—Sunshine, Alvina
Hari-hariku berjalan seperti biasanya hanya saja belakangan ini aku sibuk karena ada kegiatan osis. Waktu break kami hanya satu kali.
Semakin hari, semakin banyak kegiatan jadi aku memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.
Sudah pasti aku makan karena aku harus jaga kesehatan. Hanya saja aku tidak bisa mengajari Alga. Kuharap ia bisa belajar sendiri.
Jika dilihat dari orangnya, ia adalah orang yang tekun dan dia pasti belajar walau tak kusuruh jadi aku tidak perlu khawatir.
Aku duduk menunggu yang lain selesai makan. Sebenarnya aku suka kegiatan ini tapi hatiku berada di tempat lain. Ia seperti mencari sesuatu.
Aku tidak tahu apa itu, yang jelas ada sesuatu di dalam diriku yang mencarinya. Aku mengalihkan pikiranku. Menjadi perempuan itu sulit karena kami selalu menjadi korban para lelaki, terkecuali ayahku dan mungkin Alga.
Mukaku merah. Aku menggeleng. Aku baru mengenalnya beberapa bulan jadi aku tidak boleh mempercayainya begitu saja.
Tapi kalau dipikir-pikir Alga tidak pernah jahat padaku. Justru kebalikannya. Itulah sebabnya kami berteman.
Aku senyam-senyum sendiri. Untung tidak ada yang memperhatikan kalau tidak aku nanti dikira orang aneh.
Waktu istirahat telah selesai. Ketua osis mendatangi kami lalu kami kembali pada perkejaan kami masing-masing. Aku disuruh ke ruang guru untuk meminta izin mengambil sound system di ruang musik.
Aku menuju ruang guru dari balik pintu terdengar suara tawa dan percakapan. Ada banyak orang di dalam. Pantas saja mereka menyuruhku.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya lalu merapihkan seragamku. Aku mengatur kata-kataku supaya aku tidak dikritik.
Aku sangat gugup karena aku tidak mau membuat kesalahan. Kesalahan sekecil apapun akan dibahas nantinya dan aku tidak mau ini jadi masalah.
Reputasi memang penting karena aku adalah salah satu penerima beasiswa di sekolah ini. Di kelas aku sudah menjadi sasaran empuk. Jangan sampai di hadapan guru aku dijadikan sasaran dropout.
Aku harus menyampaikan pesan ini dengan betul karena sebentar lagi aku akan memasuki kandang harimau.
Aku mengetuk pintu selama tiga kali lalu diam menunggu respon mereka. Salah satu guru di dalam berteriak, “Masuk."
Aku membuka pintu lalu menutupnya dengan perlahan. Aku berdiri di depan mereka. Semua guru menatapku seolah aku adalah santapan mereka.
Aku harus menyampaikan dengan cepat, singkat, dan jelas. “Ibu dan Bapak. Maaf mengganggu. Saya Alvina dari anggota osis mau meminta izin untuk mengambil sound system di ruang musik."
Tanpa bantahan guru musik, yaitu Pak Rizal langsung mengambil kunci di dalam kantong celananya.
Aku mengambilnya lalu pamit, “Terima kasih, Pak nanti saya kembalikan." Aku langsung berbalik menuju pintu dan menutupnya dengan pelan.
Aku merasa sangat lega. Sekarang kakiku lemas akibat terlalu gugup. Aku langsung menuju ruang musik. Anggota osis lainnya sedang menungguku.
Aku membuka pintu itu, mereka segera menyambar sound system itu dan menggotongnya. Aku menunggu mereka keluar lalu mengunci pintu.
Salah seorang dari mereka berkata, “Kuncinya jangan dibalikin dulu. Takut masih ada yang mau diambil."Aduh!
Aku harus menyimpan kunci ini sampai nanti pulang. Aku takut nanti kawanan Rashya atau orang lain yang berniat jahat padaku mengerjaiku.
Aku menggenggam kunci itu dengan erat supaya tidak terjatuh atau tertinggal. Telapak tanganku berkeringat. Aku harus cari cara untuk mengamankan kunci itu.
Aku berjalan menuju loker. Awalnya aku berniat menyimpannya disini tapi aku teringat dengan kejadian sebelumnya. Dimana ada yang meretas lokerku. Tidak aman.
Aku mengambil kunci itu lagi dari loker. Aku diam. Berpikir dimana tempat yang tepat. Tiba-tiba aku teringat seseorang. Kujamin pasti aman.
Aku menuruni tangga lalu menuju lapangan. Ketua osis sedang sibuk mengawas. Aku berjalan kearahnya. Ia melihatku tapi ia diam saja.
Aku berkata, “Kak, ini kunci ruang musik." Belum selesai aku bicara. Ia sudah mengambilnya. “Biar saya yang simpan karena itu tanggung jawab saya," ujarnya. Lalu menaruhnya di kantong celana. Untung ia mengerti.
Tugasku sudah beres. Jika masih ada yang berani maka itu bukan tanggung jawabku lagi karena ia sendiri yang mengatakannya.
Lapangan mulai ramai karena ada banyak pekerja yang memasang dan mengangkut barang. Semua sibuk mempersiapkan stand.
Aku membantu mengawasi para pekerja. Ada juga orang tua siswa yang menyewa stand disini dan ketua osis sibuk mengobrol dan mengarahkan.
Meskipun ini baru gladi bersih, bazar ini mulai terlihat menarik. Aku yakin pasti akan ada banyak orang yang berdatangan. Mike sibuk dengan urusan panggung. Ia sedang memasang latar panggung dengan umbul-umbul.
Tidak mungkin ia bisa mengerjakannya sendiri, harus ada yang memegang umbul-umbul itu dan mengikatnya. Aku harus membantunya karena aku satu-satunya yang menganggur.
Aku berjalan kearahnya. Ia ingin naik ke atas kursi itu sambil memegang umbul-umbul. “Biar aku yang naik dan kau yang mengikatnya," ujarku. Ia turun dan memberikan umbul-umbul itu.
Aku naik keatas kursi dan memegang umbul-umbul itu, ia jongkok dan mengikatnya. Begitu juga di sisi sebelahnya.
Aku sibuk dengan urusanku jadi aku tidak tahu ada yang memperhatikanku. Aku melihat kearah teras, ternyata dugaanku benar. Itu Rashya. Kali ini ia sendirian, ia melihatku dengan ketus sepertinya ia murka.
Bibirnya mengucapkan sesuatu tapi aku tidak bisa membacanya. Aku hanya menatapnya dengan heran lalu ia memalingkan muka dan pergi. Pasti ia akan melaporkan kejadian ini pada temannya.
Selalu saja ketika aku sedang bersama Mike, ada saja yang melihat kami. Pasti ia menungguku di loker atau di lobi saat semua orang sudah pulang.
Tasku di ruang osis jadi tidak masalah. Aku bisa kabur ketika mereka sedang lengah. Bel berbunyi, waktunya pulang.
Ketua osis menyuruh kami pulang duluan karena ia kasihan dengan kami. “Hari ini adalah hari terakhir persiapan. Kami semua telah bekerja keras. Kalian pulang duluan saja. Saya ambil alih dari sini. Ingat tetap jaga kesehatan."
Kami semua bubar, kecuali Mike. Ia ingin menemani ketua osis. Aku menuju ruang osis untuk mengambil tas. Setelah itu aku langsung pulang. Baru saja aku sampai di depan lobi.
Rashya dan kawan-kawan sudah bersiap mengepungku karena aku sudah lelah aku mencoba menghindar. Aku seperti pemain bola yang mencoba menembus lawan.
Aku memegang tasku dengan erat dan bersiap untuk lari. Mereka mengepungku secara perlahan. Dua di kananku dan dua lagi di kiriku lalu di tengah adalah Rashya. Aku diam. Mereka mendekatiku, aku melihat gerak-gerik mereka.
Jika aku tidak lari mereka akan menghajarku secara fisik. Aku bersiap untuk lari. Pertama aku lari ke sebelah kiri Rashya. Dari sebelah kanan seorang temannya menangkap tanganku.
Ia tidak melepas genggamannya dan ia menarikku agar aku nurut. Terpaksa aku memakai cara ini. Aku berteriak dengan kencang, “Mike!” mereka semua menengok ke belakang. Ini saatnya.
Aku melepas cengkramannya dan lari. Ia berteriak, “Dasar!"
Aku lari sampai keluar gerbang. Ketika aku sudah masuk ke dalam perumahan. Aku berhenti. Jantungku berdetak sangat kencang.
Aku jongkok sambil menenangkan diriku. Hanya kali ini saja aku lari. Lain kali aku tidak mau lari lagi. Aku hadapi saja. Lebih baik bonyok daripada jantungku yang bermasalah.
Besok adalah hari gladi resik acara. Aku harus jaga kesehatan dan selama satu minggu ke depan aku tidak boleh sakit. Setelah hampir 15 menit, aku bangkit berdiri dan berjalan pulang. Sesampainya di rumah, aku langsung makan dan mandi.
Aku sangat lelah jadi aku ingin tidur. Aku berbaring di ranjang dan membiarkan wajahku menghadap bantal. Aku baru saja memejamkan mata, ada yang meneleponku.
Aku bangun dengan kesal. Aku mengambil handphone dan melihat, ternyata itu dari Layla.
Aku menjawabnya, “Halo, La."
Ia terdengar panik, “Sumpah, Vin. Kamu harus liat ini!”
Aku melihat pesan Layla. Ia mengirimku hasil screenshot dari IG Rashya, ia membuat status. “Tepuk tangan sama orang yang udah ngerebut doi orang. Hanya bisa menyindir agar anda sadar. Sadar kalau itu milik orang lain."
Itu terkesan biasa saja. “Oh. Terus?” tanyaku.
Layla kesal karena aku tidak terbawa emosi. “OMG! Vin. Dia itu salah paham. Harusnya dia tahu kalau kamu itu udah nolak Mike. Lagi pula kamu lebih cocok sama Mike. Bukan dia! setuju ga, sih?”
Aku kesal karena Layla tidak paham. “La, ini ga penting. Aku capek banget hari ini. Aku mau tidur. Bye."
Layla terkejut melihat responku yang begitu dingin, ia lalu mengakhiri telepon. “Ok deh. Bye." Aku menaruh handphoneku dan berbaring. Aku sangat lelah dan lebih baik aku tidur saja.
Aku bangun karena diriku tidak bisa berhenti mengingatkanku bahwa hari ini ada gladi resik. Aku langsung menuju kamar mandi lalu turun ke bawah untuk makan. Ibu telah menyiapkanku sarapan jadi aku tinggal menyantapnya. Aku lalu berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah seperti biasa aku menaruh tasku di dalam ruang osis lalu menuju lapangan. Tidak hanya anggota osis tapi ada juga peserta ajang pencari bakat.
Mereka berlatih untuk persiapan acara besok. Kami menonton mereka. Ada yang menyanyi, menari, memainkan alat musik, stand up comedy, drama singkat, dan atraksi sulap.
Menurutku semuanya bagus. Mereka terlihat professional dan menarik tapi ada yang menarik perhatianku, yaitu drama singkat dari kedua siswa kelas sepuluh IPS tiga.
Drama seharusnya banyak percakapan tapi mereka membuatnya berbeda. Ceritanya adalah tentang sepasang kekasih. Awalnya mereka tidak saling mengenal tapi mereka dipertemukan oleh sebuah insiden.
Mereka saling menabrak satu sama lain saat berjalan dan tak sengaja buku mereka tertukar. Mereka memiliki buku yang sama sehingga mereka tidak tahu bahwa buku mereka tertukar.
Mereka lalu pergi, kembali pada kehidupan mereka yang penuh dilema, ternyata itu bukan buku biasa tapi buku yang berisi tentang hidup mereka seperti buku diary.
Akhirnya, mereka saling mengenal satu sama lain dan di saat itu mereka saling jatuh cinta tapi akhirnya sungguh tragis karena si wanita malu menerima cintanya.
Melihat respon itu si laki-laki mengakhiri hidupnya dan di balik semua itu alasan mengapa ia tidak berbicara sampai sekarang adalah karena ia memotong lidahnya sendiri akibat penyesalannya.
Jadi selama drama itu berlangsung mereka saling membisu dan hanya menggunakan bahasa tubuh. Inilah yang membuat drama itu menarik.
Mereka berdua saling mempunyai chemistry. Mereka berhasil menyulap perhatian penonton. Hanya menggunakan bahasa tubuh mereka bisa menyampaikan drama yang begitu indah hingga penonton ikut merasakannya.
Aku bukan jurinya tapi sebagai penonton aku menyukai drama itu. Tidak terasa besok sudah waktunya acara dimulai.
Sebelum bubaran ketua osis menyampaikan sesuatu, “Besok pagi sebelum jam 07.00 harap datang ke ruang osis karena akan ada briefing. Dimohon untuk jaga kesehatan agar besok acara dapat berjalan sesuai rencana."
Semua orang bubar. Aku menuju ruang osis dan mengambil tasku lalu aku pulang. Ketika aku sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Ada yang memanggilku dari arah parkiran, ternyata itu Alga.