All About Him

Chika
Chapter #5

Menara Hati

Doctor Psycho, Alga

Terlalu banyak tugas tidak berguna. Sementara tugas hidup belum kelar. Alga menyingkirkan semua kertas yang ada di mejanya. Aku harus fokus karena waktu semakin sedikit. Aku mengambil surat ayah dan mulai membacanya. 

“Kepada anakku Alga, 

Bangun pagi di rumah nan mewah rasanya seperti mimpi. Semua berjalan seperti yang kuinginkan. Tidak hanya pemandangan pantai yang begitu memukau tapi bertemu Sally setiap pagi juga membuat hatiku luluh.

Kamar kami berseberangan dan kebetulan aku bertemu dengannya saat keluar dari kamar. Kami berdua sama-sama baru bangun tidur.

Ia masih memakai piyama yang mirip kimono dan aku masih memakai baju tidur. Kami mengobrol sebentar, ketika kami hendak menuruni tangga. Bau gosong tercium dan bau itu berasal dari dapur. 

Kami berdua langsung lari menuju dapur, ternyata itu ulah pamanmu. Ia sedang sibuk sampai lupa kalau masakannya gosong.

Harusnya menu makan pagi kami adalah steak dengan kentang goreng tapi terpaksa jadi telur dan kentang goreng.

Aku dan Sally tidak habis pikir ia bisa masak tapi boleh kuakui walau hanya telur dan kentang goreng tapi ia bisa membuatnya seperti di restoran. 

Rasa gurih alami dan asin yang pas membuat menu sederhana ini sukses menjadi sorotan. Sayang sekali daging steak itu gosong. Kami menghabiskan hari-hari kami dengan berbagai kegiatan.

Apalagi karena tidak ada akses internet. Kami seperti balik ke zaman purba, dimana tidak ada teknologi.

Setelah makan, kami menuju ruang gym kecuali, pamanmu yang tiba-tiba saja menghilang karena ada urusan.

Dulu ketika ayah masih muda. Aku berpikir cara untuk menarik perhatian wanita adalah dengan giat berolahraga. 

Sally naik ke trackmill, ia mulai berlari. Aku tidak pernah ke gym kecuali dulu pas pelajaran olahraga maka aku berpikir untuk mencoba semuanya. Aku mulai dari mengangkat beban.

Ada berbagai banyak macam barbel. Dari yang beratnya 5 kg sampai 50 kg. Mungkin yang paling besar. Aku bersiap mengangkat, Sally melihatku. Sepertinya ini akan menarik. Aku berusaha mengangkat tapi sama sekali tidak ada pergerakan. 

Aku terus mencoba sampai akhirnya aku menyerah. Meskipun, aku tidak bisa terlihat jantan di depan Sally tapi setidaknya aku bisa membuatnya tertawa lucu melihat aksiku.

Aku dan Sally tidak punya banyak kemiripan. Tapi kami berusaha mencoba berbagai kegiatan bersama. Setelah berkeringat, kami memutuskan untuk berenang. Aku mahir berenang tapi Sally tidak. Ia hanya berendam dan melihatku berenang dari ujung hingga ujung akhir kolam.

Selain berenang kami juga membaca. Ternyata di rumah ini ada perpustakaan sehingga ada banyak buku dan majalah tersusun rapih di balik rak buku yang menjulang tinggi itu.

Sally dan aku gemar membaca. Kami memang diam tapi kami merasa nyaman ditemani satu sama lain.

Hari-hari berjalan begitu cepat sampai kami tidak sadar bahwa sudah hampir setahun terjebak di rumah ini. Akibatnya, kami jadi buta hari, tanggal, dan bulan.

Tapi aku senang akhirnya kami bisa menghabiskan waktu bersama. Hubungan kami beralih dari teman menjadi pasangan.

Aku pikir kami akan sering bertengkar karena kami berdua sama-sama keras kepala, ternyata dugaanku salah. Justru Sally semakin sabar dan pengertian.

Kami berdua tidak pernah menyangka bahwa hari ini akan tiba. Pamanmu tiba-tiba saja bertanya pada kami ketika kami sedang asyik bermain kartu. Aku masih ingat jelas perkataannya.

Ia bertanya, “Kalian sudah lama menjalin hubungan. Kenapa tidak menikah saja?”

Kami berdua tersipu malu. Jika ini yang terbaik untuk kami, mengapa tidak. Sally yang pertama membantah ucapannya dan aku tidak punya pilihan selain mendukungnya. Entah apa yang dipikirkan pamanmu sampai memaksa kami agar menikah. Ia bahkan menyuruh untuk melangsungkannya besok. 

Emosi Sally memuncak, ia mulai meninggikan suara dan memutuskan untuk pergi. Aku harap ia tidak marah denganku dan berpikiran bahwa ini semua adalah rencanaku. Pamanmu hanya menanggapinya dengan santai, ia mengambil minuman di kulkas.

Rasanya hatiku hancur, aku merasa bersalah. Aku memutuskan untuk naik, sebelum aku naik ia malah sempat menasehatiku untuk tidak memasukannya ke dalam hati.

Hari sudah larut malam dan aku tidak bisa tidur. Pikiranku tertuju pada Sally. Aku rela melanjutkan hubungan ini daripada melihatnya pergi dari hidupku selamanya. Tak kusangka hari sudah berganti pagi.

Sally masih tidak keluar dari kamarnya. Aku mulai khawatir karena ia telah melewatkan makan pagi dan aku tidak mau ia jatuh sakit. Jadi aku memutuskan untuk berjaga di depan pintu kamarnya. 

Supaya tidak bosan aku berjaga sambil membaca buku. Sudah hampir satu hari aku duduk di depan pintu. Ia tidak juga keluar bahkan ia tidak makan. Firasatku mengatakan ada yang tidak beres.

Aku memutuskan untuk membuka paksa pintu. Walaupun usahaku tidak membawakan hasil tapi aku senang Sally meresponku. Ia tidak membuka pintu tapi ia menyelipkan sebuah kertas. Aku langsung membacanya.

Jadi ia tidak mau diganggu. Aku mengambil pena dan menasehatinya. Aku menyuruhnya untuk makan dan berolahraga. Sekarang aku mengerti, ia hanya butuh jarak.

Mungkin ia sangat gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. Kalau ini yang ia butuhkan maka aku akan memberikannya. Tapi jangan lupa, aku senantiasa menunggumu disini.

Semenjak ia meresponku, ia mulai keluar kamar. Aku mengatur supaya kami tidak saling bertemu. Aku lega melihat dirinya yang kembali pulih. Ia tetap melakukan kegiatan seperti biasa dan aku hanya bisa mengawasinya dari jauh. 

Seperti proses metarmofosis yang mengubah seekor ulat menjadi kupu-kupu. Begitulah perkembangan Sally. Kami berdua saling menyiapkan mental. Jarak bukanlah akhir tapi awal.

Awal dari proses menuju dewasa. Di hari yang tidak kusangka, Sally mulai berbicara padaku. Ia berjalan menuju pantai. Ia tahu aku mengawasinya dari balkon jadi ia menyuruhku untuk turun dan menemaninya.

 Aku segera turun dan berjalan mendekatinya. Setelah kami melihat pemandangan, ia mulai berbicara tentang perasaannya. Awalnya ia meminta maaf karena telah menjauhi diriku.

Kemudian ia mulai menceritakan tentang kegundahannya, betapa ia merindukan keluarganya dan segala penyesalan akibat pilihan hidupnya.

Aku hanya bisa menasehatinya tanpa memaksanya. Ia merasa sangat rapuh dan tidak berdaya, begitupun aku.

Sesaat kami saling menatap. Mata kami saling bertemu. Aku bertekad untuk mendekatinya, ia juga. Dibawah langit senja kami saling berpelukan.

Ia berbisik padaku dan aku masih mengingatnya. "Ketika aku menanda-tangani kontrak itu, aku tahu bahwa aku akan terikat seumur hidup pada pamanmu dan padaku."

Aku merasa sangat bahagia karena itu adalah jawaban yang selama ini kutunggu. Sejujurnya ini adalah salah satu momen paling bahagia di dalam hidupku.

Esoknya kami meminta restu dari pamanmu. Tanpa persiapan dan kartu undangan pernikahan kami dilangsungkan.

Tidak ada hal istimewah hanya taman yang dihiasi lampu dan pita agar terlihat resmi. Sally hanya memakai gaun putih resmi dan aku memakai setelan jas.

Tidak ada tamu undangan hanya kami bertiga ditemani kotak berisi cincin pernikahan dan gelas berisi sampanye.

Supaya keluarga kami tidak curiga maka setelah isolasi ini selesai. Kami akan mengadakan pesta resmi. Sekarang hanyalah janji suci antara aku dan Sally. Janji yang menjagamu agar kau hadir di dalam dunia ini."

***

Sunshine, Alvina

Badanku lemas tapi aku tidak bisa tidur. Ini sudah subuh dan aku masih mengerjakan tugas fisika.

Mungkin seharusnya aku mencontek teman tapi masalahnya aku tidak punya teman yang mau diajak kerjasama.

Ada yang memperhatikanku dari balik pintu. Aku tahu pasti ibu. Ia sangat khawatir karena aku belum tidur. 

Rasanya aku ingin memejamkan mata sebentar tapi aku tahu itu adalah godaan karena kalau aku menurutinya maka aku akan terpejam selamanya sampai siang nanti.

Masih ada sekitar lima puluh soal lagi. Aku melihat jam. Masih keburu nanti aku bisa tidur sebentar. Waktu berlalu dan tugasku belum selesai hanya tinggal 2 jam lagi pukul tujuh. Hari ini aku tidak diizinkan tidur. Untung saja masih keburu jadi aku tidak telat ke sekolah.

Aku masuk ke dalam kelas, banyak yang belum datang. Mungkin mereka telat akibat tugas fisika yang super duper banyak.

Tumben Alga tidak telat atau jangan-jangan dia sengaja datang pagi supaya bisa nyontek. Masih pagi, jangan berpikiran buruk.

Entah mengapa dua hari ini, kelas kami tertimpa kesialan dan semua berawal dari keterlambatan.

Untungnya kali ini tidak menimpaku. Aku tidak kebayang jika aku begadang lagi, belum tentu besok aku masih hidup. 

Ketika makan pagi tiba, para siswa sibuk mengerjakan tugas ketimbang jajan di kantin bahkan Layla juga memilih untuk memanfaatkan waktu ketimbang main handphone.

Sebenarnya Layla bisa saja minta bantuanku tapi ia memilih untuk mengejakannya sendiri.

Kalau dipikir-pikir aku juga tidak tega jika aku memberikan seluruh upaya dan perjuanganku demi tugas itu untuk dicontek.

Aku pun makan. Baru saja beberapa suap, sudah ada saja yang menganggu. Sudah pasti Alga.

Ia menghampiriku. “Boleh pinjam tugas fisika?”

Lihat selengkapnya