All About Him

Chika
Chapter #14

Tiles of Soul

Sunshine, Alvina

Aku bangun ketika mendengar nada dering telepon. Aku ingin tidur karena aku masih ngantuk tapi bunyi itu tidak mau berhenti. Akhirnya, aku bangun dan mengangkatnya, “Halo."

Ia lalu menjawab, "Aku sudah di depan." Aku terkejut mendengarnya, aku melihat kearah jam. Jam menunjukkan pukul 11.15 siang.

Dia sudah menunggu selama lima belas menit. Akhirnya, aku bergegas. “Tunggu. Lima belas menit lagi aku turun," ujarku. Aku mematikan handphone dan melemparnya ke ranjang.

Aku langsung mandi dan bergegas mengambil tas dan handphone lalu turun. Aku belum makan dan tidak ada waktu untuk itu.

Ibu melihatku berlari menuruni tangga. “Kau mau kemana?” tanyanya.

Aku berhenti. “Hari ini ada kerja kelompok dadakan jadi aku harus cepat," jawabku.

Ia lalu mendekatiku. Ini tanda buruk. “Oh ya. Ibu minta nomor telepon temanmu si Layla," minta ibu.

Aku mengeluarkan handphone dan mencari kontak Layla. “Ini, Bu."

Ia lalu mengeluarkan handphonenya dan menambahnya ke kontak. “Ok. Hati-hati, ya. Ucapin salam Ibu sama orang tuanya."

Aku berlari menuju pintu. “Iya, Bu." Alga di depan pagar dan duduk di motornya. Aku segera membuka kunci dan menuju kearahnya.

Ia bertanya, “Helm?” Oh iya!

Ketika aku ingin kembali, ia mencegahku. Ia lalu membuka helmnya dan memberikannya padaku. “Nih."

Aku menolaknya, "Nanti kalau ditilang gimana?”

Ia menyalakan mesin motornya. “Aku lebih memikirkan keselamatanmu." Kata-katanya membuatku yakin jadi aku memakai helmnya dan naik. Kami melaju ke rumah Alga. 

Sesampainya kami langsung masuk. Kami duduk di sofa dan aku membuka buku fisika. Ia heran melihatku.

Aku tanya, "Kenapa?”

Ia mengambil buku dari tasnya lalu membuka buku tulis dan memperlihatkannya padaku, ternyata ia melampaui dugaanku. Ia berhasil mengejar seluruh ketinggalannya.

Aku tersenyum melihatnya. “Selamat, kau sudah jadi pintar."

Ia tersenyum mendengarnya. “Itu semua berkatmu."

Aku kagum melihatnya. “Jadi sekarang kau mau belajar apa?”

Ia berdiri. “Bukan belajar tapi kerjasama."

Ia mengambil kertas dari kantong celananya. “Masih ingat dengan ini?”

Aku mengambil dan membacanya. "Kau adalah nada hidupku. Kau ada disaat titik rendah hidupku dan disaat puncak hidupku."

Aku mengangguk. Ia lalu berkata, “Apa yang kau tangkap?”

Aku berpikir dan mengulangi kata-kata itu di dalam pikiranku.

Aku berdiri dan bertanya, “Dimana ruang musik?”

Ia mengarahkanku naik keatas, aku mengikutinya. Ia membuka pintu dan masuk. Aku melihat dari depan. Ada sebuah grand piano di tengah ruangan itu. 

Aku memandangi piano itu. Walaupun aku tidak bisa memainkannya tapi aku terpesona dengan setiap dentingannya. Ia duduk dan membuka lemari yang berisikan CD.

Lalu ia melihat kearahku. "Kau tidak mau membantuku?”

Aku langsung mendekatinya dan duduk bersila. Aku membantunya membongkar setiap CD. Membuka sampulnya dan memeriksanya.

Kami saling diam karena sibuk mencari. Ia lalu berkata, "Aku sudah lama tidak kesini sampai aku lupa ada piano di rumahku."

Aku menangkap bahwa ia sedih melihat kenangan lamanya jadi aku berkata, “Kalau aku jadi kau. Aku akan memainkannya ketika aku merasa rindu."

Ia berhenti dan melihat kearahku. “Setiap aku menyentuh piano itu aku tidak tahan melihat bayangan mereka. Dulu ruangan ini menjadi favorit kami, dimana kami sering berkumpul. Biasanya aku bermain piano dan mereka berdua berdansa."

Aku diam lalu menjawab, “Terkadang ketika rindu itu muncul aku menumpahkan semua kesedihanku dan menulisnya disini." Sambil menyentuh dadaku.

Ia mengerti perasaanku begitu juga aku. Sesaat kami saling menatap seolah kami bisa membaca pikiran kami masing-masing. Aku mengalihkan pandanganku karena aku takut. Ia lalu lanjut mencari.

Sudah sekitar dua jam kami mencari dan tidak ada hasil. Ia berdiri, “Bukan disini. Kita hanya membuang waktu." Ia lalu duduk di bangku piano.

Aku tetap mencari karena aku masih yakin. Ia kesal melihatku yang keras kepala jadi akhirnya, ia memainkan piano. 

Aku mengenal lagu ini. Ini adalah lagu 'Can’t help falling in love with you'. Aku berdiri dan duduk di sebelahnya. Jarinya yang lentik dengan gesit memainkan piano.

Aku terbawa oleh musik ini jadi aku bernyanyi,

“Take my hand, take my whole life too. For I can’t help falling in love with you. Like a river flows, surely to the sea. Darling so it goes somethings are meant to be."

Ia berhenti dan menatapku. “Kau afal lagu apa saja?”

Aku berpikir. “Semua lagu yang pernah kudengar."

Ia diam lalu memainkan lagu 'Perfect – Ed sheeran'. Kali ini aku tidak afal jadi aku hanya diam dan menikmati.

“I found a love for me. Darling, just dive right in and follow my lead. Well, I found a girl, beautiful and sweet. I never knew you were the someone waiting for me."

Tiba-tiba dering teleponku berbunyi. Ia berhenti bermain. Aku berjalan keluar, ternyata itu dari Layla. 

Awalnya aku tidak mau mengangkatnya tapi biasanya kalau ia menelepon itu artinya penting. “Halo," jawabku.

Ia terdengar panik. “OMG! Vina. Kamu tuh kenapa, sih?” Mendengar hal itu aku ingin menutup telepon.

Tapi ia melanjutkan, “Kamu tuh kemana? Ibu kamu tadi nelepon aku."

Aku terkejut dan langsung bertanya, “Kapan? terus dia ngomong apa?”

Lihat selengkapnya