—Sunshine, Alvina
Aku bangun dengan alat rekam di tanganku. Aku lihat kearah jam, sudah jam 06.15 pagi. Berarti kemarin malam aku ketiduran.
Aku teringat kejadian kemarin malam dimana aku memencet tombol pause dan mengulangi pembicaraanku terus menerus sampai aku tidur.
Untung ibu tidak masuk dan melihat alat rekam ini. Aku langsung menyimpannya di dalam tas.
Setelah itu aku langsung menuju ke sekolah. Sesampainya di sekolah aku beres-beres di loker dan duduk.
Pelajaran dimulai seperti biasa. Rashya dan teman-temannya tidak berhenti menatapku. Aku sudah tau apa artinya tapi aku tidak khawatir lagi karena aku sudah mempunyai alat ini.
Setiap kali break, Layla mengajakku ngobrol walaupun dia tahu kalau aku setengah menyimak. Alga hari ini diam saja.
Dia hanya mendengarkan lagu dan pergi ke kantin. Kami berdua saling berjaga jarak. Dia seperti mengetahui sesuatu tentang pembicaraanku kemarin.
Apa dia benar-benar bisa membaca pikiranku. Apa aku berbuat salah?
Seharusnya aku tidak merekam pembicaraan kemarin malam. Hari ini aku merasa tidak enak. Sepanjang waktu aku memikirkan apa kesalahanku dan kenapa tindakan Alga hari ini dingin padaku.
Aku tidak percaya ada orang di dunia ini yang bisa membaca pikiran tapi kenapa hari ini dia bersikap begitu dingin seolah ia mendengarku kemarin malam.
Bel berbunyi waktunya pulang sekolah, Aku membereskan loker. Ketika aku menutup pintu loker, Rashya dan kawan-kawan menyerbu. Gawat!
Aku langsung berbalik dan membalikkan tasku ke depan lalu mengambil alat perekam itu dan menaruhnya di kantong rok.
Mereka tidak melihatku karena aku berbalik badan. Rashya berhasil menarik rambutku. Tarikannya sangat kencang sampai aku hampir terjatuh. Ia lalu mendorongku ke loker. Kapan kau akan berbicara?
Lalu ia menaruh tangannya di samping kepalaku dan menatapku. “Kau tahu aku telah menunggunya sangat lama. Aku berdandan supaya ia memperhatikanku. Kau tahu betapa perihnya mata ini memakai softlens setiap saat? apa kau tahu jam berapa aku harus bangun demi menggulung rambutku? lihatlah dirimu kau tidak membutuhkan itu semua. Bangun sesukamu tanpa memikirkan wajahmu. Tidak menyisir pun juga tidak masalah. Aku sudah muak melihatmu!” bentak Rashya.
Mereka semua tertawa dan pergi. Aku langsung mengambil alat rekam dan memencet tombol pause. Bukti kedua.
Aku langsung berjalan pulang, ada yang memanggilku dari parkiran, “Vina!"
Aku menengok. "Alga?”
Ia mendekatiku. “Jangan menengok hadap belakang."
Aku tidak tahu harus berbuat apa jadi aku mengikutinya. Ia mengambil sesuatu di dalam kantong celananya lalu membuka resleting tas depanku dan menaruhnya. “Sudah."
Aku berbalik dan bertanya, “Apa itu?”
Ia menjawab, “Buka saja nanti ketika sampai rumah."
Aku mengangguk dan melambaikan tangan, ia hanya tersenyum dan kembali ke parkiran.
Aku penasaran dengan apa yang ia taruh di dalam tasku. Tapi ia menyuruhku untuk membukanya setelah aku sampai di rumah.
Aku langsung bergegas makan dan mandi. Ibu belakangan ini sibuk jadi aku makan seadanya.
Aku mengambil buku dan menaruhnya di kasur. Aku melihat tas itu. Sekarang saatnya aku mengetahui kebenaran Alga.
Sebelum aku membuka resleting itu, aku berpikir sejenak. Aku tidak tahu apa yang ia taruh tapi kalau aku hanya berandai, aku tidak akan mengetahui kebenarannya. Jadi lebih baik menghadapinya.
Aku membuka resleting itu, ternyata sebuah kertas.Aku mengambil dan membacanya, “Kau bersinar terang di dalam gelapnya malam. Kau bukan bintang karena itu bukan tempatmu tapi kau adalah matahari yang bersinar paling terang di antara semuanya. Sayangnya kau sedang gerhana."
Aku menjatuhkan surat itu. Aku sangat malu, mukaku merah. Tapi aku terhibur dengan ucapannya.
Setidaknya ada yang mengerti. Aku pikir tidak ada yang memahamiku di dunia ini dan aku terjebak selamanya di dalam kesendirianku.
Tapi sekarang itu tidak selamanya karena ada Alga. Haruskah aku membalasnya atau aku diam?
Kalau aku membalasnya aku tidak tahu harus bilang apa. Maaf Alga, aku tidak bisa membalasmu sekarang. Aku akan membalasmu nanti. Aku mengambil kertas itu dan menaruhnya di pangkuanku.
Aku tersenyum dan air mata mengalir dari mataku. Aku terharu karena ada yang memahamiku. Ayah ada seseorang yang mengenalku seperti dirimu. Kumohon dia adalah takdirku.
Sudah berhari-hari sejak kejadian itu kami saling diam. Aku tidak membalas apa-apa dan dia tidak menanyakan kabarku bahkan berbicara pun tidak. Terakhir kali kami berbicara pada waktu ia memberiku surat.
Aku tidak berharap apa pun dan tidak masalah jika ia tidak mau berbicara padaku selama satu tahun asalkan aku bisa melihatnya setiap hari.
Sudah empat hari ia tidak berbicara padaku dan aku mulai merindukannya. Aku duduk dan membuka bekalku.
Tiba-tiba aku teringat bahwa besok hari jumat. Besok aku ke rumah Alga.
Aku langsung menutup bekal dan menuju kantin. Aku mencari Alga. Dia tidak ada di kantin. Dimana dia?
Aku lalu menuju ke lorong. Dia pasti ada disini! tebakanku benar. Ia sedang berdiri menyender di reling dan melihat lapangan sambil mendengarkan lagu.
Aku mendekatinya. Ia sadar bahwa aku disebelahnya. Ia lalu berkata, "Aku menulisnya dengan buruk. Seharusnya aku tidak memberikannya padamu."Justru itu menyentuhku.
Aku membantahnya, “Tidak. Aku beruntung kau memberikannya padaku."
Ia menatapku. Aku membalas tatapannya. Tak lama ia tersenyum dan melihat kearah lapangan.
“Besok jadi, kan?” tanyaku.
Ia membalas, “Iya. Jangan lupa bawa helm."
Kami berdua diam menyaksikan pertandingan basket. Aku memperhatikan setiap langkah mereka. Tim lawan menghalangi si pemegang bola. Ia diam, mencari titik lemah mereka. Dalam hitungan detik, ia berhasil menerobos mereka dan melakukan shoot ke ring. Bola itu masuk ke dalam ring. Tim putih menang.
Bel berbunyi tak terasa sudah waktunya pulang. Aku pulang ke rumah. Aku menuju dapur, menyendok nasi dan sayur. Belakangan ini aku makan sedikit, padahal aktifitasku banyak.
Aku naik keatas dan mandi. Sebelum aku mandi, aku bercermin. Muncul jerawat di dahiku dan aku tidak tahu. Perkataan Rashya muncul di pikiranku. “Lihatlah dirimu, kau tidak membutuhkan itu semua. Bangun sesukamu tanpa memikirkan wajahmu. Tidak menyisir pun juga tidak masalah."
Benar juga perkataannya meskipun itu menyindir. Aku keluar dari kamar mandi dan diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar ibu.
Aku harus mencari obat jerawat. Aku masuk ke dalam. Kamar ibu sangat rapih seolah dia tidak pernah menyentuh benda apapun di dalam ruangan ini.
Setelah itu aku menuju kamar mandi. Ada banyak alat makeup dan kecantikan di wastafel. Aku membuka kotak yang berisi alat makeup. Ada banyak sekali peralatan.
Akhirnya, aku menemukannya. Bentuknya seperti salep jadi mudah untuk digunakan. Aku membuka dan mengolesnya di bagian jerawat. Setelah itu aku menutupnya dan mengembalikannya.
Tapi ada satu barang lagi yang mencolok, yaitu lipstick. Aku tidak bisa makeup tapi setidaknya aku bisa memakai lipstick. Lipstick itu berwarna pink pucat, cocok untuk kulitku.
Aku meminjam dan membawanya ke kamarku. Oh ya! aku baru ingat kalau aku habis pakai obat ini aku tidak boleh mandi karena kecerobohanku aku terpaksa menunggu selama satu jam baru aku bisa mandi.
Aku membasahi rambutku dan aku mencium bau. Kapan terakhir kali aku keramas? aku harus keramas.
Kemudian aku melihat pelembut rambut. Masih ada satu botol penuh. Aku memakainya. Satu hal yang kuketahui tentang pelembut rambut, yaitu bilasnya lama.
Aku mengganti baju dan mengeringkan rambut dengan handuk lalu menyisirnya. Hari ini aku merasa begitu resik, padahal cuma di rumah.
Tiba-tiba saja perkataanku muncul di telinga. “Ketika seseorang sedang jatuh cinta ia memproduksi hormon oksitosin yang membuat pribadi dan perilakunya menjadi berbeda." Benar juga sih.
Aku mengerjakan pr. Setelah itu aku tidur. Aku tidak sabar menunggu hari esok. Aku bangun pagi sekali dari biasanya. Aku masih punya waktu jadi aku membaca novel sampai jam 06.15 pagi. Setelah itu aku mandi.
Kali ini aku bosan dengan gaya rambutku jadi aku menggerainya saja. Kemudian aku memakai lipstick ibu.
Aku mengambil tas dan helm lalu turun untuk makan. Aku duduk di meja makan dan makan. Ibu melihatku dan tersenyum. “Tumben Vina hari ini cantik."
Aku menggeleng. “Tidak, Bu. Karet gelangku hilang."
Ibu tertawa. Ia tahu kalau aku bohong. Aku pun berangkat. Sesampainya di sekolah hampir semua orang melihatku seolah aku murid baru.
Aku menuju loker dan menaruh helmku lalu aku masuk ke dalam kelas. Mike dan cowok-cowok lain melihatku. Rashya terkejut dan tersenyum sinis.
Layla heboh sendiri. “OMG! ternyata my lovely Vina itu aslinya cantik."
Aku tersenyum malu. "Udah dong, La."
Ia menggodaku, “Biasanya diikat terus sekarang dilepas. Btw, Vin muka kamu, kok jadi lebih bercahaya, sih. Emang pakai apa?”
Aku menjawab, "Cuma pakai lipstick."
Layla manggut. ”Pantas aja bibir kamu kayak orang korea gitu. Biasanya pucat banget." Aku tersenyum. Apakah Alga melihatku?
Aku tidak berani melihat ke belakang. Pelajaran dimulai dan aku merasa tidak nyaman karena ada yang memperhatikanku daritadi. Seharusnya aku mengikat rambutku. Aku menyesal karena aku bersikap ceroboh.
Waktunya break, aku makan di kelas dan Layla jajan di kantin. Rashya dan kawan-kawan melihatku dan berbisik.
Seorang dari mereka berteriak, “Sok caper, deh!"
Lalu yang lainnya berkata, “Kalau dasarnya udah jelek, ya tetep jelek!” mereka tertawa.
Aku diam dan menghabiskan makananku. Alga berdiri dan menyenggol bahuku. Ia lalu berjalan keluar. Apa ini disengaja?
Aku lalu mengikutinya. Ia berjalan menuruni tangga dan menyeberang lapangan menuju gazebo. Ia duduk dan aku ikut duduk. Kata-kata mereka masih di dalam pikiranku.