari zona nyaman, karena memilih kuliah dan tinggal bersama orang tua. Mereka menganggap aku cemen. Padahal mereka tidak pernah tahun "neraka" apa yang aku alami dan rasakan saat hidup bersama orang tua, terutama Abilka. Dengan mudahnya mereka merasa superior dan menghakimi pilihan hidupku yang bahkan mereka tidak mengerti. Minim waktu bermain bersama teman, minim bersosialisasi, karena tetap harus pulang cepat menjaga Abilka. Seperti orang yang sudah punya anak saja.
Dari hal inilah aku ditempa dari dalam keluargaku sendiri. Pandangan orang yang melihat kami adalah keluarga religius tapi kondisi Abilka tidak kunjung normal. Buat apa mencari penerimaan diri di luar sana, tapi kondisi yang sudah ditakdirkan untuk dijalani malah menolaknya. Aku tidak tahu dengan pergaulan teman-temanku dengan orang-orang yang berbeda suku, dan bahasa dengan mereka, mungkin mereka memang merasa superior karena bisa keluar dari zona nyaman, memilih ditempa di tempat di mana mereka tidak pernah tahu kondisinya, dan memilih suasana yang benar-benar baru. Tapi mereka hanya melihat sisi mereka saja, dan orang-orang yang sejenis dengan mereka.
Aku memilih tetap ada bersama Abilka karena aku, ayah, ibu, adalah orang-orang yang dia punya, yang memahaminya dalam hidup. Aku jelas, tidak bisa hidup dari kata orang. Tidak bisa. Mereka tidak tahu, kedalaman hidup yang kualami. Hanya menilai dari permukaan, yang tidak kuizinkan melihat sedalam-dalamnya. Lantas, orang yang nanti pun membuat kita sakit mental, adalah orang yang sudah kita ceritakan kisah hidup kita tapi malah menghakimi segala hal yang kita lakukan, yang mereka sendiri anggap buruk.
Karena kondisi finansial yang tidak sama seperti keluarga teman-temanku yang hidup di perantauan, dan mereka berkecukupan. Aku memilih untuk tidak jauh dari keluarga salah satunya pun karena faktor itu. Berat memang, karena aku punya impian untuk bisa punya banyak relasi dan bermacam-macam relasi. Dan itu sangat ingin kutempuh di luar tempat kelahiranku ini. Masa depanku sudah "diatur" bahkan sebelum aku punya impian. Ya, kelahiran Abilka-lah yang menjadi titik arah masa depanku. Hidupku dan impianku tercipta mungkin karena aku juga punya pilihan. Tapi, "amnesia jiwa" saat kelahiranku di dunia, dan hingga usiaku saat ini, yang membuatku menganggap bahwa aku masih punya pilihan, Abilka tidak.
Padahal sebelum kita ada di dalam tubuh dan bersemayam di rahim ibu, kita yang memilih bagaimana kita menjalani hidup ini. Dulu aku berpikir "Abilka tidak meminta dilahirkan dengan kondisi seperti ini" lantas, itu sangatlah salah.
Asmaraloka
"aku tidak lagi punya alasan untuk tidak mau bertemu dengan orang yang tidak terlalu aku suka untuk ngumpul. hiks..hiks.."
"aku tidak lagi punya alasan untuk tidak ingin ikut kegiatan atau aktivitas yang tidak aku sukai. aku tidak lagi tahu, siapa yang menyayangiku dengan tulus". "Abi.. jangan pergi, aku tidak lagi punya alasan karena aku menjagamu, aku terhindar dari tempat, orang, keadaan yang tidak ingin aku terlibat di dalamnya".
Aku pun terbangun dari tidurku. Abilka meninggal dalam mimpiku. Terasa sangat nyata, aku menangisinya dengan kalimat-kalimat yang kuucapkan di atas. Alam bawah sadarku benar-benar ingin menunjukkan "eksistensinya" melalui mimpi bahwa aku menjadikan Abilka sebagai alasan atas segala hal yang kuhindari. Memang aku sempat berpikir bahwa Abilka ini menyelamatkanku dari hal-hal yang tidak kusukai. Bahkan kadang pun aku tidak bisa menikmati hal-hal yang kusukai karena Abilka harus kujaga.
Sempat aku sangat amat murka pada ibuku, saat aku terlewatkan untuk memandikan dan menyiapkan makanan untuk Abilka. "Lilith, kamu ini sungguh tega, tidak menyayangi adikmu, tidak merawat adikmu, dan dibiarkan tidak mandi dan makan" ucap ibu dengan nada kasar.
Sangat kasar. Aku yang sedang dalam kelelahan, pulang kuliah, membereskan rumah, menjadi amat murka dengan kalimat ibu yang sungguh sangat menyakiti hati dan pikiranku.
"masa muda ibu memang sulit, aku tahu, sangat sulit, tapi setidaknya masa muda ibu, dapat ibu nikmati dengan cukup bebas, tanpa ada hal yang membebani ibu kan. akuuuu... tidak bisa bertemu dengan temanku yang sudah lama kita tidak bertemu. Dia kemarin baru tiba di kota ini, aku bahkan tidak bisa menikmati kesenanganku, bu" ucapku lirih.
"anak kurang ajar!" "beraninya ya kamu membalas ucapan orang tua" ucap ibu dengan nada tinggi. Sejujurnya, aku sangat murka. Aku merelakan melakukan hal yang aku sukai, berorganisasi, bertemu dan bergaul, karena selalu saja ada nada sinis cemburu dari ibu, kalau aku pergi dan itu kadang membuatku merasa bersalah tidak menjaga Abilka.
Terkadang aku berpikir, aku hanya menjalani hidupku dengan tidak mengikuti arah yang salah, dan menjalani hidup yang di mana Abilka tidak jalani. Tapi di sisi lain, aku merasa bersalah atas kesenangan yang kulakukan.
Aku takut pergi meninggalkan Abilka tanpa diawasi dengan ketat. Abilka sering kencing di depan teras rumah, di siang hari. Memang halaman rumah kita cukup luas, namun tembok pagar yang dibangun tidak begitu tinggi, sehingga orang-orang yang lewat atau yang berdiri di depan rumah, bisa melihat Abilka yang menurunkan celananya dan kencing. Apalagi dia sudah memasuki usia dewasa. Sangat memalukan bagiku. Kalau dilakukan tanpa adanya pengawasan. Ayah dan Ibu yang menjaga Abilka pun sering membiarakan Abilka melakukan hal itu. Aku yang sering menegor tapi Ayah dan Ibu tidak mempermasalahkan tingkah Abilka.
Bahkan bila sudah diawasi oleh aku pun, dan saat Abilka ada di teras, firasatku cukup tajam kalau dia mau kencing atau BAB di teras. Pernah sudah dibilang bahkan ditarik tangannya pun, Abilka tidak mau kencing di kamar mandi atau toilet, tetap dia mau kencing di depan teras atau samping teras, yang bisa dilihat orang, meski sudah dipagari dengan pagar tembok yang mengelilingi rumah.
Aku sangat dibuat stres dengan kondisi seperti ini. BAB pun dilihat orang. Kotoran yang dia keluarkan dan jatuh dari dalam celana pun dilihat orang. Sungguh sangat menguras perasaanku. Dan membuat langkahku terhenti untuk bisa bekerja di luar daerah. Selalu saja ada hal yang membuatku saat ingin melamar kerja, langkahku terhenti hanya untuk Abilka.
Suatu ketika, aku dijadwalkan untuk memimpin lagu di ibadah minggu di gereja. Bahkan beberapa menit sebelum ibadah mulai, aku pingsan, tak sadarkan diri. Aku mengenal setiap orang yang datang beribadah, dengan pergumulan-pergumulan yang cukup kuketahui. Pada saat itu memang aku dalam keadaan dilema. Aku diterima kerja oleh salah satu perusahaan di luar kota. Impianku terwujud. Tapi aku, merasa aku yang melayani di gereja, tidak Tuhan ubah hidup adikku Abilka. Kalau Abilka berubah, penilaianku sebagai manusia dengan otak yang jelas berbeda dengan maksud Tuhan, pastinya keadaanku berubah. Aku bisa melakukan hal yang sempat tertunda. Tapi, aku memilih tidak bisa jauh dari Abilka.
Usia orang tua makin bertambah, aku pun juga. Tapi aku menuju proses kedewasaan yang matang dan prima. Sedangkan orang tua secara fisik makin menurun staminanya. Abilka pun makin bertambah usia, malah makin kuat tenaganya. Bagaimana aku bisa menjadi contoh mujizat Tuhan padahal aku aktif dalam pelayanan. Bagaimana aku bisa menguatkan orang lain dengan pengharapan-pengharapan mereka, kalau aku sendiri mempertanyakan kuasa Tuhan. Bertahun-tahun lalu, pertanyaan-pertanyaan itu bergulir dalam pikiranku.
Apa aku terlalu memikirkan apa yang sesamaku pikirkan? Tapi ada juga orang yang menaikkan doa yang sama, punya iman dan kepercayaan yang sama denganku, tapi keadaan mereka membaik. Apa Tuhan pilih kasih?
Keadaan Abilka yang seperti inilah yang membuatku berpikir dan merasa bahwa, dengan keadaan ini, melindungiku dari pergaulan yang buruk, mengenal orang yang mungkin bisa menjerumuskanku, dan membuatku nyaman dengan cara hidup yang menyengsarakan dan membuat menderita. Derita yang kuciptakan. Aku kadang tidak bersemangat kalau diajak keluar, atau pergi keluar, jika tidak ada ayah, ibu, dan Mikha yang bisa menjaga Abilka.
Hal ini pun terjadi pada kehidupan asmaraku. Aku tidak tahu siapa pria yang benar-benar tulus padaku, atau hanya mau tubuhku. Aku memang tidak terlalu suka dengan konsep pacaran yang selalu saja harus bertemu. Pertemuan-pertemuan itu yang bisa saja terjadi kontak fisik. Pertemuan yang mungkin minim bertukar pikiran dan mungkin saja dibarengi dengan tukar ludah.
Aku memang tidak suka kalau sering bertemu. Bahasa cintaku adalah "word of affirmation" hehe. Sangat suka dengan obrolan dan diskusi. Dari pada bertemu lalu berkontak fisik. Apalagi pengalaman pernah dilecehkan, membuatku takut kalau pria hanya mau denganku hanya karena aku dengan "sukarela" memberi badanku untuk dinikmati atau bahkan dipaksa agar badanku bisa dinikmati. Aku selalu beralasan kalau diajak ketemu jika aku dan pacar-pacarku dulu yang sekarang sudah menjadi mantan. Aku menjaga Abilka. Aku juga tidak jujur dengan kondisi Abilka dan mengatakan bahwa aku menjaga ponakanku yang masih kecil karena orang tuanya sedang tidak bisa menjaganya.
Jujur, aku memang malu dengan kondisi Abilka. Dan selama aku menjalani masa pacaran bertahun-tahun lalu, tidak pernah satu pun dari mereka yang datang ke rumahku. Rumahku memang jauh dari pusat kota dan jauh juga dari rumah mantan-mantanku dulu. Mereka sepertinya tidak terlalu suka denganku, ya sebab mereka tidak berjuang jika aku menolak untuk bertemu dengan tidak berusaha mendatangi rumahku.
Aku pun memang merasa bahwa energiku yang mungkin memberi penolakan, sehingga mereka pun tidak terlalu mau berjuang untukku. Dan mungkin saja banyak wanita yang ada di dekat mereka yang bisa mereka pacari dan pastinya lebih asik dariku. Aku memang tidak terbuka akan kondisi adikku selama aku berpacaran. Aku tidak ingin dikasihani, dan juga takut ditinggalkan jika mereka tahu yang sebenarnya.
Aku merasa nyaman dengan status berpacaran. Dicintai, diperhatikan oleh orang yang bukan menjadi bagian dalam keluarga memang menyenangkan. Tapi aku menyadari bahwa konsep berpacaran kadang hanya menunjukkan yang baik-baik saja dipermukaan. Keluargalah yang tahu sisi lain kita, tapi belum tentu juga sisi gelap. Kadang hal baik diberikan orang kepada orang yang bukan bagian dari keluarganya. Kamuflase. Memang menyenangkan karena perasaan cinta dapat disalurkan ke orang yang bukan bagian dari keluarga. Ada kelegaan tersendiri. Karena memang ada hal-hal yang dalam porsi tertentu hanya bisa dilakukan untuk keluarga, dan ada hal-hal yang ingin disalurkan kepada orang yang berstatus berpacaran dengan kita.
Kuakui, selama menjalin hubungan asmara, pacar berganti pacar, aku orang yang terkesan sangat cuek. Aku hanya ingin ditanyai kabar, dan jarang menanyakan balik. Aku kurang perhatian. Padahal berpacaran harus lebih sering berkomunikasi, agar saling mengenal. Aku tidak. Aku takut untuk dikenal lebih dalam lagi. Aku pun jarang berbagi kisahku. Saat kelelahan dan ingin rehat setelah mengurus Abilka pun, aku memilih menepi dan beristirahat di kamar. Kadang juga aku menangis, dan tidak ingin membagi kisahku. Aku mengisolasikan diri. Dan aku tidak suka konsep healing dengan pergi berlibur di pantai. Jujur, saja aku pergi ke tempat wisata pun dalam kondisi yang baik bukan rungsing.
Aku pun takut untuk berpacaran sebab, aku takut melakukan hal yang belum waktunya aku lakukan bersama pasanganku, yang nantinya membuat hidupku lebih kacau. Melihat di lingkungan sekitarku yang gaya berpacarannya membuatku ingin melindungi diriku dari aktivitas seksual. Dan kuakui selama berpacaran, aku tidak menyukai untuk lebih sering bertemu.
Aku berusaha untuk tinggal di rumah, masuk ke dalam kamar, dan menetralkan emosi sedih, amarah, stres. Karena menurutku tempat liburan itu tempat di mana pemandangan dan lingkungan yang kunikmati tanpa mengeyampingkan atau "menghilangkan" rasa emosi negatif yang berlebih. Aku harus stabil dan emosi dan kondisiku karena aku bepergian, yang pastinya harus bisa siaga di tempat liburan. Bukan hanya sekedar bersantai. Jadinya, aku tidak ingin berbagi emosi negatif pada orang yang kusayangi. Berbagi apa yang kurasa, sebab aku tidak ingin mempengaruhi mereka untuk merasakan perasaan yang sama denganku.
Maafkan aku kalian-kalian yang menjadi bingung akan sikapku di masa lalu. Karena itulah caraku melindungi kalian dari permasalahan hidup yang sudah lama menjadi bagian hidupku ini. Aku kadang memang tidak tega menggantungkan pria yang mau dekat denganku. Aku menerima mereka, namun aku belum mau untuk mereka bisa masuk terlibat lebih dalam di kehidupanku.
Butuh waktu lama bagiku, bahkan bertahun, untuk bisa menerima dan melayani dengan hati kondisi adikku yang berbeda ini. Aku tidak ingin merepotkan orang yang bukan bagian dari keluargaku untuk menerima tapi dengan paksa, hanya karena mau bersamaku. Aku dan adikku sudah menjadi satu paket. Adikku harus ikut denganku. Dan aku juga tidak ingin memaksa mereka untuk menerima kondisi adikku. Aku memahami, aku tidak mengenal pria yang mau dekat denganku dari lama, dan tiap orang punya masalah hidup dan pergumulan mereka dengan diri dan orang-orang terdekatnya. Aku tidak ingin menambah beban mereka dengan kehadiran adikku. Aku tidak mau memaksakan itu.
Ada sosok yang sampai sekarang memberi bagian kenangan yang indah menurutku. Dia menyanyikan dan memperdengarkan aku dengan lagu yang berjudul "Malaikat Juga Tahu-Dee Lestari". Aku dan dia baru saling mengenal selama seminggu saat itu. Tanpa dia tahu aku punya adik yang digambarkan di video klip lagu ini, dan kisah di balik lagu ini. Aku tidak tahu juga dia memahami lagu ini seperti apa, tapi lagu yang memang kutahu namun tidak tahu ini adalah soundtrack film pendek dari kisah yang tokohnya adalah autis sama seperti adikku. Di jaman dulu saat lagu ini memuncak.
Abilka selalu di tiap hari memberikan kejutan baru, dan juga hal-hal yang biasa dia lakukan dan membuatku lelah. Aku sedang menjalani takdir yang kupilih. Dan tiap-tiap orang dengan takdirnya yang ia pilih, pastikan untuk bisa memahami kondisi hati dan pikiran sebelum bersedia terlibat dan dilibatkan pada takdir orang lain. Karena "jiwa yang amnesia" tidak sepenuhnya amnesia, namun menjalani hidup dengan tarikan energi yang familiar.
Untuk saat ini, aku mengakui, bahwa aku belum bisa memberikan masa depan, kepada orang-orang yang ingin dekat denganku. Bahkan yang pernah menjadi bagian hidupku di masa lalu sudah menjalani takdirnya, menikah, dan tidak lagi mengganggu. Aku bersyukur, aku terlindungi karena Tuhan, dan tidak dipaksa untuk menikahi orang-orang yang pernah menjadi bagian hidupku. Aku bersyukur, batasanku dihargai.
Bahkan, aku saat sudah perlahan membuka diri dan jujur akan keadaan adikku, dan membuatku harus mendampingi dia, aku perlahan dijauhi bahkan ditinggalkan oleh orang-orang yang pernah mau mendekatiku. Aku bersyukur, karena kondisi Abilka melindungiku, dan orang-orang itu tidak ingin memiliki tubuhku atau penasaran menikmatinya. Mereka benar-benar pergi, tanpa kusuruh, tanpa kuminta.
Mereka meninggalkanku, tanpa ada kata putus. Bukan hanya 1 orang. Inilah kisahnya.
Aku berkenalan dengan seorang pria yang berbeda sekolah. Kita berkenalan saat aku bermain di rumah temanku yang bernama Cindy. Saat kelas 1 SMA. Aku dan Cindy sama-sama bersekolah di SMP yang sama. Namun saat SMA, kita berbeda sekolah. Dia memiliki banyak teman laki-laki yang datang bermain di rumahnya. Saat pertama kali kita bertemu, dia yang bernama Abner, langsung mengajakku berkenalan dan meminta nomor handphone-ku. Setelah itu kami pulang tapi naik angkot. Kita beramai-ramai dan saat itu, ada lima orang laki-laki dan satu orang lagi perempuan yang adalah teman Cindy. Tak lama berselang itu, kita berpacaran.
Tempat kita bertemu di gang yang menghubungkan sekolah kita. Bahkan di saat komunikasi kita tidak lancar karena aku tidak membawa HP ke sekolah, dia nekat masuk ke sekolah dan dikejar satpam. Karena aku tidak menjawab SMS dia. Dia selalu menungguku di depan sekolah dengan sepeda motor karena jam kepulangan sekolahnya kadang lebih cepat dari jam kepulanganku. Kadang pun dia membolos dan duduk nongkrong di depan toko lorong yang menghubungkan sekolah kami.
Dia mengajarkanku banyak hal. Abner memang bukan orang yang suka menasehati aku dan mendikte hidupku. Dia menunjukkan hal-hal yang menurutnya baik melalui sikap hidupnya. Dan itu berdampak besar bagi hidupku. Sebenarnya, pacar pertamaku bukan Abner. Aku pertama kali berpacaran pada saat kelas 3 SMP.
Pertama kali berpacaran adalah hal yang cukup menakutkan bagiku. Aku berkenalan pertama kali dengan seorang laki-laki yang saat itu kelas 2 SMP dan aku kelas 3 SMP. Dia beda sekolah denganku. Tapi kita saling berkenalan saat aku menonton pertandingan basket antara sekolahnya dan sekolahku. Saat itu, aku pergi menonton pertandingan final basket dengan teman-temanku. Saat itu, aku hanya ingin melihat pertandingan basket tanpa ada memiliki "misi" lain. Aku hanya menonton sekedar menonton.
Saat pertandingan usai, sekolah dia yang menjuarai pertandingan. Keesokan harinya di sekolah, temanku yang bernama Leo mengatakan bahwa ada anak basket yang ingin berkenalan denganku dan dia dari sekolah yang memenangkan pertandingan melawan sekolah kami. Aku tidak terlalu menghafal wajah-wajah pemainnya. Ya meski mereka pun memang tampan-tampan, dengan tubuh mereka yang tinggi dan atletis. Tapi tidak ada yang membuatku tertarik. Lagipula di sekolah mereka pun cewek-ceweknya cantik-cantik.
Dia bernama Axel. Leo menunjukkan foto. Axel memakai kaos bertuliskan Penta dan bernomor lima. Leo pun memohon supaya nomor HPku diberikan ke Axel, karena dia ingin berkenalan denganku. Aku pun terpaksa memberi izin kepada Leo.
Inilah patah hati terberat pertamaku.
Axel pun menghubungiku melalui pesan singkat (SMS). Di situ Axel meminta untuk menelepon dan ingin mendengar suaraku. Aku ketakutan. Benar-benar gugup. Apalagi ini pengalaman pertamaku berkenalan dengan cowok. Setiap kali dia menelepon, aku mengangkat dan langsung mematikan telepon yang masuk darinya. Iya... aku terlalu gugup. Bahkan saat mengetik cerita ini pun, aku memberi waktu jeda sekitar 1 jam untuk melanjutkannya lagi. Efeknya benar-benar masih tersisa, bahkan sudah sangat lama, dan kita sudah tidak lagi ketemu. Pernah sih kita bertemu tapi aku menghindarinya, karena aku memang sangat gugup.
Dia memohon kepadaku untuk mengangkat teleponnya. Kita pun mengobrol dan dia menanyakan aktivitasku. Tidak lama obrolan kita.
"Mau gak jadi pacarku?" tanya Axel di telepon
"Aduh... (mengetik kisah ini pun aku merasa efek gugup)
"Aku belum bisa jawab sekarang. Nanti ya" jawabku
"Oke. Aku menunggumu". ucap Axel. Suaranya adalah suara transisi wkwk. Ya bagiku itu suara yang tidak terlalu terdengar seperti anak keci, tidak juga terdengar seperti orang dewasa. Pas. Aku berkenalan dengan cowok yang usianya hanya beda berapa bulan saja dariku. Meski aku yang lebih tua darinya.
Axel sangat perhatian. Dia mengirim pesan mengucapkan selamat pagi bahkan di saat aku belum terbangun. Dan kadang menelepon untuk membangunkanku. Sangat manis. Aku pun merasa bagaimana rasanya dicintai oleh orang yang sangat asing bagiku. Dia gigih memberi perhatian padaku, meski status kita belum berpacaran. Kira-kira hampir sebulan. Dia menanyakan aktivitasku tapi aku terlalu gengsi untuk menanyakan balik ke dia.
Axel tetap berjuang. Dan itu membuatku merasa tidak enak, untuk menolaknya. Aku memang menolaknya untuk berpacaran. Tapi dia tetap memberi pesan panjang yang mengatakan dia benar-benar mencintaiku. Kalimat yang membuatku terkejut, sebab dikatakan oleh orang yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Aku merasa aneh dengan perasaannya padaku. Mengapa dia menyukaiku yang bahkan aku tidak menyadari bahwa dia memperhatikanku pada saat pertandingan basket. Aku tidak merasa ada tatapan dari dirinya kepadaku. Apa yang dia sukai dariku?. Aku bahkan tidak lebih cantik dari teman-teman atau anak-anak di sekolahnya dia.
Bahkan teman-temanku yang juga ikut menonton pertandingan basket, malah lebih cantik dariku. Mengapa dia sukanya aku?. Aku merasa ada yang aneh. Apa maksudnya cewek yang lain tapi Leo salah paham gitu?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di pikiranku. Aku merasa terlalu muda untuk berpacaran di usiaku yang menginjak 13 tahun. Aku tidak seberani teman-temanku, saat berpacaran. Aku merasa tidak pantas menjadi pacar seorang atlit basket yang dikenal banyak orang. Benar-benar belum siap. Tapi Axel yang lebih muda dariku, malah berani untuk mendekatiku.
Pada akhirnya, kita pun resmi berpacaran, setelah sebulan lamanya, dia menunggu jawaban dariku. Aku memang menerimanya bukan karena aku merasa tidak enak, namun aku merasa punya pengalaman baru yang begitu membahagiakan. Begini ya rasanya punya pacar. Diperhatiin, meski kita masih sama-sama muda. Dia sangat romantis dalam kata-kata yang dia kirimkan padaku.
Dia sering menungguku di depan sekolah dan kita berjalan di jalan yang sama meski alamat dan angkot yang kita tumpangi berbeda. Masa-masa di mana kita berpacaran tidak memikirkan faktor finansial. Ya pastinya, kita masih dibiayai oleh orang tua kita masing-masing. Dia suka memberiku judul-judul lagu yang liriknya, menggambarkan perasaannya padaku. Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta dengan Axel. Meski aku merasa agak insecure karena aku merasa seperti tidak pantas untuknya.
Axel pun memintaku untuk bertukar HP beserta isi-isinya. Dia tidak mau dalam hubungan kita ada saling sembunyi. Kita harus benar-benar jujur satu sama lain. Aku agak takut bertukar HP dengannya, sebab aku takut ketahuan sama Ayah dan Ibu, dan Saudaraku, Mikha. Kalau aku berpacaran dan bertukar HP dengan pacarku. Ayah dan Ibu akan sangat marah kalau tahu aku berpacaran apalagi sampai bertukar HP. Aku pun menurut untuk bertukar, sebab Axel menitipkan HP-nya di Leo yang tinggal berdekatan dengan Axel. Aku pun tidak mampu menolak tawaran Axel. Dulu belum disebut "bucin". Entahlah. Aku pun menitipkan HPku di Leo. Karena saat itu, kita tidak bisa bertemu untuk bertukar HP. Kita beda jalur masuk. Axel masuk sekolah di siang hari, aku masuknya di pagi hari. Dan Axel pergi ke sekolah lebih awal dari waktu kepulanganku dari sekolah.
Kira-kira seminggu lamanya, kita bertukar HP. Dan aku mengambil HP Ayah, Ibu, dan Mikha, untuk mengganti nomor HPku dengan nomor HP Axel. Agar tidak dicurigai bahwa aku bertukar HP dengan Axel. Sampai saat ini, mereka tidak pernah tahu kalau aku bertukar HP dengan Axel.
Begitu terkejutnya aku, karena ada 2 cewek yang ia dekati selain aku. Mereka menghubungi Axel seperti mereka berpacaran dengan Axel. Di memori HPnya pun aku melihat foto-foto Axel dan keluarganya. Dan di situlah "awal" aku mengenal keluarga Axel. Dia memiliki Kakak Laki-Laki dan Kakak Perempuan. Dia anak bungsu.
"Siapa nih Lisa. Dia SMS pakai kata "sayang", eh kamu pacaran juga sama dia? tanyaku menelepon Axel.
"Mereka yang mendekatiku, aku tidak mau ada yang ditutup-tutupi antara kita". jawab Axel.
"Lalu, ini Angel, siapa dia? Dia juga bilang "sayang" ke kamu". tanyaku lagi.
"Iya, dia juga sama dengan Lisa. Suka sama aku".
"Aku cuma milik kamu, aku cinta kamu selamanya, Lilith".
Aku tak berdaya mendengar kalimat-kalimat manis Axel. Aku pun mempercayainya. Lagipula sudah senekat ini, kita bertukar HP beserta isi yang ada di dalamnya dan tidak ada yang perlu ditutupi di antara kita. Aku merasa yakin akan hubunganku dengan Axel.
Aku tidak merasa takut dihubungi oleh cowok lain. Karena pacarku hanya Axel. Dan jika ada pesan yang masuk di nomorku, Axel akan meneruskannya dan aku mengetik balasannya dan itu diteruskan oleh Axel di nomorku. Begitupun kalau ada pesan bagi Axel yang masuk. Aku merasa istimewa saat dia menyimpan fotoku di folder memori HPnya dan diberi nama "family" dan di situ ada Ayah, Ibu, Kakak-kakaknya dan juga saudara sepupunya. Aaaa....
Dia adalah pacar pertamaku, yang memberi kesan mendalam dan membekas hingga saat ini. Meski kita saat itu memang masih sangat muda untuk menjalin hubungan asmara. Aku hanya menikmati jalannya hubungan kita, tanpa punya rencana ke depan bersama Axel. Ya apa yang harus kita pikirkan untuk bisa lebih serius lagi dalam hubungan? Perjalanan kita masih sangat panjang. Bersyukur kita saling mengenal dan bisa berbagi cerita satu sama lain.
Dan aku merayakan natal pertamaku bersama Axel. Mengesankan bagiku di masa remajaku, aku mengenal pria yang begitu romantis dalam kata-kata. Dan memang hingga saat ini, aku belum menemukan sosok pria seperti Axel. Terlalu banyak kata-kata indah dia bagiku dan bahkan dia memberiku judul lagu yang liriknya menggambarkan perasaannya kepadaku. Sangat manis. Dia bahkan memperkenalkanku kepada kakak-kakaknya.
"Merry christmas my baby", ucap Axel melalui telepon.
Aku sangat gugup mendengar ucapannya.
"Merry christmas too, beb", balasku.
"Aku mau ngomong sama kamu". ucap Axel
"Soal apa say?" tanyaku
"Kamu tuh selalu cuek sama aku. Kalau aku tanya lagi ngapain, kamu jawab, tapi gak pernah mau tanyakan balik ke aku. Selalu aku yang duluan hubungi kamu. Kamu terlalu cuek Li".
Aku terdiam mendengar keluhan Axel terhadap sikapku yang memang sangat cuek. Aku agak sungkan, karena baru pernah berpacaran, dan takut ketahuan sama orang tuaku. Aku memang tidak sepenuhnya jujur kepada dia soal kesibukanku mengurus adikku. Aku memang kadang kelelahan, dan sering menangis. Aku tidak mau dia mengetahui kondisi adikku. Aku takut ditinggalkan dan diputuskan olehnya. Dan memang karena hal ini, aku enggan memberikan perhatian lebih ke dia.
Suatu saat, saudara sepupuku mau datang ke rumah dan bertemu dengan Ibuku. Saudara yang sudah lama, tidak bertemu. Dan dia menghubungiku lewat nomor yang saat itu Axel memakainya. Dan Axel pun menceritakan kisah di mana kakaku Rizal menghubungi aku. Saat Axel mengangkat telepon yang nomornya tidak ada namanya, karena memang aku tidak menyimpan nomornya Kak Rizal. Saat kak Rizal memperkenalkan dirinya, dan mengatakan mau bertemu dengan Ibuku, Axel pun menjawab salah sambung, "ini bukan Lilith". Sontak Kakaku kaget. Kakak sepupuku itu mendapat nomorku dari anaknya yang adalah ponakanku yang memang kita saling berkomunikasi. Hal ini pun diceritakan ponakanku, bahwa ia tidak mungkin salah memberikan nomorku karena itu adalah nomor yang benar-benar jelas bahwa kita saling berkomunikasi.
Kakaku Rizal pun dan kakek dari Ibuku datang ke rumah. Tanpa aku tahu, Kak Rizal sudah menghubungiku di nomor yang sedang dipakai Axel.
"Permisi. Lilit, Tante Okta"
"Sebentar! teriakku dari dalam rumah
"Eh kak Rizal, eh Kakek", saat berjalan ke teras rumah dan pintu rumahku tidak tertutup, aku terkejut dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.
"Eh sebentar ya aku panggil Ibu".
"Kakak sudah hubungi kamu, kakak minta nomormu dari Jesica, tapi yang angkat kok suara laki-laki? Jesica bilangnya itu benar nomormu".
Saat itu aku sangat terkejut dan agak ketakutan, jangan sampai diketahui Ibu. Tiba-tiba Ibu datang menuju teras rumah.
"Eh Zal, Eh Bapak? Ya ampun kok datangnya tidak bilang dulu. Supaya kita siapin apa gitu" ucap Ibu.
"Ini aku sudah hubungi Lili, eh tapi katanya salah sambung dan yang ngangkat telepon itu suara laki-laki" jawab Kak Rizal.
Di saat aku sedang memutar otak mencari jawaban kilat. Di situ kakekku "membelaku".
"Ya sudah biasa seperti itu kan, telekomunikasi kita. Nomornya sudah benar eh salah sambung. Soalnya Bapak pernah begitu", jawab Kakek Niko.
"Nah itu kakek, salah sambung tuh Kak Riz. "timpalku menguatkan apa yang kakek katakan.
"Tapi aku sudah minta loh nomormu dari Jesica, disuruh ngulang tiap angkanya, tapi kok salah sambung terus". ucap Kak Rizal bingung.
Namun di tengah kebingungan itu, kakek mengalihkan ke pembahasan lain terkait maksud kedatangan kakek.
Aku pun terselamatkan. hahaha....!
Karena aku dan ponakanku hanya beda setahun, lalu kita di sekolah yang sama waktu itu, ponakanku pun datang menemuiku.
"Tante ngaku, tante pacaran sama Axel kan?" tanya Jesica dengan nada mengintrogasi.
"Eh siapa yang bilang?" jawabku agak takut.
"Temannya Axel, sekelas sama aku, teman baiknya pula. Dibilang sama dia kalau Tante pacaran sama Axel. Jangan-jangan, waktu Papi hubungi Tante, Tante tukeran nomor lagi sama Axel. Ngaku Tante!". Desak Jesica.
"Aduh!" Ya udah gak usah bilang ke Nenek. (Jesica memanggil Ibuku dengan sebutan nenek).
"Nah tuh kan. Dugaanku!
Bel masuk pun berbunyi dan aku pun lega karena tidak lagi melanjutkan obrolan dengan Jesica. Dan memang kuharap hal ini tidak sampai di telinga Ibu dan Ayah. Selama seminggu, tukeran HP berlangsung dan tidak ada kecurigaan dari Ayah dan Ibu.
Akibat kelelahanku yang tiap kali pulang sekolah, tidak langsung tidur tapi kadang membantu Ibu menyuapi Abilka, sebab Abilka memang tidak selalu ingin makan sendiri meski dia bisa. Kadang pun memandikan Abilka yang buang air di celana. Aku tidak pernah menceritakan aktivitasku yang ini kepada Axel. Aku terlalu malu memang untuk mengakui kondisi Abilka, adikku ini. Axel tetap sabar memberi perhatian kepadaku.
Kadang aku tidak ingin ditelepon oleh Axel karena aku menangis meratapi nasibku yang entah sampai kapan aku hidup seperti ini dengan Abilka. Aku tidak ingin Axel mendengar getaran suara tangisanku. Dan aku saking kelelahan menangis, aku pun tertidur dan tidak menanyakan kabar Axel. Aku merasa, aku terlalu tidak pantas untuknya. Dia memberiku sesuatu yang membuatku merasa istimewa. Cintanya yang membuatku merasa istimewa. Aku, cewek yang biasa saja. Entah apa yang membuat Axel suka denganku. Apa hanya untuk menantang dirinya bisa menaklukan banyak cewek? entahlah hanya Axel yang tahu.
Tiba-tiba sosok yang pernah kuceritakan sebelumnya memperdengarkanku lagu yang berjudul "Malaikat Juga Tahu" saat kita bertemu. Lagu ini memang sudah diberitahu oleh dia sebelumnya saat dia melakukan pendekatan denganku dan aku belum mau menjadi pacarnya. Ya dia itu Axel. Aku sama sekali tidak tahu lagu ini dari soundtrack suatu film pendek karya Dewi "Dee" Lestari. Axel menganggap perasaannya sama seperti lirik lagu itu. Aku mendengarnya dari Axel dan belum tahu juga video klip lagu itu. Setelah kita putus barulah aku tahu video klipnya dan tahu cerita di balik terciptanya lagu itu dari sebuah film Rectoverso, yang kurang lebih mirip dengan kisahku dan Abilka, tapi bedanya aku dan Abilka adalah adik-kakak kandung. Sampai waktu kita putus pun, Axel tidak tahu kondisi adikku.
Saat aku ada di titik, bahwa aku tidak merasa pantas untuk Axel, aku pun memutuskannya via SMS.