All About Him

Chika
Chapter #11

Stand Up

Sunshine, Alvina

Bantal dan guling berjatuhan di lantai. Aku tidak berhenti bergeser. Kepalaku menghadap jam sepuluh dan kakiku menghadap jam empat. Selimutku hampir jatuh. Jam menunjukkan pukul 12.00 siang dan aku masih tidur.

Ibu membuka pintu, ia pikir aku sudah bangun. Aku kaget mendengar bunyi pintu yang keras terbuka.

Brak!

Aku langsung duduk. Ibu kaget melihatku baru bangun tidur. “Ibu pikir kamu sudah bangun."

Aku mengucek mata lalu bangun dari kasur. Ibu menaruh cucian bersih yang sudah dilipat di lemari baju.

Aku kaget melihat ibu bersiap membuka lemari itu. Aku langsung mencegahnya. “Bu, sama Vina aja."

Ibu menaruh pakaian itu di ranjang lalu membawa keranjang baju itu. “Ok."

Lalu menutup pintu. Aku langsung membuka lemari itu. Untung saja helm itu masih disana.

Aku harus menutupinya. Aku mengambil tas kain dan memasukkan helm itu ke dalamnya lalu menaruhnya kembali ke dalam lemari. Oh, ya!

Aku mengambil tumpukan cucian dan menyusunnya di dalam lemari lalu menuju kamar mandi.

 Baru saja aku menutup pintu kamar mandi. Sudah ada telepon masuk. Nanti aku angkat.

Telepon itu benar-benar mengangguku.Ia tidak berhenti berbunyi, aku hanya khawatir jika ibu mendengar dan mengangkatnya. Kira-kira siapa ya? bisa jadi Layla atau …

Aku harus cepat jika itu Alga dan Ibu mengangkatnya aku bisa kena makian. Aku langsung mandi dengan cepat. Setelah itu aku mengambil handphoneku. Tuh kan benar, Alga!

Aku mengangkatnya, “Halo."

Ia menjawab, “Aku tidak bisa mengerjakan tugas fisika kemarin."

Aku bertanya, “Bukannya kemarin sudah kita bahas?”

Ia lalu menjawab, “Iya. Tapi kau tidak bahas pr kemarin."

Aku menepuk dahiku. Aku lupa mengajarinya. “Aku tidak bisa pergi lagi. Bagaimana kalau senin aja pas makan pagi?"

Ia tidak setuju, “Ini ada banyak waktunya tidak cukup."

Aku berpikir sejenak. Tak lama muncul ide di kepalaku. “Gimana kita video call aja? kalau vidcall aku bisa."

Ia setuju, “Ok. Sekarang?” aku belum makan.

“Nanti saja. Aku makan dulu. Entar aku telepon lagi," ucapku.

“Ok," jawabnya. Ia lalu mematikan telepon. Aku turun ke bawah. Ibu sedang bersantai di sofa sambil menonton TV. “Itu makanannya sudah siap," ujar ibu.

Aku menuju dapur. “Iya," jawabku.

Aku menyendok nasi dan makan. Setelah itu aku cuci piring. Aku harus membuat denah belajar karena ia sulit mengerti.

Aku naik keatas dan mengambil buku fisika di dalam tasku. Nanti setelah vidcall aku akan buat.

Sebelum aku menyalakan handphone aku melihat kamarku yang berantakan bukan main. Aku harus bersihkan dulu walaupun cuman tatap muka tetap saja aku harus kelihatan resik.

Aku mau vidcall dimana ya? masa di ranjang. Aku ga terlihat professional. Di mejaku sajalah.

Ketika aku duduk, aku terkejut melihat begitu banyak barang di meja. Aku membereskan satu per satu dan memasukannya ke dalam laci. Nah ini baru rapih. 

Aku menaruh handphone di tengah meja dan mengganjalnya dengan kotak tissue. Dari layar handphone, ranjangku terlihat jelas.

Aku habis bangun tidur dan lupa membereskannya. Aku menuju ranjang mengambil guling dan bantal yang berserakan di lantai dan merapihkannya. Mimpi apa aku semalam?

Aku kembali duduk. Oh ya, satu hal! akumenguncir rambutku. Aku tidak mau kelihatan sok cantik di depan Alga. Aku lalu memencet tombol video call. Tidak lama ia mengangkatnya.

Aku menggunakan kamera depan, ia memperlihatkan mejanya yang penuh kertas dan buku. Kelihatannya dia mencoba sebelum meneleponku.

Ia lalu berkata, “Aku hanya bisa mengerjakan satu soal dari dua puluh."

Gambarnya kelihatan buram. “Coba zoom." Ia lalu memperjelas. 

Aku melihat soal pertama yang ia kerjakan. “Ini benar, yang kedua juga sama tapi bedanya hasil akhirnya di konversikan."

Ia mengambil kertas kosong dan mulai mengerjakan. Ketika ia selesai, ia memperlihatkannya padaku. “Nah, itu bisa!"

Ia terlihat senang dan menulis jawabannya.

Ia lalu berkata, “Seharusnya aku memilih IPS." Ia masih menyesalinya. 

Aku bertanya, “Kenapa kau begitu yakin kalau kau akan lebih pintar?”

Ia menjawab, “Aku lebih hebat dalam mengafal daripada menghitung." Aku diam.

Ia lalu menggeleng. “Lupakan saja. Aku hanya stress." Aku kasihan melihatnya begitu stress karena IPA.

Dari mulutku terlontar sesuatu, “Jangan putus semangat. Aku disini membantumu jika kau masih tidak paham maka aku akan terus berada di sampingmu. Menjelaskan semuanya sampai akhirnya kau paham." Ia diam karena terkejut mendengar ucapanku. 

Ia hanya menjawab, “Kalau begitu buatlah aku mengerti." Hampir dua jam aku mengajarinya. Memang ia tidak langsung mengerti tapi setidaknya ada peningkatan.

Bibirku kering dan aku merasa haus. Ia masih sibuk mengerjakan. “Aku minum dulu, ya." Ia mengangguk.

Aku turun dan mengambil gelas. Ibu yang penasaran bertanya, “Kamu lagi teleponan sama teman kamu?” kok tahu?

Aku mengangguk dan menuang air minum. “Teman kamu Layla?”

Rasanya aku ingin menyembur tapi aku harus menelannya. “Iya, Bu." Lalu aku bergegas naik.

Untung saja suara Alga tidak terdengar jelas. Aku masuk dan menutup pintu lalu menguncinya. 

Aku tidak pernah mengunci pintu kamar sebelumnya tapi karena hari ini ada Alga jadi aku harus melakukannya.

Aku kembali dan Alga masih sibuk mengerjakan. “Kalau ada yang tidak paham kau boleh tanya."

Ia terlihat serius mengerjakan dan aku mulai bosan. Aku memikirkan denah belajar Alga. Aku memutuskan untuk membuatnya sekarang jadi aku mengambil selembar kertas A4, penggaris, dan spidol lalu membuat tabel kotak.

Aku mengisinya dengan materi belajar supaya aku mendapat gambaran. Kami berdua diam karena sibuk mengerjakan urusan kami masing-masing. Sakin sibuknya aku sampai lupa kalau kami masih video call.

 Ia lalu memecah keheningan. “Tinggal dua soal lagi. Kau boleh istirahat."

Aku melihat kearahnya. “Kau yakin, kau bisa?” tanyaku.

Ia menjawab, "Yakin."

Aku melambaikan tangan. “Ok. Bye." Ia lalu mematikan teleponnya.

Aku kembali mengerjakan denahku. Hari sudah hampir sore akhirnya, aku selesai. Aku melihat hasil karyaku. Hanya spidol hitam yang memenuhi kertas ini. Aku tidak pintar menghias. 

Aku menaruhnya di dalam map lalu aku memasukannya di dalam tas. Sekarang tidak ada yang bisa kukerjakan. Aku kesepian lagi, ternyata mempunyai seorang teman tidak seburuk bayanganku.

Aku penasaran sampai kapan pertemananku dengan Alga akan berakhir tapi kalau berakhir aku tidak kebayang Alga menjauhiku lalu ia berteman dengan yang lain. Bisa saja dia hanya memanfaatkanku.

Tapi kalau dipikir-pikir kejadian kemarin membuatku sadar bahwa ia juga kesepian tapi ia tidak mau orang lain masuk ke dalam hidupnya. Kenapa?

Mungkin karena ia takut kehilangan mereka seperti apa yang telah menimpanya.

Aku membatasi pergaulanku karena aku ingin terus berada di dalam kesendirianku tapi lama-lama aku sadar bahwa aku terjebak di dalam pusaran badai yang tak berujung, kecuali aku melawannya.

Hanya saja aku tidak yakin kalau aku mempunyai keberanian yang cukup untuk melakukannya. Aku berbaring karena bimbang dengan keputusanku cepat atau lambat aku akan memutuskan.

Lihat selengkapnya