All About Him

Chika
Chapter #3

The Only Key

Sunshine, Alvina

Alvina terpaksa bangun. Rasanya aku ingin kembali tidur saja atau tidur selamanya jika bisa.

Tapi aku tidak boleh menyerah hanya karena seseorang telah masuk dan memporak-pondakan hidupku.

Aku harus menunjukan bahwa aku kuat dan aku akan menghadapinya. Aku menggosok gigi sambil menyemangati diriku. 

Aku harus kembali mengingat momen disaat aku masih SMP. Dimana setiap berangkat sekolah aku selalu melihat gedung sekolahku yang sekarang.

Aku sangat ingin bersekolah disana. Dimana aku bisa mengembangkan diriku lebih lagi dibanding terjebak dengan anak lain yang berpikiran bahwa dunia ini sempit.

Lihatlah diriku sekarang. Mimpiku terwujud karena aku berhasil mendapat beasiswa untuk bersekolah di sekolah impianku. 

Kali ini aku tidak boleh menyia-nyiakan itu semua hanya karena keadaan memaksaku.

Aku menuruni tangga dengan semangat. Ibu melihatku daritadi. “Wah, siapa yang hari ini bersemangat."

Wajahku bercahaya dan mataku dipenuhi semangat api yang menyala-nyala. “Belakangan aku banyak tugas dan kemarin aku baru bisa tidur pulas."

Ibu tersenyum sambil memberiku bekal. Aku pun mengambilnya dan segera berangkat.

Ketika sampai di sekolah, aku merasa segar dan pikiranku dipenuhi oleh hal-hal yang positif. Aku merasa hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya.

Aku membuka loker. Sekali lagi kenyataan menampar pipiku. Aku terbelalak ketika melihat ada sebuah lipatan kertas berbentuk mawar.

Aku mengambil lipatan kertas itu dan mengamatinya. Ini indah sekali. Siapa yang membuatnya?

Tapi tunggu …!

Pada bagian kuntumnya ada coretan merah dengan perlahan aku membukanya, ternyata itu adalah nilaiku dan semua lipatan itu berasal dari kertas ulanganku yang hilang. 

Emosiku melunjak dan rasanya aku ingin berteriak. Tarik nafas, Vin. Coba kita pikir dulu.

Aku masuk ke dalam kelas dengan emosi yang tertahan. Aku tidak sadar kedua tanganku mengepal dan rasanya jika ada orang yang mengejekku aku tidak akan segan menghajarnya.

Aku duduk tidak menyapa Layla yang di sebelahku. “Kamu kenapa, Vin? mukanya merah semua," tanya Layla. La, jujur ini bukan waktu yang tepat untuk nanya.

Aku memejamkan mata dan membalasnya, “Mood-ku hari ini lagi ga enak."

Layla mengangguk. “Oh, kalau ini tentang Rashya jangan terlalu dipikirin, Vin. Santai aja." Emosiku perlahan mereda ketika mendengar hal itu.

Aku terpaksa tersenyum pada Layla. Bagaimana aku tidak bisa memikirkannya. Aku sedang menghadapi banyak ancaman yang bertujuan untuk menyingkirkanku dan kau menyuruhku untuk bersantai!

Aku mulai mencari tersangka. Aku melihat kearah Rashya yang sedang asyik ngobrol dengan temannya sambil mencuri pandang kearah Mike, sedangkan Mike sibuk menulis di mejanya.

Lalu aku melihat kearah meja Alga. Bangkunya masih kosong, ia pasti belum datang. Aku melihat kearah jam, waktu menunjukan pukul 06.45 pagi. 

Saatnya memburu. Pelajaran silih berganti dan aku tidak sabar mendengar bunyi bel makan siang. Tapi sebelum itu kejutan tak henti-hentinya menagetkanku.

Kali ini pelajaran biologi, pak Ivan masuk dan semua murid tak sabar menunggu hasil ujian.

Menurut semua anak jurusan IPA, pelajaran biologi paling mudah diantara yang lain dan itu adalah pelajaran favoritku. “Bapak akan bacakan sesuai nomor absen. Absen nomor satu 100, dua 98, tiga 80 ...."

Ketika mendengar nomor tiga semua murid kaget dan sebagian dari mereka mulai berbisik. Itu nilaiku dan itu yang kudapat. Dari seberang meja, Rashya tersenyum menatapku. 

Aku menangkap maksudnya dan kali ini aku harus bertindak. Bel makan siang berbunyi, aku memberi alasan kepada Layla untuk tidak makan bareng.

Rashya berada di kelas bersama temannya. Aku menghampirinya dengan membawa kertas ulangan yang sudah lecek bekas terlipat. “Ada yang ingin aku bicarakan, berdua saja." Melihat kearah teman-temannya.

Salah satu dari mereka menjawab dengan ketus, “Apapun itu kita juga harus ikut dengar."

Aku berpaling kearah Rashya. “Ini sesuatu yang kuyakin orang lain tidak perlu dengar."

Rashya pura-pura tersenyum dan berpaling pada temannya. “Kalian duluan aja deh, nanti aku kasih tau kok." Mereka akhirnya pergi dan aku merasa lega.

Rashya melipat tangannya. “Ok. Sekarang apa?”

Aku menaruh kertas ulangan itu di mejanya. “Maksud kamu ini apa, Ra?”

Ia memperhatikan kertas itu dan tersenyum. “Iya, udah tau. Terus kenapa?”

Aku mulai mendekat. “Kalau ini hanya karena sirik, maka ini sudah keterlaluan. Aku bakal lapor hal ini jika kamu gamau ngaku."

Ia mulai bingung. “Maksud kamu apa sih, Vin? Apa yang perlu dilapor?”

Aku terkejut mendengar reaksinya. “Ya, tentang kertas ulangan yang sengaja kau hilangkan."

Ia mengangkat alis. “Dengar ya, Vin. Aku gatau apa yang terjadi dengan kertas ulanganmu. Tapi yang jelas aku ga ngelakuin itu, meskipun aku gasuka sama kamu." 

Dia kelihatannya berkata jujur tapi mengapa dia membenciku, padahal aku tidak pernah dekat dengannya. “Terus kenapa harus benci. Aku kan ga pernah ngelakuin apa-apa?”

Ia tersenyum sinis. "Karena kehadiranmu membuat Mike semakin jauh denganku." Ia pergi meninggalkan kelas. Aku melihatnya pergi dan aku sempat terdiam lama. Mike?

Aku melihat jam tanganku, masih tersisa 15 menit sebelum bel berbunyi. Aku keluar kelas mencari Mike. Ia tidak ada di kantin. Pasti ada di satu tempat.

Aku berjalan menuju lapangan, Mike sedang bermain basket. Ia sedang melalukan jumpshot. Ketika bola memasuki ring, temannya bersorak.

Aku mengawasinya di salah satu pilar. Ia terlihat senang dan sesaat ia menyadari kehadiranku. Ia sengaja berjalan paling belakang.

Aku menghampirinya. Ia tidak menyangka. Seperti biasa, ia menyapaku dengan senyuman manisnya.

Aku langsung menghardiknya. “Mike, ini ga lucu. Jangan anggap ini salah satu leluconmu. Aku sudah lelah karena ini menyangkut hidupku."

Aku pikir ia akan menyangkal seperti Rashya tapi, ternyata ia hanya berkata, "Aku tidak tahu apa yang sedang kau alami sekarang, Vin. Tapi saranku lebih baik kau jangan terbawa suasana kelas."

Ia selalu bisa mencari alasan untuk menenangkan seseorang dan membuatnya menjadi percaya seperti yang dilakukannya saat ini. Aku kehabisan kata-kata, tidak tahu harus menjawab apa.

Ia tersenyum melihatku yang diam mematung. “Vin, bentar lagi bel. Naik dulu, ya."

Ia menaiki tangga dengan cepat, sementara aku naik dengan perlahan seolah aku kehabisan tenaga. Hanya tinggal satu orang lagi.

Dengan sabar aku menanti bel pulang berbunyi. Aku melihat kearah Alga. Ia sedang bersandar sambil menutup setengah mukanya dengan hoodie. Sepertinya ia tertidur.

Bel yang kutunggu berbunyi dan semua bersiap pulang. Alga masih duduk dan ketika setengah murid sudah keluar dari kelas. Ia baru berdiri merapihkan hoodie-nya yang menutup matanya. Ia berjalan melewatiku dan ketika ia berada di loker. Aku berdiri dan menunggunya. 

Ia terlihat masa bodoh, ia ingin melewatiku lagi. Tapi aku mencegatnya dengan menunjukkan kertas ulanganku. Kali ini aku lelah berbicara dan aku yakin ia pasti akan mengaku. Tidak ada lagi selain mereka bertiga.

Ia melihat kertas itu. “Kau ingin tanda tangan?”

Jawabannya membuatku salah tingkah. “Ti - tidak. Justru kau yang ..." terbata-bata.

Ia menggeleng dan sengaja menyenggol bahuku sambil berjalan pergi. Tanda bahwa ia tidak senang.

Apa yang sudah kulakukan?

Aku berjalan pulang dengan tiada hentinya bertanya. Aku sudah membuatnya marah karena sembarang menuduh tanpa bukti belum lagi dengan Rashya dan Mike. Sebenarnya aku ini kenapa? 

Aku pulang. Ibu sedang sibuk bermain handphone di sofa. “Vina, tumben pulang agak lama."

Aku menjawab, “Tadi Vina lagi banyak kerjaan jadi pulangnya lama." Ya, kerjaan yang akhirnya membuat pikiranku sibuk.

Aku menaiki tangga dan menutup pintu. Aku tidak kuat lagi berjalan menuju ranjang jadi aku duduk bersandar di pintu.

Padahal aku hanya ingin penjelasan. Kenapa jadi begini? tapi tunggu sepertinya ada yang tidak beres. Aku kan korban bukan pelaku. Jadi, kenapa harus merasa bersalah?

Coba saja ayah masih ada, pasti ia akan memberiku saran dan menyemangatiku. Tapi aku tidak boleh terus bergantung. Aku harus menyelsaikannya sendiri. Ok, Vin. Coba kita refreshing sebentar.

Sehabis aku selesai mandi, aku turun membawa buku teka-teki silang. Ibu sibuk memasak di dapur dan aku melihat ada kemajuan di setiap masakannya. Aku duduk di meja makan sambil membuka buku TTS. Selain catur, aku suka teka-teki silang.

Dulu aku dan ayah sering bermain bersama tapi sekarang aku harus bermain sendiri. Ibu melihatku. “Kamu ga bosan kerjain buku yang sama?"

Aku menjawab sambil mengerjakan, “Ada beberapa yang masih kosong."

Ibu mengambil piring. “Kalau sudah diisi semua nanti Ibu belikan yang baru."

Aku mengangguk. Kurasa aku tidak mau yang baru karena ini salah satu peninggalan ayah.

Aku melihat kearah Ibu yang sedang sibuk memasak. Ia terlihat baik-baik saja tanpa ayah, sedangkan aku masih terjebak dengan lamunan masa lalu. 

***

Doctor Psycho, Alga

Alga berhenti ketika melihat mobil paman parkir di depan rumah. Gawat.

Aku memasuki rumah dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Ketika membuka pintu, hal yang pertama kali terlihat adalah paman Sam yang sedang duduk di meja makan sambil melihat kearah jam tangannya.

“Kau lama sekali, Paman sudah tidak tahan menunggu di rumah ini. Rumah ini terlalu membosankan. Tidak ada sesuatu yang mencolok semua serba sederhana."

Aku menuju kulkas dan mengambil air minum. “Ada apa Paman kemari?”

Ia melihatku yang sedang meneguk minuman. “Paman hanya datang untuk memeriksa keadaan."

Ia lalu berdiri. “Kau tahu kau orang yang paling sulit dicari. Puluhan kali Paman menelepon dan kau tidak mengangkatnya. Ada apa dengan anak zaman sekarang!”

Alga menjawab, "Aku baik-baik saja. Paman boleh pergi."

Ia tersenyum. “Kita baru bertemu tidak lebih dari lima menit dan kau sudah menyuruhku untuk pergi? baiklah kau benar juga, Paman banyak urusan. Jaga dirimu baik-baik. Paman tidak mau mendengar kabar aneh tentang dirimu."

Aku membuka pintu dan paman beranjak keluar. Aku menutup pintu dan menunggu mobil paman pergi.

Ketika mobil BMW berwarna hitam melaju. Aku bergegas memeriksa laci. Untung saja.

Aku membuka kotak itu dan memeriksa semua kembali. Semuanya masih utuh. Aku membolak-balikan semua halaman buku itu. Masih banyak yang harus dipahami dan semoga saja buku ini menjawab semua pertanyaanku.

“Kepada Anakku Alga, 

Sudah hampir satu harian kami berada di kapal. Selain duduk dan merasa mual, aku dan Sally mulai bosan. Ia memutuskan untuk keluar dari ruang tunggu dan menikmati pemandangan laut saat senja.

Laut berwarna biru kehitaman dan di setiap arus terlihat cahaya berkilauan ditemani matahari tenggelam. Ia tak berhenti menikmati keindahan itu.

 Aku mendekat kearahnya dan memperhatikannya dari samping. Rambutnya yang berwarna hitam panjang terurai diterpa angin. Kecantikannya yang anggun terpancar dari wajahnya dan sesaat aku merasa jatuh cinta lagi.

Ia tersenyum melihatku terpesona akan dirinya. Ia berbicara padaku, "Jadi bagaimana selanjutnya?"

Aku menjawab dengan kikuk, "Kita tidak punya pilihan jadi kita jalani saja."

Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu berkata, "Aku merindukan keluargaku dan aku takut mereka mengkhawatirkanku."

Aku menepuk pundaknya dan berkata, "Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Ia kemudian tertawa. Aku tidak pernah melihatnya tertawa begitu bebas.

Ia melihatku dan berkata, "Kau sangat buruk dalam hal menasehati."

Aku menggaruk kepala, "Ya, sepertinya memang benar." Lagi pula yang dikatakannya memang benar.

Aku juga merindukan Ibuku dan aku tidak bisa membayangkan bahwa kedua putranya sekarang sedang terombang-ambing di tengah laut sementara ia menjalani hari-harinya.

Aku melihat kearah kakakku. Ia sedang duduk di kafetaria sambil minum kopi. Di dalam benakku tersirat, apakah ia juga memikirkan Ibu atau ia malah senang jauh darinya.

Pikiranku kembali pada masa kami masih kecil. Aku ingat mereka berdua sering berkelahi di rumah semenjak ayah tidak ada.

Kakakku dulu memang nakal dan keras kepala sehingga ia selalu berbuat ulah. Tapi disisi lain, ia memiliki pemikiran yang jauh dan ia selalu bermimpi tinggi.

Hanya karena sifat dan pemikirannya itu membuat Ibu jadi membencinya. Hal itu membuatnya teringat akan suaminya.

Lihat selengkapnya