—Sunshine, Alvina
Aku bangun, ternyata aku menangis sampai aku ketiduran. Lantai yang keras membuat semua tulangku sakit.
Aku melempengkan semua tulangku dan ketika aku mengaca, aku kaget melihat wajahku. Kedua mataku bengkak akibat menangis dan hari ini aku sekolah. Oh tidak!
Aku malu jika ketawan menangis tidak hanya pada Ibu tapi anak kelas. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki mata yang bengkak selain menutupinya.
Tidak mungkin aku memakai kacamata hitam. Bagaimana dengan masker? Ah, itu kan untuk menutupi mulut dan hidung.
Aku tidak punya pilihan selain mengolesi gel di bagian pelupuk mata dan berharap tidak ada yang menyadarinya.
Ketika aku ingin turun, aku teringat. Kemarin aku bertengkar dengan ibu dan aneh rasanya jika hari ini aku bersikap biasa saja padanya. Jadi aku harus apa? aku turun dan berharap ia tidak ada di dapur.
Ternyata harapanku benar. Ia tidak ada di dapur dan ia sudah berangkat lebih dulu dariku. Mungkin ia merasa bersalah.
Hanya ada sekotak bekal dan kunci rumah. Ternyata kami berdua ada kemiripan. Sama-sama malu mengakui.
Ketika sampai di sekolah, salah seorang teman Rashya mengejekku, “Wah, ada yang jadi panda hari ini."
Rashya menyahut, “Hah? panda. Apa sih maksudnya?" bagiku itu tidak terlalu menyakitkan jadi aku jalan dengan cuek.
Mereka masih tetap melanjutkan. “Itu lho, matanya mirip mata panda."
Rashya tertawa. “Oh, bilang aja matanya bengkak." Ini baru menyakitkan. Aku sudah mencoba untuk menutupinya tapi tetap kelihatan juga.
Aku hanya tidak mau kelihatan lemah di depan orang lain bahkan di hadapan ibuku sendiri.
Layla menyadarinya. Ia hanya berkata, “Udah, Vin. Biarin aja."
Jam seperti berjalan lambat, rasanya aku ingin cepat pulang. Pelajaran terakhir adalah PKN. Bu guru masuk dan semua murid terlihat malas.
Mereka semua seperti menanti bel berbunyi. “Hari ini kita akan ada presentasi tentang bab lima. Silahkan bentuk kelompok terdiri dari tiga orang." Kenapa harus hari ini?
Seperti biasa, aku dan Layla duduk menunggu selagi semua sibuk membentuk kelompok.
Layla melihat kearahku. “Tenang, Vin. Save the last for the best." Aku tidak masalah jika tidak ada yang mau sekelompok dengan kami justru aku tidak mau ada orang lain selain Layla hari ini.
Semua sudah bersama kelompok masing-masing dan mereka mulai berdiskusi, yang tersisa hanyalah aku, Layla, dan Alga. Alga duduk di tempatnya dan ia sama sekali tidak ada niat untuk menghampiri kami.
Layla menengok kearah Alga. “Hei, Alga. Ghostboy sini!”
Ketika Layla memanggilnya, tiba-tiba saja aku merasa malu. Alga berdiri dan menghampiri kami. Ia mengambil bangku dan duduk di depanku.
Layla mulai berbicara, “Kamu tuh diem banget sih sampai harus disamperin”.
Aku menyenggol sikut Layla, menyuruhnya untuk tidak membahas hal itu. “Ok. Sorry out of topic jadinya”.
Aku membuka buku dan menaruhnya di tengah meja. Layla menyipitkan mata dan membacanya.
Aku ikut membaca tapi Alga tidak. Ia terus memperhatikanku tapi aku tidak berani melihatnya. Fokus Vin.
Layla semakin mendekat kearah buku dan ia menghalangiku.
Aku tidak kelihatan apapun tapi aku harus melihat kearah buku agar Alga tidak memperhatikan mataku.
Alga seperti membaca pikiranku. Ia menggeser buku itu kearah Layla dan berdiri mengambil bukunya. Jantungku berdebar. Apa aku salah?
Layla manggut dan mengembalikan buku itu kepadaku. “Oh. Ini tinggal diskusi sama-sama terus tulis jawabannya dan presentasi."
Alga menjawab, “Ya."
Layla mulai menulis. Aku melihat kearah Alga, ia sedang sibuk membaca. Kenapa dia diam sekali, padahal waktu itu dia banyak bicara.
Apa karena dia malu? tapi dia kan laki-laki. Apa yang perlu dikhawatirkan? sesaat Alga melihatku. Aku langsung mengalihkan pandanganku. Untung saja.
Layla memberikan kertas itu padaku dan aku mulai berpikir. Kalau boleh jujur, aku suka mengarang.
Sebenarnya aku tahu jawabannya tapi aku suka memperjelasnya lagi. Kadang itu menghabiskan waktu tapi entah mengapa aku menyukainya.
Aku mulai menulis dan aku tidak terkecoh dengan sekelilingku termasuk Alga yang daritadi terus memperhatikanku.
Layla tahu kalau sudah masuk ke dalam sesi tanya jawab, ia hanya bisa memakluminya dan membiarkanku memenuhi kertas.
Layla merasa lega. “Thanks God, aku yang pertama nulis." Alga yang terlihat tidak sabar merogoh kantong celananya dan mengeluarkan permen karet. Ia memakannya dan memainkan kotak itu.
Aku mulai terganggu dengan suara pembuka kotak itu, dengan terpaksa aku mengakhirinya.
Sekarang giliran Alga, ia menaruh kotak itu dan mulai menulis. Ia menulis dengan cepat. Semua jawabannya singkat dan jelas.
5 menit lagi waktu habis dan untungnya tugas kami selesai.
Layla mengomentari tulisan Alga, “Cepat amat. Betul ga nih jawabannya?”
Alga menjawab, “Sudah dari tadi jawabannya kepikir." Lalu ia melihat kearahku. Aku merasa ia seperti menuduhku karena lambat.
Aku hanya diam. Itu kan terserah aku.
Ia mengambil kotak permen dan menyodorkannya padaku. “Mau?”
Layla menyambar, “Permen karet? No. Permen biasa? Yes."
Ia nyengir. Aku menggeleng. Ia kembali bertanya, “Yakin? kelihatannya kau butuh."
Aku tidak butuh permen karet, yang kubutuhkan saat ini adalah mesin waktu. Aku tetap menggeleng.
Ia mengambil kotak itu dan menyimpannya. “Kau tahu, hal-hal sederhana kadang membuat hari buruk menjadi indah." Maksudnya?
Aku tidak mengerti mengapa Alga berkata begitu. Apa mungkin karena ia mendengar perkataan Rashya sehingga ia merasa kasihan.
Kalau dipikir-pikir mana mungkin orang seperti Alga peduli denganku. Dia saja setiap hari hanya duduk diam dan tidur.
Tapi aku harus positif thinking mungkin ia hanya membalas budi atas upayaku mencari dirinya. Kalau begitu harusnya aku tidak menolak tawarannya. Argh! betapa rumitnya jadi diriku.
Semua pemikiranku lenyap ketika waktu diskusi selesai. Saatnya presentasi, aku sangat gugup. Boleh kuakui salah satu kelemahanku adalah berbicara di depan banyak orang. Jangan sampai aku salah ngomong.
Satu per satu kelompok demi kelompok maju. Sekarang giliranku. Ok, positif aja. mungkin mereka ga nge-judge lagi.
Layla memulai pembicaraan. Kelihatannya tidak ada yang memperhatikan. Sekarang giliranku menjelaskan.
Aku menarik nafas dan mengalihkan padanganku kearah jam. Mencoba untuk menutupi kegugupanku. Anggap saja aku sedang di rumah berbicara pada tembok.
Ketika aku mulai berbicara, Mike yang tadinya sedang sibuk membaca langsung memperhatikanku.
Aku sudah biasa jika Mike bertindak begitu tapi ketika melihat siswa lain mulai merasa jengkel, itu baru masalah.
Rashya tahu kalau Mike memperhatikanku, ia sengaja menguap seolah-olah membosankan.
Nada bicaraku mulai gagap dan aku mulai kehilangan kendali. Sebenarnya masih banyak yang harus dijelaskan tapi aku mengakhirinya.
Alga langsung mengambil kertas itu dari tanganku. Ia tidak sabar.
“Ehem!” ia sengaja menarik perhatian.
Seluruh siswa memperhatikan. Baru pertama kalinya ia berbicara di hadapan semua orang. Ia mulai menjelaskan dengan suaranya yang lantang.
Matanya tidak berhenti memandang semua orang. Ia seperti menyihir para penonton untuk terus memperhatikannya dan semua orang tidak menolak. Mereka seperti takjub melihat seseorang yang telah lama bisu mulai berbicara tanpa rasa gugup.
Aku berada di sampingnya tapi aku tidak bisa berhenti menengok kearahnya. Aku tidak percaya. Bukan hanya karena ia berbicara di hadapan semua orang tapi ia melanjutkan bagianku.
Ia tidak hanya melanjutkan tapi ia merangkumnya dengan singkat dan mengubah kata-kataku sehingga mudah dicerna dan tidak terdengar kaku.
Aku merasa dibantu sekaligus dijatuhkan. Apakah aku serumit itu sehingga orang lain tidak mau berteman denganku.
Alga telah banyak membantuku bahkan aku tidak pernah memintanya. Ia selalu membantu tanpa kuberitahu dan ia tidak pernah menuntut balasan. Tapi aku yang tidak tahu diri.
Aku tidak pernah menghargai upayanya dan aku selalu menganggap bahwa kehadirannya menggangguku. Betapa jahatnya diriku selama ini. Sepertinya aku harus mengubah pandanganku terhadap Alga.
Aku tidak bisa membalas apa yang telah ia lakukan. Tapi yang bisa kulakukan adalah menjadi temannya. Masalahnya bagaimana aku mengatakannya. Tidak mungkin aku langsung menyuruhnya menjadi temanku. Aku harus mendekatinya.
Saatnya pulang dan aku menunggu Alga di depan gerbang sekolah. Kira-kira dia pulang naik apa ya?
Semua siswa lalu lalang menuju gerbang depan. Alga masih belum terlihat. Sudah hampir 15 menit aku berdiri menunggunya. Ia masih tidak ada.
5 menit lagi setelah itu aku nyerah. Aku mulai gelisah, tidak sabar menunggu. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Alga!
Aku menengok. Ternyata malah Mike. “Masih belum pulang Vin?”
“Iya. Lagi nunggu," jawabku.
Ia tersenyum. “Bukannya rumahmu dekat?”
Gawat. Ga mungkin aku bilang yang sejujurnya.
Aku mencari alasan. “Ga bawa kunci. Jadi harus nunggu."
Ia berkata, “Oh. Kalau gitu mau ditemenin biar ga bete nunggu sendirian?" kemudian menaruh bola basketnya di lantai.
Double gawat.
Aku langsung menolaknya. “Gausah. Pulang aja. Takut lama”. Aku terus menekannya untuk membuatnya pergi, sepertinya dia tahu kalau aku tidak nyaman bersamanya.
Ia mengambil bola basketnya kembali. “Ok. Duluan ya. Bye”.
Aku menjawab, “Bye." Baguslah.
Tanpa kusadari, Alga sudah melewatiku ketika aku sedang berbicara dengan Mike.
Duh!
Aku harus memanggilnya. “Alga!” Ia tidak dengar.
Aku menyusulnya. Ketika sudah dekat. Aku memanggilnya, “Alga!"
Ia menoleh dan mencopot earphone-nya.
Aku melambaikan tangan. “Hati-hati di jalan. Bye”.
Ia tersenyum dan berjalan menuju parkiran.
Aku tidak menyukai senyumannya. Terlihat sengaja dibuat. Mungkin itulah mengapa ia tidak banyak bicara. Rasanya aku melupakan sesuatu. Ibu!
Nanti aku harus bagaimana. Di satu sisi, aku merasa bersalah tapi di sisi lain aku merasa tindakanku benar.
Aku harap ibu mau memaafkanku dan kami akan kembali akur. Nyatanya, kami berdua masih saling diam.
Dapur menjadi hening. Ibu sibuk memasak dan aku sibuk menyantap makanan.
Sesekali aku melihat kearahnya, berharap ia mengatakan sesuatu tapi tidak ada satu kata pun terucap darinya. Aku harus tetap mencoba.
Aku naik keatas mengambil novel dan kembali duduk. Aku sengaja duduk di sana, masih berharap Ibu mau memaafkanku.
Halaman demi halaman kucari. Kapan terakhir kali aku membaca, rasanya sudah lama sekali. Aku menelusuri tiap halaman, selalu saja ada kata-kata yang merasuki pikiranku.
Tapi aku sangat menikmatinya, seolah-olah buku ini mengerti apa yang sedang kualami. “Kesalahpahaman adalah awal dari segala pertikaian." Betul!
“Kadang kita benar tapi keadaan membuat kita terlihat salah." Sangat betul!
Semakin lama aku membaca, semakin kutemukan diriku terhisap masuk ke dalam dunia kertas yang diciptakan buku ini.
Ini adalah duniaku sekarang, tidak ada yang bisa menarikku kembali. Biarkanlah aku tinggal selamanya disini bersama buku dan aku.
***
—Doctor Psycho, Alga
Dua puluh kali panggilan tidak terjawab dan satu pesan dari paman.