—Sunshine, Alvina
Aku terbangun akibat bunyi piano yang menggelegar di kupingku. Sepertinya tidak semuanya menenangkan ada juga pelepasan.
Aku mencopot earphone-ku dan mengecas handphoneku. Sudah kupakai setengah hari dan baterainya lemah.
Saatnya aku mandi dan bersiap. Ketika aku menggosok gigi, aku mengaca. Aku mengelap cermin itu. Sudah bertahun-tahun tidak pernah kubersihkan.
Aku jarang sekali mengaca. Aku tidak pernah mempedulikan tentang penampilanku apalagi saat berangkat sekolah.
Aku menyisir rambutku dan mengikatnya ke belakang. Ini adalah gaya rambutku dan aku tidak peduli jika orang lain bosan melihatnya.
Aku turun. Ibu sudah pergi duluan jadi aku mengambil titipannya dan berangkat ke sekolah.
Sepanjang jalan aku berpikir apa yang akan aku bicarakan pada Alga. Aku tidak akan membuka kehidupanku padanya, mungkin aku akan mulai pada konflik kelas.
Aku lihat responnya jika ia tidak menangkap maksudku maka ia bukan orang yang tepat sama seperti Layla.
Di dunia yang begini luas sulit sekali mencari seorang teman yang tepat.
Seseorang yang bisa mengerti tanpa harus menjelaskan panjang lebar. Seseorang yang selalu berada di sisiku disaat aku membutuhkannya atau mungkin di setiap momen hidupku.
Sayangnya selama tujuh belas tahun aku hidup belum ada yang mendekati kategori itu.
Aku masuk ke dalam kelas. Aku melihat sekelilingku. Wajah mereka terlihat senang ketika bertemu teman mereka tapi tidak semua.
Beberapa dari mereka terlihat melontarkan senyuman palsu, padahal di dalam hati mereka berkata lain.
Aku melihat Layla. Ia selalu sibuk dengan handphonenya. Kapan kau sadar kalau aku ini temanmu.
Aku melihat bangku Alga. Mungkin itu mengapa ia tidak mau bergaul karena ia lelah melihat dunia dan ia terjebak di dalam dirinya sendiri tak tahu kapan bisa keluar.
Ia seperti diriku dan sekarang aku baru memahaminya. Lima menit sebelum bel berbunyi ia masuk.
Aku ingin menyapanya tapi aku tidak mau terlihat oleh yang lain. Aku diam-diam memperhatikan dirinya. Kita ini senasib.
Tak lama, Mike masuk ke dalam kelas. Biasanya kalau dia masuk paling terakhir pasti ada pengumuman penting.
Ketika Mike berdiri di depan, semua orang langsung diam. “Hari ini ada rapat osis setelah pulang sekolah. Jadi bagi yang bertugas jangan pulang dulu. Makasih."
Ia lalu kembali duduk. Pelajaran dimulai. Kalau nanti pas pulang sekolah ada rapat aku tidak bisa bicara pada Alga.
Apa ini adalah tanda bahwa ini ide yang buruk. Aku melihat kearah Layla yang sedang sibuk menulis. Lalu kearah Rashya yang sibuk memainkan kuku jarinya. Kemudian, aku melihat bukuku.
Jika aku hanya diam maka itu artinya aku menerima. Sampai sejauh mana aku akan bertahan dalam kondisi seperti ini.
Lambat laun aku mengkhawatirkan nilaiku yang semakin hari semakin menurun. Apa aku akan diam sampai akhirnya aku menerima surat dari kepala sekolah bahwa beasiswaku dibatalkan.
Bagaimana dengan ibu. Ia pasti akan sangat kecewa dan aku hanya akan menambah beban di kepalanya untuk membiayaiku sekolah. Perjuanganku selama ini akan sia-sia.
Tiba-tiba Alga muncul dari pikiranku. Kata-katanya terngiang kembali di telingaku. “Jika ada hal yang ingin kau sampaikan. Kau boleh ceritakan padaku." Baiklah, aku akan mengambil kesempatan ini.
Waktunya makan pagi, karena Layla bawa bekal jadi kami makan di kelas. Kelas sepi hanya ada beberapa orang. Alga keluar dari kelas.
Aku melihat kearah Layla, ia sedang sibuk dengan handphonenya lagi. Aku harus mengambil tindakan. Aku membungkus bekalku dan menaruhnya di dalam tas. Lalu aku pergi menyusul Alga.
Aku membuka pintu, menengok ke kiri dan kanan. Dimana Alga? aku berjalan menuju lorong. Lalu aku melihat seseorang memakai hoodie. Itu pasti Alga.
Aku mendekatinya. Ia sedang melihat kearah lapangan.
Ia bertanya, “Kau tidak makan?”
Aku menjawab, “Aku tidak lapar."
“Ayo, ke kantin," ajaknya.
Aku mengikutinya. Jangan belikan aku makanan lagi karena ada hal yang lebih penting dari sekadar makan. Kami menuju kantin dan duduk. Awalnya kami saling diam.
Tak lama ia bicara, “Apa yang ingin kau sampaikan?”
Baguslah ia tidak tanya aku mau apa. Aku mencoba mengatur kata-kata. “Aku tidak tahu harus mulai darimana. Tapi...”
Baru saja aku mulai ia sudah memotong, “Bukan itu yang kumaksud. Aku tidak peduli jika kau punya banyak masalah tapi aku hanya memberimu satu saran. Jangan mudah teralihkan. Sebenarnya kau dapat mencapai lebih tapi kau memiliki satu kekurangan. Jika kau berada di lingkungan yang tidak suportif. Kau mudah terganggu. Itu sebabnya kau selalu menjadi sasaran empuk."
Aku tidak menyangka ia memperhatikan ku, padahal aku tidak pernah menceritakannya. Saran Alga sangat mengenai diriku. Ini baru satu hal belum lainnya.
Aku membalas, “Lalu aku harus bagaimana?”
Ia tertawa. “Kau harusnya bertanya pada dirimu sendiri. Aku hanya sekadar mengingatkan."
Ia lalu pergi meninggalkanku. Meskipun, jawabannya tidak terlalu tepat tapi itu masuk akal. Aku harus mengintropeksi diri. Aku harus kembali ke jalurku.
Aku sudah lama tersesat dan Alga menerangi jalanku. Ia menasehatiku agar aku kembali. Jalur ini sudah lama kutempuh tapi karena akhir-akhir ini ada banyak gangguan aku berjalan kearah yang salah.
Saatnya aku kembali. Ini akan sulit tapi aku yakin aku bisa melewatinya. Aku kembali ke kelas. Aku melihat Rashya dan teman-temannya. Kau pikir kau bisa mengontrolku selamanya? pikir lagi.
Pelajaran dilanjutkan. Hari ini ada kuis biologi. Sebenarnya kuis tidak sepenting ulangan hanya untuk menambah nilai yang kurang. Belakangan nilaiku menurun jadi aku membutuhkannya. Aku harus ingat saran Alga. Jangan mudah teralihkan. Ok. Fokus, Vin.
Aku mulai menyatukan pikiranku. Semua kata terapung-apung di dalam kepalaku. Otakku memproyeksikan gambaran sel, organ, dan molekul.
Semua membantuku agar aku bisa menjawab kuis ini, ternyata hanya sebuah dukungan yang kuperlukan. Tak terasa sudah waktunya makan siang, semua orang langsung bubaran. Tidak ada yang tahan berada di kelas.