—Sunshine, Alvina
Alvina tidak bisa tidur. Sudah semalaman aku tetap terjaga, di kepalaku masih terpikir tentang kejadian aneh yang tidak logis. Sweater mistis.
Aku melihat kearah jam, sudah hampir jam 06.00 pagi dan aku tidak tidur. Sudah terlambat jika memaksa untuk tidur.
Lebih baik aku bangun lebih awal. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Ketika aku menuruni tangga, bau aroma masakan tercium, kali ini bukan aroma daging, tapi sesuatu yang lain seperti dipanggang.
Aku bertanya, “Masak apa, Bu?” mata Ibu berbinar-binar, ia tidak lepas dari pandangannya. “Ibu coba resep baru namanya Casserole."
Aku memujinya, “Aromanya sih enak. Tumben Ibu coba menu lain."
Ibu tertawa. “Ibu cuma coba siapa tahu enak dan untungnya berhasil berkat teman Ibu."
Aku mengambil piring dan sendok. “Ibu ga pernah cerita soal teman."
Ibu tersenyum. “Iya, nanti Ibu kenalin."
Aku berangkat dengan perut kenyang. Makanan hari ini lumayan enak. Tapi pikiranku tidak lepas dari Alga. Sepertinya aku harus mulai berjaga jarak dengan orang itu, semakin aku jauh darinya semakin baik.
Ketika aku sampai di gerbang dari belakang terdengar suara motor lewat dengan cuek aku tetap jalan.
Jika sudah jam 06.30, gerbang sekolah hanya dibuka setengah. Otomatis jalanan agak sempit, maka salah seorang yang lewat harus mengalah.
Ketika aku menyadari kehadiran motor itu, aku tetap jalan karena aku sampai duluan. Tapi ternyata si pengendara motor juga tidak mau mengalah.
Tin…!
Ia mengklakson.
Deg!
Aku menengok kearahnya dan terpaksa memberi jalan. Ia memakai helm berwarna hitam dan plat motor bertulisan AG.
Ia lalu berjalan melewatiku. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi aku lupa dimana.
Aku membuka pintu loker, masih terbayang sweater Alga yang kutaruh.
Aku membuka tas, hal yang pertama kali terlihat adalah sweater itu. Pasti Ibu yang taruh. Hari ini pokoknya harus dikembalikan.
Aku masuk ke dalam kelas. Alga sudah datang. Aku berjalan menuju mejanya namun sosok Layla hadir. Tidak, jangan sekarang!
Tinggal dua langkah lagi menuju meja Alga, aku memutuskan untuk berbelok dan kembali duduk di mejaku. “Masih pagi lupa ya." Sahut Layla.
Aku sengaja tersenyum dan menggaruk kepala. Layla berkata, “Vin, entar kita makan di kantin ya soalnya hari ini nyokap ga masak."
“Ok!” sahutku. Untung saja Layla ga curiga.
Pelajaran berlangsung dan sesi pertama adalah kimia. Ketika Ibu Valent masuk semua murid tegang.
Tegang akan hasil ulangan. Memang kuakui kimia tidak sesulit pelajaran lainnya tapi bu Valent terkenal pelit nilai.
Jika sudah soal kimia, jawaban harus lengkap dan jelas, tidak boleh ada singkatan atau jawaban tanpa penjelasan.
Ia melihat kearah murid dan mulai membacakan nilai. “Ibu sebutkan dari yang tinggi sampai rendah, yang pertama adalah Rashya 98, Yuda 92, Mike 90, Edo 88, Layla 85 …. dan seterusnya sampai yang terakhir, Alga 50."
Mendengar semua itu, Rashya berbisik dengan yang lainnya. Namaku tidak disebut, padahal aku hadir saat ulangan.
Ibu Valent menghitung kembali kertas ulangan. “Apa ada yang belum disebut?”
Ketika aku ingin mengangkat tangan, Mike langsung menyela. “Punya Alvina belum disebut, Bu."
Ibu Valent nampak kebingungan, ia telah menghitung dua kali tapi kertasku tidak ada. Tetap positif thinking Vin, mungkin nyelip di ruang guru.
Bu Valent berkata. “Alvina, nanti setelah makan siang ke ruang guru ya."
Aku menjawab. “Baik, Bu."
Rashya dan kawan-kawan tersenyum gembira. Gembira akan kekhawatiranku.
Selama ini kehidupanku di kelas seperti di medan perang, di mana yang kuat berkuasa dan yang lemah ditindas.
Aku seperti di antara keduanya. Aku memegang kekuasaan namun karena sifatku yang cuek membuatku kadang terlihat lemah.
Orang lain yang mungkin diposisiku akan memanfaatkan keadaan itu. Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya meskipun aku sebenarnya bisa.
Bagiku mereka adalah sekawanan serigala berbulu domba. Berpura-pura baik di depan dan ketika kau sudah jatuh ke dalam perangkap mereka, mereka akan menghabisimu.
Ketika aku melihat Rashya, aku seperti melihat cerminan diriku yang lain. Ia begitu populer dan pintar.
Ia tidak hanya pintar dalam pelajaran namun ia juga pintar dalam memanfaatkan peluang ditambah keluwesannya ketika ia berbicara membuat semua orang ingin dekat dengannya.
Pelajaran berakhir dan bel makan siang berbunyi. Aku dan Layla berjalan menuju ruang guru.
Aku mengetuk dan membuka pintu. Ibu Valent dan guru lain sedang berada di dalam.
Ketika Ibu Valent menyadari kehadiranku.
Ia berkata. “Alvina, Ibu sudah cari kertas ulanganmu namun tidak ketemu, tapi Ibu sudah catat nilaimu. Nilaimu 95."
Aku mengangguk. “Baik, Bu.Terima kasih." Aku berjalan menuju pintu. Nilaiku sedikit lebih rendah dari Rashya.
Layla yang daritadi penasaran bertanya, “Gimana? Baguskan?”
Aku menjawab, “Beda dikit sama Rashya."
Ia bertanya, “Tumben, Vin. Emangnya lagi banyak pikiran atau kurang belajar?”
“Dua-duanya," jawabku.
Ketika sampai di kantin, aku duduk dan memakan bekalku. Sementara Layla sibuk mengantri. Rasanya hari ini moodku sedang tidak enak.
Layla datang membawa semangkuk bakso. “Ah, tidak ada yang lebih enak dari semangkuk bakso."
Ketika ia ingin menyantap. Aku bertanya, “La, kamu penasaran ga sama cowok itu."
Ia nampak bingung. “Yang mana, Vin?”
Aku melirik ke seberang meja. Alga sedang duduk sendiri memakai earphone sambil menyantap roti isi.
Layla menjawab, “Oh itu kan Alga, Vin. Teman kelas kita." Ia memang teman kelas kita, tapi kehadirannya membuatku terusik.
Aku bertanya, “Aku ga pernah dengar berita tentang dia. Dia dulu sekolah di mana?”
Layla yang tadi asyik makan langsung berhenti. “Gaada yang tahu tentang sejarah dia, Vin. Dia tiba-tiba muncul entah darimana ketika sekolah sudah mulai selama tiga bulan. Lagipula dia pendiam banget dan gasuka berteman. Bahkan dia ga ada akun medsos. Gara-gara hal itu dia dijulukin si ghostboy."
Tiba-tiba tubuhku merinding. Si ghostboy. Rupanya nama itu tepat sekali. Selama pelajaran berlangsung, perasaanku tidak tenang.
Perkataan Layla masih terputar di kepalaku. Aku harus tenang karena akan ada ulangan hari ini. Jangan biarkan laki-laki misterius itu mengganggumu, Vin.
Nyatanya selama ulangan berlangsung aku tidak sepenuhnya fokus. Pikiranku bercabang. Sepertinya hari ini adalah hari kemenangan Rashya.
Aku pasrah pada nilai ujianku nanti. Pokoknya hari ini aku harus membereskan semua kekacauan ini. Saat bel pulang sekolah berbunyi.
Aku membereskan loker dengan lambat, menunggu agar semua murid pulang. Hanya tersisa aku dan Alga. Saatnya untuk mengakhiri ini semua.
Dengan percaya diri aku berjalan menghampiri Alga. Ia menutup pintu loker dan kaget melihatku di sebelahnya.
Aku langsung memberikan sweaternya. “Waktu itu aku pinjam, sekarang aku kembalikan."
Ia mengambil sweater itu dan berkata, “Tidak usah repot bertanya, aku sudah tahu kau pasti membutuhkannya." Ia lalu pergi.
Aku tidak menyangka ia akan berkata begitu, tapi perkataannya tadi mengandung makna tersembunyi. Seperti seolah ia tahu aku akan meminjam padanya.