Sejak aku SMP, aku sudah bertekad untuk bisa menempuh pendidikan perguruan tinggi di luar daerah. Aku ingin punya pengalaman hidup di luar dari yang biasanya kulakukan di tempat kelahiranku. Dan pastinya, aku ingin melarikan diri dari beban untuk menjaga Abilka. Aku ingin fokus untuk masa depanku, tanpa harus diganggu dan terganggu dengan keberadaan Abilka.
Aku berusaha untuk bisa menempuh pendidikan di luar daerah dan pastinya memiliki kehidupan yang tidak ada Abilka-nya. Setelah kuliah pun, aku berencana untuk bekerja dan menetap di luar daerah dan tidak ingin kembali ke daerah asal. Benar-benar ingin menetap di luar daerah.
Aku ingin dikenal tanpa merasa terbebani punya adik Abilka. Aku ingin bergaul, jalan-jalan dengan teman, tanpa harus memikirkan untuk cepat pulang sebab sudah ditelepon Ayah/Ibu untuk menjaga Abilka, selagi mereka sedang mau keluar, dan tidak ada orang di rumah. Aku merasa benar-benar masa remajaku hanya kurasa di sekolah. Untuk bergaul dengan teman di luar jam sekolah pun agak sulit.
Sayangnya...
Aku gagal dalam ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Biaya kuliah di kampus swasta pun cukup mahal. Dan biaya untuk tinggal di luar daerah pun nantinya akan sangat besar. Sedangkan ayah dan ibu, memiliki penghasilan yang tidak begitu banyak. Lagipula kakakku Mikha juga sudah menempuh pendidikan di luar daerah lebih dulu. Akan sangat besar biayanya jika ditambah aku yang juga menempuh pendidikan di luar daerah.
Impianku untuk bisa "kabur" dari Abilka tidak terwujudkan.
Impian untuk kuliah sambil bekerja misal ada liburan semester pun sama.
Aku harus belajar di tempat di mana, yang bukan sama sekali, impianku. Bukan.
Tidak. Tidak mauuu!!!
Hingga aku menangis, dan merengek untuk tidak mau menempuh pendidikan di kota ini, dan menunggu kembali hingga tahun depan untuk bisa pergi ke luar ke kampus impian. Yang penting aku ingin mengupgrade gaya hidupku.
Ayah tidak menyetujui rencanaku kali ini. Dan mau supaya aku tidak tertinggal satu tahun menempuh pendidikan perguruan tinggi.
Aku pun menyetujui apa yang ayah katakan dan menjalani hidup di fakultas hukum yang bukan impianku, dan di kampus yang juga sama sekali bukan impianku.
Tapi hidup bersama Abilka, adalah hidup yang di mana bahkan impianku belum kurancang. Impianku untuk menempuh pendidikan psikologi juga karena ingin memahami Abilka.
Sedangkan impianku...
Waktu kecil didorong untuk berprofesi sebagai dokter. Aku melihat binar mata ibu dan kata-kata pujiannya, karena dia memang benar-benar ingin aku kelak menjadi seorang dokter. Entahlah mau spesialis apapun, yang terpenting adalah seorang dokter. Kecuali dokter hewan mungkin.
Kesenanganku saat aku kecil suka mendengungkan nada-nada musik yang aku ciptakan sendiri. Memang dari kecil aku sudah disuguhi oleh lagu-lagu yang sering diputar ayah dan ibu. Salah satunya penyanyi Lobo. Dan sangat senang menulis. Menulis lagu dan nadanya aku ciptakan sendiri tanpa tahu tangga nada do, re, mi, dan lain sebagainya.
Sampai ditertawakan karena ingin sekali menempuh pendidikan seni musik kelak kalau aku kuliah, dan ditentang juga oleh ayah dan ibu. Ayah dan ibu berpendapat bahwa, bermain alat musik itu masih bisa dilatih secara otodidak jadi tidak perlu menempuh pendidikan formal seni musik. Mending dipakai untuk mempelajari ilmu yang memang paling penting untuk ditempuh secara formal.
Abilka Samudera Kesabaran
Abilka.
Waktu kecil, dia sangat suka bermain tanpa menggunakan alas kaki atau sendal. Di sangat suka bereksplor di halaman rumah kami yang lebar dan beralaskan tanah, dan tidak juga ditumbuhi rumput. Dia sangat suka bermain di bawah pohon mangga yang ditanam di depan rumah. Aktivitasnya bukan hanya bermain di halaman rumah namun ada juga mainan yang dia ciptakan sendiri. Kadang dia mendapati tali dari tempat yang entah di mana dia temukan. Kadang merusak gelang tanganku yang dihiasi bulat-bulatan kayu atau sejenisnya. Dan mengambil talinya untuk digoyang-goyang oleh tangannya. Dan juga kadang dililit dengan benda lain seperti pensil atau pulpen atau benda yang bisa dia lilit.
Tapi, tanaman bunga Ibu tidak luput dari kejahilan Abilka. Dia sangat suka merobek-robek daun bunga Ibu yang sudah Ibu tanam dan rawat. Saat daun pucuk yang mau terbuka dan mekar, Abilka mencabut dan merobek-robek. Awalnya saat Ibu dan kami semua belum mengetahui kondisi Abilka, ia sangat marah atas aksi Abilka dan juga memarahi aku, dan Mikha karena tidak mengawasi Abilka. Tapi seiring berjalan waktu, setelah mengetahui kondisi Abilka, Ibu perlahan tidak semurka dulu lagi. Meski Abilka masih sering bermain-main dengan merobek daun bunga Ibu hingga berkeping-keping. Hingga ada saat di mana Ibu, berhenti menanam bunga, tidak lagi membeli bunga dalam jumlah banyak seperti dahulu. Dan sudah tidak lagi diletakkan di teras depan rumah. Lagipula daun bunga yang sudah berbekas robek pun tak lagi elok dilihat sehingga Ibu mengamankannya di belakang rumah. Meski tidak juga luput oleh tangan jahil Abilka. Tapi setidaknya, masih diletakkan tidak di depan rumah.
Banyak hal yang dia rusakki. Abilka sejak kecil tidak tertarik memainkan mainan seperti mobil-mobilan atau robot. Dia suka memainkan bola tapi itu pun tergantung dari situasi hatinya. Dia lebih suka merusakki barang-barang yang ada fungsinya dan menjadikkannya sebagai mainan baginya. Banyak hiasan keramik di rumah, namun dipecahkan oleh Abilka saat ia tantrum. Merobek spons bedak milik Ibu. Mematahkan lipstik. Merobek buku paket milik aku dan juga Mikha. Bahkan ia pun merobek uang kertas yang ada dalam jangkauannya. Aku dan Mikha selalu menjadi sasaran dimarahi oleh Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu merasa perlu untuk mengekspresikan kemarahannya agar tidak dipendam (mungkin). Saat mendengar kemarahan Ayah dan Ibu, Kadang dia tertawa, kadang tidak ada ekspresi apapun, kadang dia ketakutan karena tahu dia melakukan kesalahan, dan dia bisa balik mengamuk sebagai upaya "membela" diri sendiri.
Tapi Abilka ketakutan saat melihat Aku dan Mikha. Sebab kita yang dimarahi, namun kita rasa-rasanya ingin memukul Abilka. Kita melotot atas tindakan Abilka dan dilihat oleh Abilka dan itu membuat Abilka ketakutan.
Suatu ketika, Ayah dan Ibu memutuskan untuk membeli aquarium besar karena disarankan oleh temannya. Sebab ada kenalan beliau yang memiliki anak yang juga autis, perlahan bisa berinteraksi dengan normal karena melihat ikan di dalam aquarium. Maka dibelilah Aquarium yang berisi ikan hias. Ikan arwana, ikan koi. Aquarium yang cukup besar itu dan sudah diisi ikan, malah tidak membuat Abilka tertarik. Dia terkesan biasa saja. Tidak ada interaksi yang membuat dia sangat berantusias saat melihat ikan-ikan yang berenang kesana-kemari dalam aquarium itu. Aku cukup "kasihan" terhadap ikan-ikan itu. Sebab seperti ruang gerak mereka terbatasi di dalam balok kaca, meski sudah dihiasi ornamen-ornamen buatan ala-ala bawah laut.
Hingga suatu saat, aquarium itu ada gunanya juga untuk Abilka. Bukan karena dia tertarik dengan ikan-ikannya. Lagi dan lagi benda-benda di sekitarnya menjadi sasarannya. Suatu ketika, tante kami, datang bertamu. Beliau datang dengan memakai sepatu heels. Saat mau pamit pulang, sepatu sebelah kanannya tidak berada di tempat di mana beliau melepasnya. Kami semua mencari hingga di selokan di belakang pagar tembok rumah. Karena kami menduga bahwa ini semua adalah perbuatan Abilka. Dia pernah melempar kunci motor teman Ayah dan Ibu saat mereka bertamu, di belakang tembok pagar rumah, maka kami berasumsi bahwa dia melempar sepatu milik tante kami di belakang tembok pagar rumah juga.
Sepatu itu ditemukan di tempat yang tidak kami duga-duga.