Alkemi Dari Gawai

chrisoenulakaos
Chapter #12

Alikimia Dari Gawai

Melelahkan hidup tapi selalu didikte orang. Orang yang sudah mengenal dari lama. Kurang berdoalah, terlalu banyak buat dosalah. Berat memang hidup di tengah pengalaman kalau Ibu yang adalah seorang pelayan rohani, dan mendoakan orang dan orang yang didoakan bisa sembuh dari penyakitnya, tapi anaknya sendiri tidak kunjung bisa normal. Orang yang hanya mendikte adalah orang yang tidak mengalami sama seperti apa yang kita alami. Abilka dengan kondisi demikian sudah merasa “dihukum” jangan lagi ada ejekan, hinaan, dari orang yang benar-benar tahu bagaimana keadaan Abilka.

Bertahun-tahun aku mencoba mencari cara, bagaimana supaya Abilka bisa normal. Aku dulunya percaya, dengan mengonsumsi obat yang didapat dari dokter yang berpraktek di luar daerah tempat tinggal kami, dan sudah menangani banyak pasien anak autis, bisa membuat Abilka dapat berbicara. Ada pula kata-kata dari orang terdekat yang mengatakan bahwa di usia 13 tahun atau 17 tahun, nantinya Abilka ada di fase keadaan yang bisa membaik dan bisa berbicara. Ada pula yang terus mendoakan agar Abilka bisa sembuh. Sudah kulakukan bersama ayah dan ibu, mengenai cara yang dibilang orang-orang, seperti doa puasa, mengatur menu makan.

Cara yang tetap saja tidak mengubah kondisi Abilka. Kita tidak menyadari, kita dululah yang harus mengubah hati, perasaan, pemikiran, dengan kondisi Abilka yang demikian. Bukan menjalani pola hidup agar dikasihani Tuhan dan mengubah kondisi Abilka.

Aku pun tidak tahu misal pergumulan hidup seperti apa yang kurasakan jika kondisi Abilka adalah anak normal. Akan selalu ada masalah, pergumulan, yang menjadikan kita memandang hidup ini, sesuai dengan segala hal yang kita lampaui dan tidak mudah menghakimi orang. Menghakimi orang, menasehati orang sama saja kita sedang menasehati diri kita sendiri. Orang yang dengan mudahnya menghakimi orang, atau menasehati orang, dia sudah lebih dulu mengalami atau sedang mengalami, dan bisa saja dirinya juga seperti itu. Tidak mungkin kita bisa mendikte orang kalau diri sendiri tidak sama dengan orang yang didikte.

Beberapa buku yang membahas tentang autism sudah kubaca, dan rubrik psikiater yang menangani anak autis juga sudah kubaca. Namun tetap saja penanganannya berbeda. Dalam artian sindrom autis yang Abilka idap, berbeda dengan anak autis lain meski sama-sama didiagnosa autis. Ada anak autis yang bisa berbicara, tapi sulit fokus. Abilka tidak bisa berbicara sama sekali. Cara penanganan pun agak berbeda. Dan cukup buatku dan keluarga yang minim informasi ini, tidak mengetahuinya.

Keluarga inti dari sisi ayah dan ibu, enggan mengajak Abilka untuk jalan-jalan ya, begitulah Abilka tidak diterima, karena merepotkan, dan aksinya membuat malu. Ada paman yang cukup jauh hubungan kekerabatannya, malah yang sering membawa Abilka jalan-jalan ke pantai. Padahal beliau pun di waktu datang dan tinggal di rumah, tujuannya untuk masuk tes kepolisian. Ya, meski beliau pun tidak lolos. Beliau saat itu yang belum bekerja, tapi dengan kondisi keuangan yang terbatas, masih mau mengajak Abilka jalan-jalan. Berlayar dengan perahu, naik kapal-ferry, ke pantai. Abilka sangat suka jalan-jalan, dan pamanku yang bukan paman dekat ini, yang lebih memahami. Maklum, pamanku yang lebih dekat sudah pada menikah dan sudah berumah tangga.

Dan pada akhirnya, paman yang sering mengajak Abilka, pun memiliki pekerjaan sebagai satpam atau security di sebuah bank swasta, dan beliau pun menikah. Waktu bersama Abilka pun tidak lagi dapat disempatkan. Bekerja dan memiliki keluarga. Itulah kenyataan hidup, yang membuatku mengerti bahwa Abilka hanya punya ayah, ibu, dan kakak-kakaknya.

Lapisan diriku membuatku ingin ada dalam persekutuan kerohanian untuk didoakan, dan aku bersyukur karena kita bisa saling mendoakan dan menguatkan. Namun belum tentu bisa saling memahami dalam keadaan hidup. Aku kerap kali didikte, kalau berbagi kisah bagaimana tingkah Abilka yang membuatku cukup merasa derita. Kuliahku kadang tidak membuatku fokus, sebab dia ingin meminta ditemani dari malam hingga pagi atau begadang bersama dengan dia. Dan dia tidak mau di dalam kamar, dia maunya di teras rumah. Dan waktu istirahatku sangat amat terganggu.

Berbeda dengan pasutri yang ada di persekutuan kerohanian yang punya anak normal, dan punya banyak kerabat yang bisa membantu menjaga anaknya, sementara pasutri itu bisa bekerja dengan tenang. Mereka pun mengganggapku tidak tegas dengan Abilka. Sungguh aku lama-kelamaan pun tidak betah. Dan di lingkungan sekitarku pun jarang ada yang punya kerabat yang kondisinya sama seperti Abilka.

Berat memang, apalagi Abilka tidak ingin ditemani oleh orang selain keluarga dekatnya, bahkan sepupu-sepupu pun membuat Abilka takut. Pastinya, aku tidak bisa sepenuhnya berharap ke orang lain untuk menjaga Abilka. Keinginannya sangat kuat kalau ingin melakukan sesuatu yang melibatkan aku dan keluarga inti lainnya.

Jujur aku sampai sekarang meski sudah menerima kondisi Abilka, aku masih takut untuk jalan-jalan dengan dia. Maksudku, aku agak tidak percaya kalau Abilka diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuaku. Sebab Abilka kadang terlepas dari pengawasan orang tua dan berlari kian ke sana- ke mari. Apalagi kalau tiba-tiba dia tantrum, dan itu mengganggu orang sekitar. Aku cukup trauma memang, saat perjalanan naik pesawat bersama Abilka dan itu membuatku cukup trauma. Apalagi waktu BAB yang tidak menentu. Aku sangat khawatir kalau bisa saja dia tiba-tiba BAB di jalan. Meski belum pernah terjadi saat kita ke pantai, dan berjalan-jalan seharian. Tapi saat sampai di rumah, barulah dia BAB. Bukan di closet toilet pastinya.

Lihat selengkapnya