—Sunshine, Alvina
Bayangan ranting pohon masuk ke dalam kamarku. Ranting itu tertiup angin begitu juga bayangannya yang kian lama makin mendekat ke ranjangku.
Aku bangun karena mendengar kicauan burung yang pergi dari pohon itu. Pipiku basah karena menangis kemarin. Aku mengelapnya. Apa seharusnya hari ini aku bolos saja?
Aku menggeleng. Pikirkan nasib pendidikanmu! aku diam sejenak dan berpikir. Aku berdiri menuju kamar mandi. Sekarang atau tidak pernah.
Ketika aku bersiap aku teringat kalau hari ini ada pelajaran olahraga. Untung aku ingatnya sekarang jadi aku masih sempat ganti seragam.
Aku melipat seragamku dan memasukkannya di dalam tas. Aku turun. Ibu belum berangkat kerja.
Aku duduk dan sarapan. Ia lalu bertanya, “Kemarin kamu tidak makan, Vina?”
Aku terpaksa berbohong. “Iya, kemarin aku tidak enak badan jadi aku ketiduran." Ibu tersenyum. Sepertinya dia tahu aku berbohong.
Sehabis makan aku langsung pergi. Sepanjang jalan aku tidak bisa berhenti memikirkan Rashya dan yang lainnya. Aku tidak tahu apa lagi yang mereka perbuat, yang jelas mereka tidak akan berhenti sampai mereka tahu yang sebenarnya.
Aku menuju kelas. Dari parkiran sampai lobi semua anak yang mengetahui kejadian itu melihatku. Aku sudah menebak isi pikiran mereka.
Aku berjalan dengan rasa canggung. Berusaha untuk tidak menatap balik mereka. Ayolah cepat.
Aku diam membeku ketika sampai di depan loker. Pintu depan lokerku dipenuhi oleh sticky note yang sengaja ditempel. Aku tidak mau membacanya karena aku tahu isinya hanya membuat sakit hati.
Jadi aku membuka loker dan membereskan buku. Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Kakiku gemetar saat aku ingin masuk ke dalam kelas. Ayo masuk!
Aku mengumpulkan keberanianku dan masuk. Semua orang di dalam kelas melihatku. Aku langsung duduk. Ketika aku duduk mereka mulai berbisik.
Aku tahu apa yang mereka bicarakan karena mereka berulang kali menyebut namaku. Layla dan Alga belum datang, mungkin mereka telat.
Aku tidak berani menengok ke sekelilingku walaupun ada yang memperhatikanku dari tadi. Aku memutuskan untuk mengambil handphoneku.
Aku teringat Alga yang sering memakai earphone. Aku mengambil earphone-ku dan mendengarkan lagu. Lagu klasik ini tidak begitu membantuku tapi setidaknya pikiranku jauh dari hal negatif.
Bel berbunyi semua orang langsung kembali ke meja mereka. Tak lama ada yang membuka pintu, ternyata Alga.
Semua orang mengira itu adalah pak May. Ada yang salah dengan dirinya, ia memakai seragam sekolah seharusnya ia memakai seragam olahraga.
Mike lalu masuk. “Semua disuruh ke lapangan." Semua orang langsung menuju lapangan.
Aku menunggu yang lain pergi duluan jadi aku jalan paling belakang. Aku berjalan sendirian dan aku membutuhkan Layla sekarang. Dimana dia ketika aku membutuhkannya.
Semua berkumpul di lapangan dan aku menyusul. Pak May mulai berbicara, “Disini sehat semua atau ada yang alergi?”
Beberapa diantara mereka tersenyum yang lainnya menjawab tidak.
Aku mengangkat tangan. Semua orang melihatku. Pak May melihat papan nilai. “Nama kamu Alvina, bukan?”
Aku menjawab, “Iya, Pak."
Ia menunjuk kearah gazebo. “Kalau gitu kamu gabisa ikut. Kamu duduk disana. Nanti Bapak kasih tugas tambahan buat kamu supaya bisa input nilai."
Aku manggut dan menuju gazebo. Alga menyela, “Saya ga bawa seragam, Pak."
Pak May geleng-geleng. “Kamu juga duduk disana. Nanti kamu saya kasih tugas tambahan plus hukuman." Ia menggaruk kepala dan menyusulku.
Aku duduk di gazebo dan Alga ikutan duduk. Aku melihat mereka yang mulai pemanasan.
Alga juga mengawasi mereka dan melihat kearahku. “Kok mukamu pucat?”
Saat ini aku tidak mau bicara pada siapapun tapi aku tidak mungkin cuekin Alga.
“Ya. Banyak pikiran," jawabku ketus.
Ia nyengir. “Jadi wanita itu tidak enak selalu disalahkan. Untung aku bukan wanita."
Ia seperti memancingku. “Ya. Beruntunglah kau jadi laki-laki. Tidak perlu menjelaskan panjang lebar cukup bersikap cuek dan semua orang langsung mengerti."
Ia menggeleng. “Tidak semua orang mengerti. Kau harus paham kalau manusia memiliki pribadi dan sifat yang saling berbeda. Begitu juga dengan daya pikir mereka. Kau tidak bisa satukan semuanya sesuai dengan keinginanmu."
Aku semakin terpancing. Kau tidak tahu apa-apa. “Kau pikir aku tidak mau semua berjalan sesuai keinginanku. Masalahnya semua orang mudah termakan isu tanpa bertanya pada sumbernya langsung."
Ia diam. Aku merasa tidak enak karena telah memarahinya. “Maaf aku jadi begini. Aku tidak bermaksud hanya saja belakangan ini ada banyak masalah," ucapku lirih.
Ia menjawab, “Sebenarnya aku tidak peduli dengan masalahmu tapi dengan begini banyak waktu kita tidak mungkin diam saja. Terpaksa aku mendengarkan semua keluhanmu." Keluhan?
Tiba-tiba saja aku tertawa. “Keluhan? kau pikir aku pasienmu. Baiklah kau benar juga. Aku akan menceritakannya. Terserah kau mau menganggapku apa."
Ia melihatku dengan heran. “Kau belum bercerita bagaimana aku sudah beranggapan."
Aku menghela nafas. “Ok. Kejadian ini dimulai saat aku pulang dari rapat osis. Mike tiba-tiba mengejarku dan ia ingin mengatakan sesuatu padaku. Awalnya aku takut tapi aku pikir untuk menghadapinya. Tiba-tiba saja dia menyatakan cintanya padaku."
Aku tidak bisa melanjutkan, mataku berkaca-kaca. Ia terkejut mendengar ceritaku. Ia lalu berkata, "Lalu kau jawab apa?”
Aku mengusap mata. “Aku menolaknya dan ada yang diam-diam memotret kami. Ia lalu menyebarkan foto itu ke semua orang di sekolah ini." Haruskah aku menceritakan perbuatan Rashya?
Ia bangkit berdiri. Aku bertanya, “Mau kemana?”
Wajahnya berubah, ia penuh amarah. Kedua tangannya mengepal seolah ingin membalas dendam.
Aku berdiri dan menghalanginya. “Alga! mau ngapain?”