Bertahun lalu, aku sering menangis, jika sendirian di kamar. Aku memikirkan, di usia dewasa Abilka, ia tidak menikmati masa-masa remajanya. Merasakan jatuh cinta, bergaul, punya banyak teman. Abilka tidak seperti itu. Memang jauh dari standar hidup yang seharusnya atau yang diwajarkan. Abilka terlahir dengan memilih kehidupan yang tidak wajar memang. Aku menjalani hidup yang Abilka tidak dijalani.
Suatu ketika, saat aku sedang melihat-lihat postingan di akun sosial media, aku melihat postingan video yang memakai lagu Melly Goeslaw yang berjudul "Kubahagia", soundtrack film terkenal sepanjang masa, ya AADC (Ada Apa Dengan Cinta), dan potongan lagu itu didengar Abilka. Abilka yang sangat sensitif telinganya dan pemilih dalam mendengarkan lagu, malah menyuruhku memutar lagu ini berulang-ulang. Jika lagunya berhenti pun dia merengek untuk diputar dengan menarik tanganku dan menekan layar HP. Sangat langka Abilka menyukai lagu selain lagu rohani. Aku pun merasa sedih, sebab Abilka tidak memiliki kehidupan seperti yang ada di lagu itu dan soundtrack film itu.
Abilka memang sangat suka berdengung nada-nada yang entah itu lagu apa, nada yang ia ciptakan sendiri. Aku pun sempat punya ide untuk membuat lirik lagu yang nadanya berasal dari dengungan Abilka. Tapi ya aku tidak pandai bermain alat musik. Huhu...! Kondisi Abilka yang pemilih atas apa yang dia dengarkan, sudah pasti nada yang dia dengungkan pun bukan sembarang nada. Hehe. Ini sih penilaianku.
-------------------------------------------
Pilihan hidupku untuk menjaga Abilka, membuatku merasa seperti menjadi "investasi bodong" bagi ayah dan ibu. Ayah dan ibu sudah menyekolahkanku hingga aku sarjana, tapi aku malah memikirkan Abilka. Dia berbeda dari anak normal, aku tidak sanggup meninggalkan dia bersama orang lain, yang mungkin saja berbuat tidak menyenangkan ke Abilka. Apalagi kondisinya berbeda dari anak kebanyakan. Dia belum bisa mandiri, diajari harus berulang-ulang dan itu pun dia tidak melakukannya. Kadang melakukan kalau dia ingin dan jika tanpa disuruh. Berat memang. Aku berusaha untuk tidak melekatkan diri, tapi benar-benar aku tidak bisa sepenuhnya meninggalkan Abilka.
Selelah-lelahnya aku jika pulang ke rumah, aku tetap harus mengurus dan menjaga Abilka, meski aku tidak menyangkal kalau aku pun ketiduran, sambil menjaga Abilka. Hingga, aku ada di titik di mana aku tidak lagi berdoa meraung-raung untuk Abilka bisa normal. Namun aku berharap, Abilka tidak hidup lebih lama dari aku. Aku tidak bisa membayangkan rasanya aku meninggalkan Abilka di dunia ini. Bagaimana nanti orang-orang memperlakukannya, apakah sama denganku? Aku tidak mampu. Namun siapalah aku yang mengatur kedaulatan Tuhan.
Maaf ayah, ibu, aku dan Abilka tidak bisa seperti apa yang kalian mau. Abilka tidak bersekolah sama denganku dan Mikha. Mungkin ayah, dan ibu sulit menerimanya, dan tidak dapat menolak kita. Kita adalah jawaban doa ayah dan ibu, bahwa tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Ya, kita tidak sepenuhnya mengikuti sistem yang tercipta di dunia ini. Terlebih Abilka.
--------------------------------------------------
Sisi lainku. Aku suka mengenakan kaos pria yang ukurannya besar atau oversize. Aku juga suka mengenakan kemeja pria yang berukuran besar juga. Aku suka berbelanjang thrifting dan menemukan pakaian-pakaian unik dan pastinya berburu kaos pria ukuran besar dan juga kemeja. Aku merasa, sisi maskulin dari dalam diriku mau untuk diakui. Tapi di sisi lain, aku akui bahwa aku sangat ingin menjalin hubungan yang tidak membuatku merasa insecure dengan keadaanku. Dengan memakai pakaian pria, aku merasa seperti dilindungi, didekap, dan dipeluk. Aku berimajinasi, pakaian pria yang aku pakai adalah pakaian punya pasanganku. Dan aku mau mengakui mereka, memamerkan mereka melalui pakaian yang aku pakai. Caraku menghibur diri dari hubunganku yang tidak berhasil. Sebenarnya hanya kaos atau kemeja sih yang kupakai, bukan celana pria. Tetap aku adalah perempuan yang penampilannya mesti ada sisi femininnya juga.
"Eh cewek itu lesbi, eh lesbi!" ucap kumpulan pemuda-pemuda yang tinggal dekat dengan kompleks rumahku. Aku hanya berjalan menatap ke depan dan tidak sama sekali menanggapi teriakkan mereka saat aku melintas di depan mereka. Mereka yang mencoba mendekatiku, namun aku cuek tidak menanggapi. Dan memang aku tidak pernah terlihat menggandeng pria di depan mata mereka. Hal ini termasuk membuatku risih. Aku pun ingin membuktikan bahwa aku punya pacar, aku normal, aku suka sama laki-laki. Tapi buat apalah membuktikan hal yang di sisi lain pun aku tidak mau memperkenalkan pasanganku dan membawanya ke rumah.
Ya aku, ragu akan penerimaan orang itu kepada adikku. Aku merasa dan berpikir bahwa, belum tentu orang yang menginginkanku seperti pemuda-pemuda kompleks rumah yang berusaha untuk bisa dekat denganku, benar-benar ada niat tulus. Mereka hanya penasaran akan tubuhku. Ya seekstrim itu aku menilainya. Karena mereka tidak peduli akan kondisi adikku, mereka hanya mau tubuhku.
Jadi buat apa juga aku harus membuktikan diri dengan mau didekati orang-orang yang sama sekali tidak memahami kondisi hidupku. Karena dengan tidak memperdulikan mereka, adalah caraku melindungi diriku dari orang-orang punya maksud terselubung.
Pikirku, aku bisa saja dimanfaatkan cerita sedihku dan terperdaya. Aku tidak mau menurunkan "kualitas" yang aku lihat di diri orang lain hanya supaya aku bisa diterima. Aku perlahan berdamai dan mensyukuri kondisi dengan kehadiran adikku yang berbeda.
Setelah lulus kuliah, aku memikirkan lagi rencana ke depanku. Sulit terasa sebab di mana aku menunggu untuk diwisudakan, aku ada dalam kebimbangan yang berat.
"Bagaimana nanti tuntutan pekerjaan membuatku tidak bisa menjaga adikku?"
Di saat aku sedang memikirkan rencana ke depan, selalu saja kebiasaan Abilka seperti "menghalangiku" untuk membuat lamaran pekerjaan. Mikha masih kuliah di daerah lain. Aku saja yang diandalkan orang tuaku untuk menjaga Abilka selagi mereka pergi bekerja. Memang saat aku masih kuliah, ibu-lah yang ada di rumah. Sorenya baru Ibu pergi melakukan kegiatan rohani seperti yang biasa beliau lakukan.
Namun, di saat aku sudah tidak lagi beraktivitas di dunia perkuliahan, aku punya banyak waktu di rumah. Akuingin punya pergaulan yang bisa memperluas jaringan bagiku untuk mendapatkan pekerjaan. Aku sering dituntut ayahku sebab anak teman-temannya sudah mendapatkan pekerjaan. Jujur aku pun berusaha mencari dengan mengandalkan kecanggihan teknologi. Tapi belum diterima.
Suatu saat, aku melamar pekerjaan melalui mesin pencarian. Hingga saat ini, aku masih bimbang apakah itu penipuan atau bukan. Aku berhasil diterima dan namaku muncul bersama dengan pelamar lain. Tapi aku harus berangkat ke Jakarta dan itu ongkosnya aku tanggung sendiri. Tapi aku ragu. Aku pun memberitahukannya kepada ayahku yang menganggapku pemalas mencari pekerjaan. Ayahku bangga karena aku diterima di salah satu perusahaan tambang terkenal dan memang terpercaya perusahaan itu ada. Namun selidik punya selidik, aku mencari informasi bahwa itu adalah ciri-ciri scam atau penipuan yang mengatasnamakan perusahaan itu, supaya bisa menjaring orang yang bisa ditipu.