Melelahkan hidup tapi selalu didikte orang. Orang yang sudah mengenal dari lama. Kurang berdoalah, terlalu banyak buat dosalah. Berat memang hidup di tengah pengalaman kalau Ibu yang adalah seorang pelayan rohani, dan mendoakan orang dan orang yang didoakan bisa sembuh dari penyakitnya, tapi anaknya sendiri tidak kunjung bisa normal. Orang yang hanya mendikte adalah orang yang tidak mengalami sama seperti apa yang kita alami. Abilka dengan kondisi demikian sudah merasa “dihukum”, jangan lagi ada ejekan, hinaan, dari orang yang benar-benar tahu bagaimana keadaan Abilka.
Bertahun-tahun aku mencoba mencari cara, bagaimana supaya Abilka bisa normal. Aku dulunya percaya, dengan mengonsumsi obat yang didapat dari dokter yang berpraktek di luar daerah tempat tinggal kami, dan sudah menangani banyak pasien anak autis, bisa membuat Abilka dapat berbicara. Ada pula kata-kata dari orang terdekat yang mengatakan bahwa di usia 13 tahun atau 17 tahun, nantinya Abilka ada di fase keadaan yang bisa membaik dan bisa berbicara. Ada pula yang terus mendoakan agar Abilka bisa sembuh. Sudah kulakukan bersama ayah dan ibu, mengenai cara yang dibilang orang-orang, seperti doa puasa, mengatur menu makan.
Cara yang tetap saja tidak mengubah kondisi Abilka. Kita tidak menyadari, kita dululah yang harus mengubah hati, perasaan, pemikiran, dengan kondisi Abilka yang demikian. Bukan menjalani pola hidup agar dikasihani Tuhan dan mengubah kondisi Abilka. Aku pun tidak tahu misal pergumulan hidup seperti apa yang kurasakan jika kondisi Abilka adalah anak normal. Akan selalu ada masalah, pergumulan, yang menjadikan kita memandang hidup ini, sesuai dengan segala hal yang kita lampaui dan tidak mudah menghakimi orang. Menghakimi orang, menasehati orang sama saja kita sedang menasehati diri kita sendiri. Orang yang dengan mudahnya menghakimi orang, atau menasehati orang, dia sudah lebih dulu mengalami atau sedang mengalami, dan bisa saja dirinya juga seperti itu. Tidak mungkin kita bisa mendikte orang kalau diri sendiri tidak sama dengan orang yang didikte.
Beberapa buku yang membahas tentang autism sudah kubaca, dan rubrik psikiater yang menangani anak autis juga sudah kubaca. Namun tetap saja penanganannya berbeda. Dalam artian sindrom autis yang Abilka idap, berbeda dengan anak autis lain meski sama-sama didiagnosa autis. Ada anak autis yang bisa berbicara, tapi sulit fokus. Abilka tidak bisa berbicara sama sekali. Cara penanganan pun agak berbeda. Dan cukup buatku dan keluarga yang minim informasi ini, tidak mengetahuinya.
Keluarga inti dari sisi ayah dan ibu, enggan mengajak Abilka untuk jalan-jalan ya, begitulah Abilka tidak diterima, karena merepotkan, dan aksinya membuat malu. Ada paman yang cukup jauh hubungan kekerabatannya, malah yang sering membawa Abilka jalan-jalan ke pantai. Padahal beliau pun di waktu datang dan tinggal di rumah, tujuannya untuk masuk tes kepolisian. Ya, meski beliau pun tidak lolos. Beliau saat itu yang belum bekerja, tapi dengan kondisi keuangan yang terbatas, masih mau mengajak Abilka jalan-jalan. Berlayar dengan perahu, naik kapal-ferry, ke pantai. Abilka sangat suka jalan-jalan, dan pamanku yang bukan paman dekat ini, yang lebih memahami. Maklum, pamanku yang lebih dekat sudah pada menikah dan sudah berumah tangga.
Dan pada akhirnya, paman yang sering mengajak Abilka, pun memiliki pekerjaan sebagai satpam atau security di sebuah bank swasta, dan beliau pun menikah. Waktu bersama Abilka pun tidak lagi dapat disempatkan. Bekerja dan memiliki keluarga. Itulah kenyataan hidup, yang membuatku mengerti bahwa Abilka hanya punya ayah, ibu, dan kakak-kakaknya.
Lapisan diriku membuatku ingin ada dalam persekutuan kerohanian untuk didoakan, dan aku bersyukur karena kita bisa saling mendoakan dan menguatkan. Namun belum tentu bisa saling memahami dalam keadaan hidup. Aku kerap kali didikte, kalau berbagi kisah bagaimana tingkah Abilka yang membuatku cukup merasa derita. Kuliahku kadang tidak membuatku fokus, sebab dia ingin meminta ditemani dari malam hingga pagi atau begadang bersama dengan dia. Dan dia tidak mau di dalam kamar, dia maunya di teras rumah. Dan waktu istirahatku sangat amat terganggu. Berbeda dengan pasutri yang ada di persekutuan kerohanian yang punya anak normal, dan punya banyak kerabat yang bisa membantu menjaga anaknya, sementara pasutri itu bisa bekerja dengan tenang. Mereka pun mengganggapku tidak tegas dengan Abilka. Sungguh aku lama-kelamaan pun tidak betah. Dan di lingkungan sekitarku pun jarang ada yang punya kerabat yang kondisinya sama seperti Abilka.
Berat memang, apalagi Abilka tidak ingin ditemani oleh orang selain keluarga dekatnya, bahkan sepupu-sepupu pun membuat Abilka takut. Pastinya, aku tidak bisa sepenuhnya berharap ke orang lain untuk menjaga Abilka. Keinginannya sangat kuat kalau ingin melakukan sesuatu yang melibatkan aku dan keluarga inti lainnya.
Jujur aku sampai sekarang meski sudah menerima kondisi Abilka, aku masih takut untuk jalan-jalan dengan dia. Maksudku, aku agak tidak percaya kalau Abilka diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuaku. Sebab Abilka kadang terlepas dari pengawasan orang tua dan berlari kian ke sana- ke mari. Apalagi kalau tiba-tiba dia tantrum, dan itu mengganggu orang sekitar. Aku cukup trauma memang, saat perjalanan naik pesawat bersama Abilka dan itu membuatku cukup trauma. Apalagi waktu BAB yang tidak menentu. Aku sangat khawatir kalau bisa saja dia tiba-tiba BAB di jalan. Meski belum pernah terjadi saat kita ke pantai, dan berjalan-jalan seharian. Tapi saat sampai di rumah, barulah dia BAB. Bukan di closet toilet pastinya.
--------
Karena pengalaman-pengalaman dianggap aneh oleh lingkungan di mana aku berada, aku agak malas untuk mengajak Abilka jalan-jalan. Apalagi di era sekarang yang kalau ada tingkah aneh atau musibah yang tak disengaja dari orang normal pun bisa direkam dan menjadi viral di dunia maya. Aku sebenarnya tidak suka ada energi kasihan dari orang terhadap Abilka dan tidak ingin membuat konten agar dikasihani dan mendapat pundi-pundi dari hasil mengonten tingkah Abilka yang cukup unik. Aku hanya berusaha melindungi Abilka yang sudah merasa “dihukum” karena kondisinya yang beda.
Bersyukur memang, di era saat ini, sosial media bisa menjadi media yang meski banyak diberitakan negatif, karena penggunaan yang tidak bijak. Tapi aku bisa bertemu dengan banyak orang yang mengiringi perjalanan pergumulanku ini. Salah satunya, aku pernah mendapati status di salah satu platform sosial media yang paling terkenal, yang penggunanya, sangat tidak suka mendapati anak berkebutuhan khusus dan tantrum di tempat umum. Memang ini yang aku takutkan karena mengganggu orang sekitar. Dan ditanggapi oleh salah satu pengguna yang akunnya aku ikuti. Dan di komentar itu, beliau sangat mendukung dan mewakili apa yang aku pikirkan. (hasil tangkapan layarnya tidak lagi ada, padahal pernah kusimpan). Bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus pun tidak mau kejadian anak tantrum di ruang publik terjadi, maka perlunya ada simpati dan empati tanpa penghakiman.
Aku pun mendapati kisah-kisah orang yang sama denganku, dan berani menceritakan kisah mereka dan itu menguatkanku. Tak kenal tapi sayang. Karena punya kesamaan kisah. Kakak yang punya adik dengan kondisi demikian, namun syukurnya, adiknya bisa berbicara dan bisa beraktivitas seperti orang normal. Tapi tidak dengan adikku. Ya perlahan punya paguyuban keluarga yang punya anak istimewa di hidupnya.
---------
Suatu ketika di tahun 2018, kedua telingaku muncul cairan yang belum pernah sebelumnya muncul. Akibat penggunaan anting atau giwang berbahan logam mulia emas. Sebelumnya memang belum pernah kupakai. Aku tidak tahan dengan rasa gatal maka kulepas. Anting ini adalah pemberian ibu, yang membelikannya kepadaku untuk kupakai pastinya. Maka muncul cairan yang membuatku merasakan gatal, dan cairan itu mengering di telinga, dan seperti koreng. Ya aku kena eksim. Sudah kuberobat ke dokter kulit, dikasih resep obat dan salep, dan sudah kupakai pun tidak kunjung sembuh. Sampai aku mengambil waktu untuk doa puasa, meminta kesembuhan pun tidak membaik (aku tidak meragukan kuasa Tuhan). Sudah kuatur pola makanku yang mungkin memicu eksim itu muncul pun tidak membaik. Tidak lagi minum teh manis, atau minuman-minuman manis. Aku pun merasa selama sebelum kena eksim pun gaya hidupku biasa saja. Paling begadang untuk mengerjakan tugas akhir kuliah saat itu.
Dan memang saat aku mencari di internet pun penyebabnya karena penggunaan bahan yang tidak cocok dipakai di kulit. Dokter pun hanya memberi salep dan obat tanpa mencari akar permasalahan mengapa eksimku muncul. Dan tidak sembuh. Sudah memakai beragam salep yang direkomendasikan pun tidak membaik. Ya memang belum semua salep yang kucoba. Tapi aku sudah di titik berdamai dan tidak lagi mengandalkan obat-obatan dari luar untuk menyembuhkan eksimku.
Suatu ketika di akhir tahun 2020, aku memutuskan untuk mengikuti akun-akun di sosial media, yang bisa membantuku, dan menjadi pemantik kebijaksanaan dalam diriku. Ada salah satu psikolog yang juga praktisi hipnoterapi dihadirkan sebagai pembicara di salah satu akun yang terkenal dan banyak pengikutnya, dan aku pun termasuk pengikut dari akun itu. Psikolog ini seperti membuka portal baru untukku menyelami segala hal yang membuatku terjeder.
Aku pun tertarik dengan profil psikolog tersebut yang menjelaskan profilnya di akun itu. Dan mengikuti akun psikolog cantik ini. Kata hipnoterapi pun saat itu, aku baru mengetahuinya. Aku mengakui memang, setiap orang yang bermisi untuk menjadi penyembuh dengan niat tulus tapi memicu banyak orang, harus menampilkan diri mereka. Salah satunya melalui akun yang pembahasannya awalnya kalimat-kalimat humoris dan memicu banyak pengikut. Mereka para hipnoterapis yang dikenalkan di akun itu sangat amat membantuku, dan membuka portal sisi lainku yang kuanggap remeh.
Dan itu membuatku memulai perjalananku, mengikuti akun-akun sosial media yang membangkitkan sisi spiritualku, mengkorek sisi gelapku yang kuabaikan. Dan membuatku merangkulnya, menerimanya, mengakuinya. Bukan dengan aktivitas keagamaan yang mengharuskan diri menjadi pribadi yang baik, bersinar, membawa terang, dan mematikan segala hal yang menjadi sisi gelap itu. Kalimatku ini memang sangat saja bisa memicu perdebatan.
"memang kamu tidak mempercayai kuasa Tuhan yang bisa mengubahkan orang?"
"Kamu itu sudah sesat! Meragukan kuasa Tuhan!"
Aku akui memang pernah meragukan keadilan Tuhan. Bukan berarti meragukan kuasa Tuhan. Sebab aku sudah paham bagaimana rasanya mengasihi sampai menggerus kenyamananku. Sampai sekarang pun aku masih belajar, dan memang sering mengeluh.
Misalnya saja, aku sedang mau fokus untuk menyelesaikan kisahku ini, malah aku harus mengurusi tokoh utamanya yaitu Abilka, yang tiba-tiba BAB, memandikan, menyajikan makanan untuknya. Ditambah lagi kalau dia memintaku untuk begadang dengannya apalagi aku esoknya harus kerja.
Setelah tahu apa itu hipnoterapi dari psikolog cantik itu, aku mengikuti banyak akun, yang sering beliau repost tulisannya di sosmed milik beliau. Dan saat itu, aku belum bekerja, dan pastinya belum memiliki penghasilan sendiri, masih pula tinggal bersama orang tua. Aku melihat tarif harga dari satu kali sesi hipnoterapi itu sangat mahal bagiku yang belum memiliki penghasilan. Ya aku berusaha untuk bisa menyembuhkan diriku dengan bantuan dari orang lain yang mempelajari praktek demikian. Apalagi ditambah dengan diclaimer bahwa ada yang mengikuti berulang kali baru perlahan bisa tahu akar masalah dari pola berulang pasien hipnoterapi. Makin rendah harapanku untuk bisa mengikuti sesi ini.
Dengan uang hasil pelayanan di gereja, aku tabung. Namun aku hanya mampu untuk membeli kelas yang harganya sangat terjangkau sesuai dengan tabungan yang kusisihkan. Memang aku tidak langsung mengikuti sesi hipnoterapi, tapi adanya modul yang beliau jual dengan harga terjangkau, dan aku tidak sabaran juga, maka akan membeli. Di modul itu pun ada sound untuk meditasi juga.
Di modul itu memang berisi pertanyaan-pertanyaan yang di mana aku memulai perjalanan membenah batinku yang bahkan tak terpikirkan olehku sendiri. Aku seringnya denial, dan mengabaikan bahwa aku punya sisi gelapnya. Aku tidak mengakui sisi itu. Melelahkan dan agak menyakitkan mengupas lapisan pertama yang bagiku sangat tebal. Tapi kegelapan itu perlu diurai. Tentu saja harus berkontemplasi, sendiri, dan tidak meminta nasehat atau pendapat dari orang sekitar bagaimana diriku. Benar-benar, harus aku, saya, dan diriku, yang mengurai kedalaman batinku. Batinku kuurai, sakit fisikku yang ditunjukkan oleh eksim, belum tersembuhkan. Aku pun tidak terpikir
Mengurainya, denga tidak mendikte diri sesuai dengan dogma atau doktrin. Benar-benar aku yang tahu siapa aku, tapi aku pun harus mengakui sisi burukku. Apalagi aku juga cukup muak dengan penilaian orang yang tidak benar terhadapku dan adikku. Karena hal itu pun kadang, aku senang jika ada orang yang menceritakan keburukkan orang lain dan tidak menyukai orang lain, dengan begitu aku lega ternyata orang lain juga punya sisi buruk mau sebaik apapun orang itu. Tapi lama-kelamaan setelah makin berbenah batin, aku tidak suka konsep itu, menceritakan keburukan orang.
Selain itu karena aku sudah membeli modul, aku juga dikirim tautan untuk mengikuti kelas online tidak berbayar dari beliau juga. Ya sambil berbenah-benah batin dululah pahamku, karena mungkin saat itu aku belum diizinkan oleh Sang Maha Pencipta untuk mengikuti sesi hipnoterapi. Dan itu aku memulai perjalananku di akhir tahun 2020.
Agustus
Aku mengikuti akun sosial media, salah satu hipnoterapis wanita yang adalah lulusan kedokteran gigi. Akunnya juga aku ikuti hasil repost postingan beliau dari psikolog cantik itu. Beliau sudah menikah. Beliau menceritakan pengalaman beliau, bahwa hidupnya juga makin berbenah. Beliau pun mengakui bahwa beliau ini adalah pasien hipnoterapis, dari psikolog cantik itu. Beliau menceritakan, kegelapan-kegelapan dalam diri beliau yang dikorek saat sesi hipnoterapi bersama psikolog cantik itu.
Aku pun tertarik dan memberanikan diri untuk menghubungi kontak beliau dan menanyakan tarif hipnoterapi beliau. Harganya sama dengan psikolog cantik itu. Pikirku harganya agak terjangkau. Tapi ya sudahlah, masih belum waktunya.
Suatu saat beliau dengan hatinya yang welas asih, beliau memberikan give away bagi dua orang pengikut akun sosial medianya untuk mendapatkan sesi gratis hipnoterapis bersama beliau secara online. Berhubung, aku yang berkediaman sangat jauh, dan pastinya terbatas biaya, aku tidak bisa pergi ke daerah beliau dong. Maka dengan kecanggihan sosial medialah, aku ditolong sangat. Ya dunia maya itu bisa menjadi candu yang merusak tapi belum tentu semua penggunanya tidak bijak.
Beliau memberikan give away, karena di bulan Agustus adalah bulan di mana beliau lahir. Dan memberikan sesi gratis bagi pengikut sosial media beliau yang terkendala biaya untuk bisa mengikuti sesi hipnoterapi. Beliau juga mengatakan, beliau pernah ada di sisi gelap dalam hidup namun beliau berhasil memutuskan untuk menyembuhkannya, hanya saja beliau didukung dengan kecukupan biaya. Tapi, ada orang yang sudah bertekad untuk mengikuti hanya saja belum terpenuhi langkahnya karena biaya.
Aku pun memahami, bahwa beliau tidak bisa memberikan sesi gratis bagi semua orang. Ini adalah mata pencaharian beliau dan beliau pun mengeluarkan biaya untuk mengikuti kelas sebagai seorang hipnoterapis yang tersertifikasi dan pastinya biayanya tidak murah. Syarat mengikuti give away ini adalah, menceritakan alasan apa yang membuatku bertekad mengikuti sesi hipnoterapis beliau.
Kuceritakanlah alasanku kolom salah satu aplikasi anonim yang bisa tersambung dengan akun sosial media lain. Cukup panjang memang. Aku merasa hidupku tidak bisa berkembang karena aku merasa bertanggung jawab untuk menjaga Abilka. Adikku yang autis ini. Dan aku perlu untuk membenahi batinku dengan mengikuti sesi hipnoterapi yang diberikan secara gratis ini. Aku mau mengorek akar masalah yang terpendam di alam bawah sadar dan minta untuk diakui.